Ngaji dan Ngabdi 32: Historisitas Ilmiah Bukan Tertutupnya Pintu Ijtihad (Serial Perkuliahan Di UIN Satu Tulungagung)

Masa kemunduran dimulai dan ditandai dengan runtuhnya kekuasaan Dinasti Ustmaniyah, praktis dalam Islam tidak ada lagi kekuasaan yang dapat memerintah seluruh daerah kekuasaan Islam yang sudah lemah. Saat ini dari sisi politik umat Islam mengalami kemunduran dengan tidak adanya yang menyatukannya, dalam bidang kekuasaan, akhirnya model-model kekuasaan Islam, hanya sebatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dari melemahnya kekuasaan politik Islam ini, akhirnya berimplikasi kepada sisi intelektualitas muslim, tak terkecuali adalah bidang hukum Islam. Pasca Imam madhab empat umat Islam seolah mempunyai sikap enfioritas dalam dirinya. Mereka berpandangan bahwa yang mempunyai kualifikasi ijtihad adalah imam madhab mereka. Maka umat Islam harus mengikuti, dan taqlid kepada apa yang sudah dikaryakan oleh imam madhab. Inilah yang kemudian dalam diri muslim berkembang sikap taqlid dan fanatisme bermadhab.
Dari sisi karya-karya masa ini sebenarnya banyak filsafat pemikiran hukum Islam yang berkembang, tetapi dalam bentuk komentar-komentar dari karya sebelumnya, yang kemudian disebut dengan kitab syarah. Atau karya yang merupakan catatan-catatan pengembangannya yang disebut dengan hasyiyah.  Akhirnya masa ini dikenal ada kitab matan (inti), kitab syarah (komentar), dan kitab hasyiyah (catatan pengembangan). Misalkan dalam tradisi intelektual Madhab Syafi’i, kita mengenal kitab matan Taqrib, syarah nya adalah Fath al-Qarib dan hasyiyahnya adalah kitab Bajuri atau Tawsyikh. Sebenarnya kalau dilihat dari sisi historisitas keilmuannya, perkembangan filsafat hukum Islam, masa ini tidaklah berhenti, masih ada karya-karya, hanya saja dari berbagai karya ini mereka mengikatkan dirinya dalam satu madhhab. Apakah ini merupakan kemandirian intelektual, atau tidak yang jelas disini tetaplah ada dinamika perkembangan dari proses berfikir dalam bidang hukum Islam. Artinya sistem kemadhaban yang ada tidak mengurangi potensi kreatifitas para mujtahid dalam menghasilkan karyanya.
Dari sisi metodologis juga demikian, walaupun secara kaidah pokok dan prinsip-prinsip dasar logika hukum islam mengikuti madhab tertentu tetapi karya-karya metodologis hukum Islam masa kemunduran tetap berkembang dan dinamis. Misalnya masa ini ada kitab al-Mustasfa Karya al-Ghazali, al-Ihkam fi Ushul Ahkam karya Ibn Hazm al-Andalusi, al-Muwafaqat karya al-Syatibi, atau kitab-kitab qawaid fiqhiyah misalnya al-Asybah al-Nadhair karya Ibn Nujaym al-Hanafi, Irsyad al-Fuhul karya al-Syaukani dan sebagainya. Dalam kitab-kitab ushul ini dikembangkan metodologi dalam penemuan hukum Islam. Misalnya al-Ghazali mengembangkan maslahah dari gurunya al-Juweini, Ibn Hazm mengembangkan logika al-Dalil, al-Syatibi mengembangkan logika maknawi tentang Maqashid al-Syariah. Untuk itu dari sisi metodologi dalam proses penemuan hukum Islam juga berkembang konsep-konsep dalam wilayah ilmu hukum Islam, walaupun dalam konteks sosilogisnya umat Islam dalam masa kemunduran secara politik.
Maka kalau dalam sejarah perkembangan hukum Islam, ada wacana tertutupnya pintu ijtihad, dimaknai sebagai berhentinya perkembangan hukum Islam, itu tidak benar. Terbukti karya-karya ilmiyah genuine dari para fuqaha’ tetap muncul baik dairi sisi teoritis maupun dari sisi metodologis, hanya saja mereka-mereka tetap menyambungkan sisi pemikiranya dengan konsep-konsep dari ulama-ulama sebelumnya. Ini saya rasa sebagai sebuah kelebihan dari sisi intelektual muslim. Artinya ketersambungan intelektualismenya memang bersambung (historisitas intelektual). Karena memang seseorang dalam mengkaji, meneliti, dan menemukan teori-teori baru sekalipun pasti akan melewati teori-teori sebelumnya. Misalnya karya dalam bidang legal maxim (kaidah fiqih para ulama), yang berafiliasi kepada madhabnya masing-masing, bukan berarti mereka mandek tanpa kreatifitas. Melainkan konsep kaidah fiqih dari berbagai madhab ini berangkat dari madhab Hanafi, kemudian berkembang kaidah-kaidah baru dari berbagai madhhab, hasil dari penelitian imam madhab masing-masing.
