Berbagi Ngaji dan Ngabdi (9): Responsibility dalam Kepemimpinan

Menjadi Asisten Direktur di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung, bukan hal baru bagi saya, selain karena hanya asisten, tanggung jawab kelembagaannya tidak penuh, memang ketika di IAI Tribakti juga pernah menjalani menjadi asisten Direktur selama empat tahun. Tugas dan fungsi asisten direktur yang saya lakukan adalah mendampingi Direktur. Mengelola pascasarjana baik dalam sisi rutinitas maupun pengembangan kelembagaan, target utamanya adalah peningkatan jumlah mahasiswa, pembukaan program studi baru. Pada waktu saya menjadi Asdir, telah dibuka prodi-prodi baru di antaranya, Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Prodi Pendidikan Agama Islam, Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Yang sebelumnya hanya dua prodi yaitu Prodi Pendidikan Islam dan Hukum Ekonomi Syariah.
Sebenarnya ketika mengelola pascasarjana ini ada beberapa tantangan sebagai pengalaman mengabdi, yaitu pertama, jumlah sumber daya dosen yang kualifikasi doktor masih terbatas, tetapi jumlah prodi sudah begitu banyaknya. Inilah berkat kebersamaan antar pengelola pascasarjana, kebersamaan dengan para pimpinan, semangat egaliterianisme, silaturahim antar elemen di Pascasarjana mulai tukang sapu, cleaning servis, ketua prodi, asisten direktur, direktur, staf administrasi, pimpinan di Rektorat semua satu i’tikad untuk ngopeni lembaga milik bersama. Kedua, dibangunlah jaringan antar pengelola Pascasarjana yang waktu itu kemudian terbentuk Forum Direktur Pascasarjana yang berkumpul, sharing tentang program-program magister di perguruan tingginya masing-masing. Dengan jaringan keluar ini akhirnya kekurangan dosen yang belum ada di STAINTA dapat diisi oleh teman-teman dari luar. Ketiga, masih ada lagi strategi pengelolaan agar semuanya tetap rukun adalah taqsim al-arzaq. Artinya dengan jumlah mahasiswa yang banyak, kelas perkuliahan banyak, maka pengelola pascasarjana tiap awal semester, selalu membuat prosentase penerimaan jadwal antar dosen. Sehingga tidak terjadi kesenjangan antara yang kebanyakan dan yang terlalu sedikit. Dengan pemerataan jumlah jadwal perkuliahan, juga berimplikasi kepada penerimaan honorarium masing-masing dosen. Hanya saja yang perlu dimaklumi oleh semua pihak adalah untuk pengelola pasca sendiri biasanya diberi kelebihan 2-4 SKS tiap semesternya. Keempat, strategi selanjutnya adalah selalu mengadakan musyawarah untuk mengevaluasi dan membicarakan dinamika pengelolaan Pascasarjana, misalnya masalah keaktifan dosen, kemahasiswaan, kajian tentang kurikulum dan sebagainya, praktis setiap 2 minggu sekali kita semua pengelola selalu berkumpul di kantor untuk membicarakan masalah-masalah yang berkembang sekitar pengelolaan Pascasarjana. Inilah yang saya dapatkan dari pengalaman di pengelola pascasarjana STAIN Tulungagung yaitu prinsip kebersamaan, egaliter, membangun jaringan kampus (network), taqsimul arzaq (distribusi rizki), dan selalu musyawarah. Kelima, ada satu lagi yang kurang yakni program dijalankan secara terukur. Artinya Pascasarjana sebagai unit Lembaga STAIN mempunyai program-program akademik yang dibiayai oleh negara, maka setelah Dipa (daftar isian pagu anggaran) sudah diputuskan oleh Kementerian Keuangan, maka kami di pascasarjana akan membuat time schedule yang disesuikan dengan kondisi kampus saat itu. Dengan konsisten melaksanakan program secara relevan antara anggaran dan time schedule, kemudian diikuti dengan laporan yang benar, maka program-program Pascasarjana berjalan lancar, walaupun kadang ada kekurangan, sebagai sebuah kewajaran dalam melaksanakan kehidupan di dunia.
Kemudian cita-cita STAIN untuk alih status menjadi IAIN terkabul dengan diresmikannya Institut Agama Islam Negeri Tulunagung pada bulan Desember 2013 oleh Menteri Agama RI, yang bersamaan dengan pelantikan Rektornya yaitu Dr. Maftukhin, MA. Selanjutnya Pak Rektor menata kembali struktur civitas akademik IAIN mulai pembantu rektor sampai ke bawah, yang mengelola kampus setelah kelembagaan berbentuk Institut. Maka dipilihlah pembantu-pembantunya sesuai dengan kompetensi masing-masing, dan secara tidak sengaja saya diamanahi untuk menjadi Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum. Memang ini berat kalau dilihat tahunnya sejak tahun 2004 sampai 2014 pengabdian yang saya lakukan di IAIN belum banyak pengalaman, terutama di lembaga negara besar seperti IAIN Tulungagung. Tetapi atas permintaan dan motivasi membantu Pak Rektor saya beranikan diri untuk menerima, walaupun sebenarnya banyak yang lebih pantas dari saya, yang terhitung masih junior di komunitas akademik IAIN Tulungagung.
Menjadi Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum adalah sebuah pengalaman tersendiri dalam kehidupan, berhubungan dengan akademik pendidikan dan pengajaran, bidang penelitian, dan pengabdian masyarakat. Di saat IAIN baru berubah dari aspek kelembagaan yang semula Sekolah Tinggi kemudian menjadi Institut, pasti membutuhkan aksi ekstra agar dapat menjalankan program-program fakultas. Maka layaknya seorang pemimpin yang lain program awal yang dilakukan adalah konsolidasi internal di fakultas, dengan memilih para wakil Dekan, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan, Kepala Bagian, Kasub Bagian, beberapa staf dan Kepala Laboratorium yang membantu menjalankan program-program fakultas ke depan. Dalam waktu satu bulan, alhamdulillah struktur fakultas terbentuk dan terisi semuanya, walaupun ada yang harus merangkap jabatan sementara.
Program kedua adalah menjaga konsistensi program-program yang sudah berjalan sebelumnya, misalnya program pendidikan, penelitian, kemahasiswaan dan sebagainya. Hal ini dibantu oleh teman-teman di kantor yang semuanya iyek, guyub rukun, selalu ringan untuk bekerja sama. Juga ada kemudahan dari sisi kemahasiswaan, karena banyak pengurus organisasi kemahasiswaan berasal dari santri-santri Pondok Pesantren al-Kamal yang notabene tiap hari sudah biasa berinteraksi dengan mereka.
Program ketiga adalah pengembangan kelembagaan, terutama jaringan-jaringan stake holder diperlebar, kalau sebelumnya hanya di lingkungan pengadilan Agama, kita lebarkan ke Pengadilan Negeri bahkan kepada Lembaga advokat, Badan Amil zakat Nasional untuk jurusan Zakat dan Wakaf.
Pengembangan kelembagaan juga berwujud pembukaan prodi baru, yaitu Hukum Tata Negara (Siyasah al-Syariyah), dan Hukum Keluarga Islam untuk Prodi S2. Al-hamdulillah ketika kita buka program studi ini pertama kali mahasiswanya 100 lebih, ini juga karena ada terobosan dari Pak Rektor untuk membebaskan uang kuliah bagi yang tidak mampu dan yatim. Selain itu dari sisi operasional program yakni akreditasi program studi Hukum Keluarga dan Hukum Ekonomi Syariah yang lama juga habis, praktis teman-teman di fakultas dengan segala daya upaya memajukan kembali akreditasi dua prodi untuk keberlanjutan lembaga dan peningkatan status dari yang semula nilainya B menjadi A. Target inipun juga tercapai berkat jerih payah teman-teman fakultas yang telah berusaha secara lahir batin, siang malam, dan itu berhasil dilakukan dengan turunnya SK Akreditasi tanpa harus visitasi lapangan. Mengelola dan mengembangkan lembaga fakultas terus berlanjut sampai akhirnya pada tahun 2018, masa jabatan sebagai Dekan sudah habis, al-hamdulillah, akhirnya dapat menyelesaikan amanah Institut dari pak Rektor meski dengan tertatih-tatih.
Catatan menjadi Dekan ada beberapa hal, di antaranya menjadi pemimpin di kampus perguruan tinggi Agama harus mempunyai karakter yang kuat, yakni kuat dari sisi lahir maupun kuat dari sisi batin. Sebagai kapasitas utama dalam membawahi elemen-elemen kampus yang penuh dengan dinamika. Terutama memimpin para dosen, kaum intelektual yang secara ilmu pengetahuan mempunyai kapasitas lebih dibanding dengan kebanyakan hamba yang lain. Dengan kapasitas lahir bathin seseorang akan dapat mengendalikan lembaga kampus, tetapi kalau hanya didukung sisi-sisi intelektualitas lahiriyah saja, maka kepemimpinan akan terasa gersang, yang pada giliranya kurang mampu untuk menjaga stabilitas di Kampus. IAIN nampaknya patut bersyukur dengan model kepemimpinan yang dijalankan selama ini dengan menggabungkan dua pendekatan, yaitu kepemimpinan yang rasional dan kepemimpinan kharismatis. Kepemimpinan rasional didasari oleh intelektualitas para pemimpin yang secara akademik relatif mapan. Kepemimpinan kharismatis terealisasikan dalam tradisi-tradisi santri yang dibawakan oleh para pimpinan IAIN. Akhirnya IAIN Tulungagung tetap eksis, istiqamah, dengan kebersamaan semua elemen yang ada di Kampus.
Catatan lain adalah menjadi pejabat akademik itu berat tanggung jawabnya, baik sisi-sisi tugas hariannya academically, tanggung jawab moralnya, apalagi tangung jawab di akhirat kelak. Berat di sini mungkin dalam perspektif saya yang kurang istiqamah dalam menjalankan tugas-tugas kepegawaian, kepemimpinan. Tetapi seandainya seorang pemimpin dapat istiqamah dari sisi perkataan, perbuatan, ide kreatif yang berkesinambungan, mungkin kepemimpinan di kampus akan lebih ringan. Juga berat di sini karena dalam psikologi saya seoalah-olah beban tanggung jawab dipikul sendirian, padahal kepemimpinan di kampus selalu dijalankan dengan musyawarah, kebersamaan. Ini yang belum dapat saya lakukan, sehingga kadang walaupun di rumah masih mikir tugas-tugas kantor yang belum selesai atau yang akan dilaksanakan.
Menjadi pimpinan di perguruan tinggi jangan melihat sisi materi yang akan diperoleh setelah menjadi pejabat. Karena semua program sudah dicatat, sesuai dengan daftar isian program yang ditetapkan oleh negara. Apalagi kalau menjadi pemimpin yang responsibility terhadap bawahannya. Sederet problematika dihadapkan kepada kita, dan ini membutuhkan biaya yang kadangkala kita harus membayarnya lebih dahulu. Misalnya undangan luar kota, sambang anak buah yang punya hajat, takziyah, walimah dan lain-lain. Sisi-sisi kekeluargaan semacam ini tidak dapat ditulis dalam program akademik, maka sebagai pemimpin kita harus mengeluarkan biaya sendiri, yang jumlahnya tidak ada standar. Dengan jabatan yang lebih tinggi pengeluarannya juga akan semakin besar. Pendekatan kekeluargaan semacam inilah dalam tradisi jawa dalam kepemimpinan apapun yang harus dijaga, dengan biaya yang tak terbatas. Maka kalau kita menjadi pemimpin hanya melihat dari sisi materi, maka akan kecewa di kemudian hari.
Pada tahun 2019 terjadi suksesi lagi di Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, dengan mengukuhkan Prof. Maftukhin sebagai Rektor kembali. Untuk pemilihan jabatan di bawahnya, sesuai aturan Menteri Agama dan Statuta harus melalui penjaringan dan pendaftaran. Untuk yang satu ini saya tidak dapat melakukan, menurut saya ada orang-orang yang lebih mampu mendudukinya. Untuk itu saya tidak mau mengajukan lamaran dan mengajukan diri sebagai pejabat, hanya saya memotivasi semua teman-teman di fakultas untuk mengajukan diri, dengan harapan pengelolaan fakultas harus terus lancar dan berjalan sesuai dengan aturan yang sudah ada, tanpa ada gangguan, apalagi pertentangan hanya disebabkan oleh jabatan-jabatan. Alhamdulillah semua berjalan lancar sesuai dengan harapan bersama. Setelah suksesi ini, banyak isu, rumor atau kasak-kusuk membicarakan posisi saya, ada yang mengatakan “sudah tidak mau membantu di kampus lagi”, atau “orangnya lagi kecewa karena tidak dipilih” atau “sedang ada program pribadi” dan lain sebagainya. Menurut saya orang itu kadang menjabat atau tidak adalah sama, kita adalah pengabdi kepada negeri dan umat yang tercinta, dalam posisi apapun semoga tetap bermanfaat, juga ridla Allah Swt. Amiin.
Penulis adalah Pengasuh PP al-Kamal dan Mustasyar NU Kab Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *