Minggu kemarin kita dalam pengajian ba’da subuh memperoleh kesempatan dari Allah untuk menyelesaikan kajian kitab Ta’lim al-mutaalim dan syarahnya. Sebuah kitab yang ditulis oleh Syekh Ibrahim ibn Ismail dalam memberikan komentar kepada kitab dari Syekh Zarnuji. Pemahaman yang menarik dari kitab ini adalah sebuah kitab yang berisi sebanyak 13 fasal, tentang proses pembelajaran ilmu pengetahuan. Di mulai dengan fasal yang mengetengahkan tentang hakikat ilmu, keutamaannya, tujuan memperoleh ilmu, pemilihan ilmu, pemilihan guru, teman. Kemudian dilanjutkan dengan menghormati ilmu dan ahli ilmu, fasal tentang bersungguh-sungguh dalam mendapatkan ilmu, cita-cita yang tinggi. Diteruskan tentang tata urutan dalam menuntut ilmu, tawakkal, waktu-waktu yang baik dalam belajar, penjelasan tentang kemuliaan sifat kasih sayang dan nasehat, fasal tentang berusaha mendapatkan ilmu dari seseorang dan memanfaatkanya. Penjelasan tentang sifat wara’ (hati-hati), bab tentang beberapa hal yang harus dihindari karena menyebabkan seseorang pelupa atau dilakukan dalam rangka memperoleh hafalan dalam ilmu dan diakhiri dengan penjelasan perkara yang dapat menyebabkan seseorang memperoleh rizki.
Selama mengaji ini ada kesan menarik dari kitab ta’lim al-mutaalim, di antaranya adalah kitab ini memberikan penjelasan tentang adab seseorang memperoleh ilmu ynag bermanfaat dunia dan akhirat. Ilmu yang bermanfaat dan barakah adalah cita-cita seorang santri pada umumnya. Maka tidak heran kemudian di pesantren-pesantren kode etik dalam memperoleh ilmu dalam sehari-harinya mereka mempraktikkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab ta’lim ini. Mulai dari niat menuntut ilmunya, adab bersama guru dan keluarganya, cara membawa kitabnya, adab bermusayawarah, interaksi dengan sesama teman, semuanya selalu berpegang teguh kepada kitab ta’lim. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan dihati penulis ”apakah ini mungkin yang menjadikan alumni-alumni pesantren, akhirnya marketable, bermanfaat, barakah hidupnya, ketika mereka pulang ke masyarakatnya masing-masing, berkat ketekunan, dan keteguhan mereka berpegang teguh kepada ajaran kitab ta’lim ini”.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan di hati lagi adalah, mengapa di luar pesantren sejak penulis mengenal kitab ta’lim, banyak pengkaji ilmu-ilmu keislaman mengkritik kitab ta’lim ini, dengan ungkapan sudah tidak relevan dengan zaman. Padahal menurut penulis kitab ta’lim ini pada masa-masa modern atau milenial sekarang ini menemukan momentumnya untuk digiatkan lagi, karena kitab ta’lim telah terbukti untuk menghasilkan kader-kader ilmuwan ilmu-ilmu keislaman di tengah-tengah masyarakat. Kita dapat amati bersama-sama di kampung-kampung di seluruh Indonesia ini, mereka yang mempunyai komitmen perjuangan dalam mensyiarkan Islam, mayoritas dari kalangan santri yang pernah mengkaji kitab ta’lim ini. Apalagi dalam hal pembentukan karakter santri, kitab ta’lim ini, nampaknya tidak ada lagi yang menyaingi. Kitab ta’lim terbukti membentuk ilmuwan muslim yang tawadhu’, loyal terhadap ajaran agamanya, menjadi pribadi yang taat, dan akhlaq-akhlaq yang baik lainya, terekpresikan oleh mereka-mereka yang pernah mengaji kitab ta’lim.
Kemudian yang menjadi pertanyaan dihati penulis lagi adalah, paparan filsafat Pendidikan yang dijelaskan oleh para pemikir-pemikir muslim. Misalnya Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, seringkali oleh pengarang kitab syarah ta’lim dikutib menjadi pengembangan dari kitab intinya. Padahal tokoh-tokoh ini adalah imam-imam mujtahid dari kelompok Hanafiah yang notabene termasuk madhab ahl ra’yi atau rasionalis. Artinya kitab ta’lim ini juga memberikan indikasi kepada pengikut madhab Hanafi dalam masalah hukum Islam. Di sisi lain madhab rasionalis dalam konteks kekinian relatif dapat diterima dalam hal interaksi sosial kemasyarakatan dibanding dengan madhab yang lain yang tekstualis. Maka dari itu, kalau kemudian ada sebagian orang mengkritik kitab ta’lim dan syarahnya ini, patut dipertanyakan, apakah dia pernah mengkaji secara serius atau tidak terhadap kitab yang paling pasaran di pesantren ini.
Yang paling penting lagi pertanyaannya adalah mengapa kitab ta’lim ini diakhiri dengan bab tentang usaha mendapatkan rizki. Dalam kitab ini penulis kitab, menjelaskan bahwa wajib bagi penuntut ilmu mempunyai makanan, menjaga dirinya tetap dalam keadaan sehat, dengan mengutip Hadits Rasulullah Saw, ”tidak dapat menolak takdir kecuali dengan doa, tidak dapat menambah umur kecuali dengan melakukan kebaikan, seseorang dapat terhalang rizkinya disebabkan dosa yang dia lakukan”. Dari Hadits ini sebenarnya dapat dimengerti bahwa seseorang yang menginginkan kualitas umurnya maka dia harus berbuat kebajikan, juga kalau ingin mendapatkan rizki dia harus menghindari dosa. Kelanjutanya seseorang harus menghindari tidur pagi, banyak tidur, menghindari tidur dengan telanjang, makan sambal tidur. Meremehkan terhadap makanan, menyapu rumah malam hari, berjalan di hadapan guru, memanggil kedua orang tuanya dengan namanya, bersandar di daun pintu, memperbaiki baju saat masih di badan dan sebagainya. Juga diajari di kitab ini beberapa doa dalam rangka memperoleh rizki, baik dibaca saat pagi, siang atau malam hari, sebagai sarana meminta kepada Allah Swt supaya hajatnya dikabulkan terutama berkaitan dengan urusan rizki.
Artinya kitab ta’lim ini adalah kitab yang visioner, menatap masa depan, terutama bagi anak didik kita, para santri, memang dapat dibentuk menjadi seseorang yang mempunyai karakter kepribadian seorang muslim yang excellence, baik dari sisi intelektualnya, spiritualnya, maupun dari sisi kapital ekonomi dalam menopang kehidupannya. Maka tidak benar kalau kemudian kitab ta’lim ini dianggap kolot dan ketinggalan. Yang benar para pengkritik ta’lim belum benar-benar memahami dan mengaji kitab ta’lim secara tuntas. Berbeda dengan apa yang saya ketahui, selama membaca kitab ta’lim yang penuh dengan kesan ilmiyah secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis ilmu pengetahuan. Wa Allahu A’la bi al-Shawab.
* Mudir PP al-Kamal, Pengurus NU Blitar dan Pengajar UIN Satu Tulungagung