Dalam paparan sebelumnya telah dijelaskan oleh pengarang kitab Kifayat al-Atqiya’ Syekh Abu Bakr al-Makki, bahwa amaliyah yang paling baik setalah shalat dhuha adalah aktivitas ilmiyah. Pada kajian tema ini mushanif kitab menjelaskan tentang perintah untuk mengkonsumsi makanan yang berhukum halal, bukan pula yang samar-samar hukumnya (syubhat), apalagi makanan yang dihukumi haram oleh syara’, harus dihindari. Dalam nadhamnya dibunyikan;
كل بعد ذلك من حلال لا شبه ما لايذم الشرع ذلك حللا
(Setelah sibuk beraktivitas ilmiyah makanlah dari perkara yang berhukum halal bukan yang syubhat. Sesuatu yang tidak dicela oleh syara’ itulah yang berhukum halal).
Dalam kitab ini mengutip pendapat dari Imam Syafi’i bahwa batasan halal adalah sesuatu yang tidak datang dalil tentang keharamannya, baik ada dalil yang menjelaskan tentang hukum halalnya atau tidak. Dalam penjelasan yang lain sesuatu yang tidak dicegah oleh syara’. Dari pendapat Imam Syafi’i ini kemudian dikenal dalam sebuah kaidah ushul bahwa “hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”. Dari pendapat al-Syafii ini dapat kita kembangkan dalam masalah-masalah sosial yang ada di sekitar kita, senyampang belum ada dalil yang melarangnya maka dapat dihukumi mubah. Dalam hal ini, masalah adat istiadat, muamalat antar sesama manusia, kreasi-kreasi baru dalam menopang kebutuhan kehidupan sehari-hari, yang memang secara jelas belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya, dapat dihukumi boleh. Misalnya dalam bidang kesehatan, logistik, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya, pendapat Syafii nampaknya memberikan ruang yang lebar bagi seorang hamba untuk melakukannya.
Pendapat yang lain dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah, halal adalah sesuatu yang telah ada dalil yang menunjukkan kehalalannya. Pendapat ini nampaknya lebih spesifik dibanding pendapat yang awal dari Syafi’i. Karena menurut penjelasan Abu Hanifah hukum halal harus ada dalilnya, dengan begitu dapat mengeluarkan perkara-perkara yang belum dibahas oleh dalil syara’. Maka dalam kaidah Hanafiah kita mengenal, “hukum asal segala sesuatu adalah haram sampai ada dalil yang menghalalkannya”. Implikasi dari perbedaan ini mungkin dapat dicontohkan, seandainya kita melihat tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui apakah membahayakan atau tidak, atau melihat seekor hewan yang belum diketahui, maka menurut Syafii kita menghukumi halal karena didiamkan oleh syara’ tentang hukum keharamannya. Kita juga dapat menghukumi haram mengikuti pendapat Abu Hanifah karena tidak ada dalil yang memberikan penjelasan tentang kehalalannya.
Nampaknya dari diskusi hukum halal ini, kita menemukan momentumnya jika mengikuti madhab Syafii dalam konteks keindonesiaan, yang lebih memberikan kelonggaran dalam menetapkan hukum halal. Hal ini juga dapat dimaklumi seandainya selama ini sebagai muslim Indonesia banyak yang menyuarakan bermadhhab Syafii, dirasa lebih dinamis, memberikan peran bagi umat Islam setelahnya untuk mengambil peran mencari dalil atas segala sesuatu yang belum ditunjukkan dalilnya. Sejak masuknya Islam di Indonesia para ulama banyak berijtihad dalam beramaliyah dalam konteks keindonesiaan, sesuai dengan budaya dan kebiasaan bangsa Indonesia. Misalnya hukum memperingati hari kelahiran kita, peringatan hari kemerdekaan, hormat bendera, menyanyikan lagu kebangsaan, hukum tradisi pernikahan dan probelmatika lain yang memang dalam hukum syara’ belum secara jelas diatur.
Penjelasan selanjutnya adalah penjelasan tentang hukum haram. Dalam kitab Kifayatul Atqiya’ ini pengarang menjelaskan batasan haram adalah “sesuatu yang secara mufakat dilarang oleh syara’. Menurut al-Syafii haram adalah sesuatu yang datang dalil atas keharamannya. Artinya sesuatu yang belum ada dalil yang menunjukkan haram, maka hukumnya boleh. Dalam bahasan di atas kembali kepada hukum asalnya, yakni boleh. Berbeda dengan imam Syafii, menurut Abu Hanifah haram adalah sesuatu yang tidak ada dalil tentang kehalalannya. Artinya segala sesuatu belum ditunjukkan dalil yang menunjukkan hukum halal, hukumnya dalah haram.
Kajian selanjutnya adalah tentang syubhat, yaitu sesuatu yang tidak jelas, apakah dia masuk katagori halal atau masuk kelompok yang haram. Seandainya sesuatu belum jelas seperti ini dianjurkan untuk berhati-hati dengan menjauhinya (al-wara’). Berdasarkan sebuah dawuh Rasul Saw;
دع ما يريبك الى ما يريبك
(tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu, kepada sesuatu yang tidak meragukan)
Diriwayatkan juga dari Nu’man Ibn Basyir ra, saya telah mendengar dari Rasul Saw yang bersabda, sesungguhnya hukum halal itu jelas, dan sesungguhnya hukum haram juga jelas, di antara keduanya adalah samar-samar (musytabihat) kebanyakan dari manusia tidak mengetahui, barang siapa terjaga dari hukum syubhat, maka dia terbebas dari tuntutan agamanya dan harga dirinya, dan barang siapa melakukan jatuh dalam perkara syubhat, maka dia bisa jatuh kepada perkara yang haram. Sebagaimana penggembala yang menggembala di tempat yang dilarang, dia hampir atau mendekati jatuh kepada sesuatu yang dilarang itu”.
Al-Fasyani berpendapat, para ulama berbeda pendapat dalam memaknai syubhat, sebagian mengatakan bahwa syubhat itu masuk dalam katagori haram. Hal ini diturunkan dari hadits Rasul yang berarti “barang siapa terjaga dari syubhat, maka dia terbebas dari hukum agama dan harga dirinya”. Artinya dalam sudut pandang agama dan harga diri manusia syubhat memang harus ditinggalkan, jika seseorang melakukannya berarti dia melanggar tuntutan hukum agama dan harga dirinya. Sebagian yang lain memaknai syubhat adalah halal, disimpulkan dari hadits Nabi Saw, “barang siapa yang menggembala di sekitar tempat yang dilarang, dia mendekati jatuh di dalamnya” yang dimaknai boleh untuk melakukannya. Tetapi kesimpulannya, dalam masalah hukum suybhat ini, seorang hamba diperintahkan untuk meninggalkannya, dengan bersikap wara’ (hati-hati). Dan inilah mungkin yang benar jika menghadapi keragu-raguan dalam menentukan hukum segala sesuatu.
Perbedaan Ulama dalam menentukan hukum dalam islam, adalah sebuah kewajaran, disebabkan berbagai pertimbangan baik dari sisi logika hukum, dalilnya, ataupun lingkungan para mujtahid dimana mereka hidup pada masanya. Sebagaimana logika hukum yang terbangun pada imam Syafii dan Hanafi di atas. Jika menggunakan pendekatan yang dipakai oleh Abd. Wahab al-Sya’rani dalam kiktab Mizan al-Kubra, kita akan dapat mengamalkannya sesuai dengan kondisi kita masing-masing. Pendapat hukum yang dikonsepsikan oleh al-Syafii dapat dimaknai sebagai hukum yang ringan (al-Khafifah), biasanya diamalkan oleh manusia yang masuk dalam kelompok yang lemah (al-dhuafa’). Sedangkan pemikiran hukum yang dikonsepsikan oleh imam Abu Hanifah masuk kelompok al-syadidah (hukum yang berat), biasanya diamalkan oleh orang-orang yang kuat (al-aqwiya’). Dan yang paling utama adalah perilaku wara’, yang diamalkan oleh orang-orang khusus (al-akhas), yakni orang-orang yang derajat pemahaman dan pengamalan keagamaannya tidak hanya kepada perspektif hukum yang normatif saja, tetapi lebih dari itu pertimbangan penghambaan dan kedekatan kepada Allah Swt. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Satu Tulungagung, Pengasuh PP al-Kamal dan Pengurus NU Kab Blitar