Dalam hal ini teori sejarah ilmu pengetahun berperan untuk melihat perkembangan ilmu hukum Islam. Dalam teori sejarah ilmu terdapat teori genuine, change, dan develop (asal-usul, perubahan dan pengembangan). Dalam ilmu hukum Islam dilihat dari teori sejarah ini berarti ada asal-usul konsep-konsep atau teori, ada sisi-sisi perubahannya karena telah berdialektika dengan zamannya, yang kemudian mengalami krisis dan kesenjangan, terus solusi dari itu semuanya akhirnya ada pengembangan-pengembangan theory. Dalam konteks hukum Islam baik dari sisi teoritis maupun metodologis di atas kita dapat sebagai sebuah contoh dinamika historisitas keilmuan dalam hukum Islam. Masa imam madhab adalah masa genuine dalam teori hukum Islam, masa selanjutnya terus berlanjut sebagai masa perubahan dan perkembangan (develop).
Baca juga: Aspek Genuine, Change, dan Developt Dari Filsafat Hukum Islam (Telaah Teori Sejarah Devin Deewes)
Untuk itu wacana tertutupnya pintu ijtihad dalam masa kemunduran Islam dalam perspektif yang lain dimaknai sebagai sebuah antisipasi dari para filosof Hukum Islam, untuk menjaga hukum Islam supaya konsisten dihasilkan dari para jurist yang otoritatif, bukan sebagai wacana berhentinya (tertutupnya) historisitas keilmuan hukum Islam (insidad bab al-ijtihad). Memang diakui dalam masa kemunduran berkembang sikap kesembronoan, kelalaian dari umat Islam sendiri, dalam menyelesaikan problematika Hukum Islam, dilakukan oleh sebagaian kalangan yang tidak memenuhi kualifikasi dalam memahami nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Akhirnya hukum-hukum yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan maksud dari ditetapkannya hukum. Ini rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melegitimasi kepentingan kelompoknya dalam kontestasi politik, ekonomi dan menebarkan pengaruh dalam internal umat Islam. Akhirnya muncullah antisipasi dari para ulama untuk memproteksi hukum Islam dengan membuat wacana tertutupnya pintu ijtihad (insidad bab al-Ijtihad).
Dari sisi sosiologi hukum Islam, sebagai penunjang keadaan di atas adalah komitmen religiusitas umat Islam masa itu, yang sedang mengalami krisis. Umat Islam ada kecenderungan kepada kepentingan politik dibanding dengan memperjuangkan Islam, baik sebagai agama atau sebagai ilmu. Ini yang mendukung adanya kemunduran umat Islam saat itu, lebih kepada perebutan politik dalam internal umat Islam sendiri, ini dapat dibaca dalam dinamika perkembangan sejarah politik umat Islam masa kemunduran. Kemunduran dari sisi politik ini pula yang akhirnya dalam dunia ilmu tashawuf, banyak kritik terhadap sikap duniawiyah yang disebuh dengan hub al-mal wa al-jah (cinta harta dan kedudukan) yang harus dijauhi dalam kacamata ilmu tashawuf. Ini pula sebenarnya juga sebagai sikap kritik sosial terhadap kondisi umat Islam, bukan sebagai sebuah konsep yang kemudian berimplikasi dilarangnya ijtihad, tidak boleh berkecimpung dalam dunia politik, atau mengembangkan sektor ekonomi. Tetapi kritik-kritik ini sebagai sebuah masukan supaya umat Islam Kembali kepada misi awal yakni mengembangkan Islam ini sebagai sebuah entitas agama yang harus dikontekstualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan politik, hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, seni dan sebagainya.
Akhirnya dari kacamata historisitas ilmiyah didukung oleh kritik sosial para ulama ilmu hukum Islam dan ilmu-ilmu yang lain dalam wilayah ilmu keIslaman akhirnya berkembang dalam berbagai rumpun atau disiplin ilmu. Sekarang dalam bidang hukum Islam saja ada ilmu ushul dan ilmu furu, ada ilmu teoritis dan metodologis. Dalam karya kita mengenal kitab matan, syarah dan hasyiyah dan sebagainya. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Satu, Pimpinan PP al-Kamal Blitar dan Pengurus PC NU Blitar  

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *