Ngaji dan Ngabdi 26: Latar Sosiologis Risalah Tauhid, Catatan Awal Semester Ganjil di Universitas

Dilihat dari sisi letak geografisnya, Arab terletak dalam posisi wilayah yang strategis, potensi ekonomi yang menunjang, banyaknya sumber-sumber ekonomi yang dapat diekplorasi dari sisi kewilayahan, baik daratan maupun lautan. Misalnya sumber ekonomi dari sisi perminyakan, potensi jalur perdagangan, banyaknya pertanian yang dapat dikaryakan, apalagi di sana mempunyai banyak situs-situs agama Samawi sebagai pusat peradaban umat manusia.
Dari sisi tatanan sosial, masyarakat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. menganut sistem kekabilahan (kesukuan), b. mempunyai sistem politik yang tertutup, dengan partisipasi warga terbatas pada aspek keturunan, dibanding dari kemampuan, c. mempunyai hierarki sosial yang kuat. Artinya tingkatan sosial sebagai orang kuat dan lemah, sebagai orang merdeka dan hamba sahaya, hierarki orang miskin dan kaya dan sebagainya, d. kedudukan perempuan cenderung direndahkan.
Gambarannya di Makkah pada abad 5 masehi, terdapat jabatan-jabatan sebagai berikut: 1. Hijaba: penjaga pintu Ka’bah atau juru kunci. 2. Siqaya, petugas yang menyedikan air tawar, untuk para tamu yang berkunjung ke Ka’bah, serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma, 3. Rifadla, petugas yang menyedikan makanan bagi orang yang berkunjung ke Ka’bah, 4. Petugas yang harus memimpin rapat setiap tahun, 5. Liwa’, pemegang panji atau bendera yang dipancangkan di tombak kemudian ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, 6. Qiyada, pemimpin pasukan apabila hendak berperang.
Dari sisi theology (akidah), sebenarnya bangsa Arab adalah orang yang percaya kepada Allah Swt, sebagai sang maha pencipta. Ini adalah ajaran atau risalah agama samawi yang berkembang sebelum umat Muhammad di Jazirah Arab, terutama risalah Ibrahim dan Ismail.  Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, terjadilah tahrif, penyimpangan dengan adanya penyembahan kepada berhala (ashanam dan autsan), pohon-pohonan, binatang, jin sebagai penyerta menyembah Allah Swt. Praktiknya demi kepentingan ibadah mereka membuat 360 buah berhala disekitar Ka’bah, karena setiap suku mempunyai berhala masing-masing sebagai sesembahan mereka. Tentang hari akhir atau hari kiamat, rata-rata mereka tidak mempercayai hari kebangkitan dan hari kiamat.
Tetapi walaupun terdapat penyimpangan, ada sebagaian kecil kalangan yang masih konsisten untuk mempercayai agama tauhid, monotheisme, sebagaimana diajarkan Nabi Ibrahim As, yang disebut dengan hunafa. Di antara mereka bernama Umar bin Nufeil dan Zuhair bin Abi Salma.
Dalam bidang hukum, bangsa arab pra Islam menjadikan adat sebagai rujukan hukum dalam berbagai bidangnya. Misalkan dalam bidang hukum keluarga (perkawinan), dalam kebiasaan mereka terdapat beberapa macam perkawinan berlaku di internal masyarakat mereka, diantaranya;
  1. Istibdla, suami meminta istrinya untuk berkumpul (jima’) kepada orang yang mulia atau kelebihan tertentu, seperti berani dan cerdas. Selama istri berkumpul dengan laki-laki lain, suami menahan diri untuk tidak mengumpuli istrinya, sampai istrinya hamil. Tujuannya adalah supaya istrinya dapat melahirkan seorang anak yang memiliki kelebihan sebagaimana yang mengumpuli istrinya tersebut. Misalnya istri berkumpul dengan seorang raja, agar anaknya berasal dari kelompok orang yang terhormat.
  2. Poliandri, beberapa laki-laki jima’ dengan seorang perempuan. Setelah seorang perempuan hamil, dia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menggaulinya, kemudian dia menunjuk salah satu dari laki-laki itu, dan laki-laki yang ditunjuk itu tidak dapat menolaknya.
  3. Maqthu’, seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa dia menginginkanya, sedang ibu tirinya tidak dapat menolaknya. Kalaupun anaknya itu masih kecil ibu tirinya harus menunggu sampai anak itu dewasa, setelah itu dia dapat memilih untuk menjadikan ibunya sebagai istri atau tidak.
  4. Badal, tukar menukar istri tanpa adanya perceraian terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari kebosanan.
  5. Shighar, seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan kepada seorang laki-laki tanpa mahar.
Ditambah lagi bahwa dalam kebiasaan orang arab pra Islam berlaku adanya praktik poligini, seseorang yang mempunyai jumlah istri yang tidak terbatas. Dalam hal waris juga seorang perempuan tidak memiliki hak waris, malah seorang wanita dijadikan harta kewarisan. Yang ini membuktikan bahwa hukum pra Islam mengindikasikan adanya merendahkan hak dan martabat perempuan.
Dalam bidang muamalah atau ekonomi, praktik interaksinya atau transaksinya juga berdasar kebiasaan. Misalnya di sana ada yang namanya riba, munabadhah, muzara’ah. Beberapa praktik transaksi yang hanya mendasarkan pada aspek kebiasaan saja tanpa mempertimbangkan sisi keadilan ekonomi di dalamnya.
Dalam kondisi sosial budaya sebagaimana dipaparkan di tas, Arab kemudian kita kenal dengan sebutan jahiliyah. Artinya adanya kebodohan baik dari sisi aqidah, hukum, ekonomi, sistem sosial, dan budaya. Dalam perpektif ilmu pengetahuan, nampaknya sumber pengetahuan dalam tradisi Arab jahiliyah adalah: pertama, didapatkan dari akal, atau otoritas akal manusia. Dari sudut pandang ini pasti banyak keterbatasan-keterbatasan hasil kebenaran yang didapatkan, karena sifat relatifitas akal manusia. Kedua, otoritas kepala suku (qabilah). Dengan mendasarkan keputusan kepada seorang kepala suku, maka yang terjadi adalah subjektifitas kebenaran, sesuai dengan kemampuan yang dipunyai oleh kepala suku tersebut. Maka tidak menutup kemungkinan terjadinya diskriminasi, ketidakadilan kepada kaum perempuan, menindas yang lemah, dan lain sebagainya.
Inilah akhirnya latar belakang diturunkannya ajaran tauhid yang dibawa oleh Muhammad Saw, bertujuan untuk mengembalikan kepada prinsip-prinsip ajaran tauhid yang kebenaranya universal, berpihak kepada keadilan, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama hamba Allah, menolak adanya diskriminasi, mengangkat derajat kemuliaan, yang oleh Njeng Nabi didawuhkanInnama buitstu li utammima makarim al-akhlaq”, (saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq). Maka diutusnya Njeng Nabi Muhammad SAW dilihat dari kacamata sosiologis, menemukan momentumnya. Untuk memperbaiki akhlaq dan budaya Arab yang telah mengalami penyimpangan di kala itu. Dari adanya penyimpangan akidah kemusyrikan dikembalikan lagi menjadi ketauhidan, dari kedhaliman menjadi keadilan (al-adalah), dari diskriminasi menuju kesamaan hak (al-musawah), dari kebenaran subjektif menjadi kebenaran universal (al-alamiyah) dan seterusnya, ini sesuai dengan yang didawuhkan Allah SWT, “Wa ma Arsalnaka Illa Rahmatan li al-Alamiin”, (tidaklah aku mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam).
Ini dapat kita baca dari sejarah perjalanan umat Islam, mulai zaman Nabi SAW sampai sekarang, dari tahun ke tahun, kebenaran ajaran Risalah Muhammad semakin hari dapat diterima oleh umat manusia di muka bumi. Terbukti sekarang ini umat Muhammad dan risalah tauhid, telah menempati seluruh permukaan benua, mulai Afrika, Eropa, Australia, Asia, Amerika. Tidak hanya dalam hal praktik pengamalan ajaran, tetapi kebenarannya ternyata dapat didekati dengan pendekatan ilmu pengetahuan, secara normatif teologis, juga dari sisi historis, sosiologis, maupun filosofis. Wa Allahu A’lam.
*Penulis adalah Pengajar Filsafat Hukum Islam UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung
Sumber Bacaan:
Asmawi, Filsafat, Sejarah, dan Problematika Hukum Islam, Tulungagung: Akademia, 2021. Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Yogjakarta: Teras, 2009.
Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Tinta Emas, 1984.
Jaih Mubarak, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: Logos, 2000.
Musthofa Said al-Khin, Dirasah li Tarikh al-Fiqh, Beirut: Muasasah Risalah, 1984.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *