قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس منا من لم يوقر كبيرنا ولم يرحم صغيرنا
(Bukanlah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, dan tidak menyanyangi yang lebih muda)
Dalil Rasulullah di atas akan kita aktualisasikan dalam tulisan, ilustrasi persaudaraan dengan saudara-saudara kami dengan seorang yang bernama Hasan Ismail, suami dari buliknya istri, menantu kedua dari KH Thohir Wijaya, yang domisili di Prambon Nganjuk Jawa Timur. Saya pikir saya tuliskan dalam beberapa kalimat teks ini sebagai kenang-kenangan selama saya ber-muasyarah dengan dia selama 22 tahun. Pertama kali kenal saat mulai khidmah di IAI Tribakti Kediri tahun 2000-an, bersama-sama Prof. Maftukhin mengelola Pascasarjana (S2). Pada waktu itu perkuliahan pascasarjana banyak diajar oleh dosen-dosen dari Jakarta, setelah mengajar di Kediri biasanya terus ke Malang atau Surabaya dan sebaliknya. Maka ketika kita membutuhkan bantuan transportasi mobil, biasanya yang dijujug membantu adalah pak H. Hasan Ismail. Biasanya dilakukan pada malam sabtu atau sabtu pagi, setelah perkulihan mahasiswa pasacasarjana Pak Hasan membawa dosen ke Malang atau menjemput dari Malang ke Surabaya. Dari rutinitas pengabdian di IAI Tribakti inilah saya mengenal pertama kali Pak H Hasan Ismail.
Selanjutnya pada saat saya diundang oleh calon mertua, KH. Mahmud Hamzah untuk hadir dalam acara haflah akhir sanah PP al-Kamal Kunir Blitar, sekitar tahun 2003, saya juga dipertemukan dengan pak Hasan dan pak Maftukhin lagi. Ternyata pak Hasan adalah menantu dari Mbah Yai Thohir Wijaya, adik sesama menantu Yai Mahmud, juga adik dari Kyai Syafii Sulayman, Aktivis NU, juga Partai Persatuan Pembangunan era 1970-1990-an, dan alumni Senior Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Catatan saya pada waktu itu adalah para aktifis, pengabdi, dan pejuang itu semua adalah dipertemukan dalam sebuah lembaga besar yang Namanya PP Lirboyo Kediri dan sama-sama berjuang mengabdi di masyarakatnya masing-masing dengan berbagai jalur, baik politik, dakwah, pendidikan dan aspek-aspek sosial kemasyarakatan lainya.
Sejak tahun 2003 itulah muamalah saya dengan Pak H Hasan semakin intens, karena kami menjadi satu keluarga besar, yakni Bani Thohir Wijaya, hanya saja beliau berada di gererasi anak, saya berada di generasi kedua atau cucu. Banyak kebaikan-kebaikan selama bergaul dengan dia, di antaranya bersikap mengayomi kepada saudaranya, selalu menyambung tali silaturahmi, selalu sambang kepada yang sakit, selalu membantu saudara yang repot, selalu mengajak humor kepada sesama, bertangung jawab kepada keluarga, pekerja keras dan istiqamah sebagai petani, berpegang teguh kepada prinsip-prinsip santri dan ajaran islam, orang yang diberi nikmat dapat menjalankan ibadah haji lebih awal dari saudaranya yang lain, tidak mau merepotkan orang lain, keras dalam pendidikan kepada anak-anaknya, hormat kepada yang lebih tua dan sifat-sifat kebaikan yang lain. Dapat menjadi pelajaran bagi kita yang masih muda dalam menjalani perjalanan kehidupan yang penuh dengan tantangan.
Ada beberapa ilustrasi menarik yang beliau katakan, Ketika berusaha menjaga persaudaraan, misalnya, “mobile awak e dewe iki, umpomo ra usah di setir, kiro-kiro teko panggonane, kerono saking seringe wira-wiri kunir prambon”, mobil kita ini mungkin akan sampai ke tujuan nya, walaupun tidak memakai sopir, karena memang sering nya jalur Kunir Blitar dan Prambon Nganjuk. Memang tradisi keluarga kalau tiap minggu dahulu selalu kumpul, selalu silaturahmi, sambang paseduluran. Mushaharah, yaitu Kyai mahmud dan Bu Nyai Tutik, selalu mengajak ke rumahnya pak H. Hasan, kalau keluarga Prambon tidak kunjungan ke Kunir. Dan ini berjalan sejak para sesepuh dahulu masih sugeng selalu menjaga keistiqamahan dalam silaturahmi. Karena dari silaturahmi adalah ajaran sunnah dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah, juga membawa hikmah yang begitu besar. Di antaranya adalah sebagai sarana sharing, saling berbagai di antara sesama saudara, baik dalam masalah ekonomi, pendidikan anak, utang-piutang, perjodohan, merekatkan hubungan kekerabatan, menyelesaiakan keruwitan hidup, politik, hak-hak ketetanggaaan dan sebagainya dan tentunya adalah ibadah kepada Allah karena dasar teologis dari silaturahmi sudah jelas tertuang dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan yang lain dari pak hasan, ”sopo wae kon dulur-dulur ku, lek mlebu Prambon, ora usah gowo-gowo title, jabatan, karo nasab, timbang kisinan”, siapapun kamu saudaraku, kalau kumpul keluarga ora usah bawa-bawa title, jabatan dan nasab, daripada nanti malu sendiri. Dan pelajaran ini betul-betul tertanam di dalam keluarga di Prambon Nganjuk. Siapapun keluarganya, baik dia hakim, doktor, profesor, konglomerat, direktur, kyai, ketika sudah berkumpul di satu keluarga sudah tidak ada lagi yang membawa atribut social. Sehingga yang saya tahu semua keluarga besar dengan latar belakang apapun menghormati satu sama lain, terutama kepada yang lebih senior, yang saat ini adalah pak H. Hasan Ismail. Maka seolah dalam interksi dalam keluarga tidak pernah terjadi ketegangan, selalu humoris, gojlokan, dan ngangeni antara anggota keluarga satu dengan yang lain.
Pak haji Hasan adalah sosok yang selalu menghormati tamu (ikram dhuyuf). Ini terbukti selama menjalin silaturahim dengan beliau. Saat dia keluarganya berkunjung ke Kunir, walaupun menginap tidak pernah dia meninggalkan majlis silaturahim, sebelum saudara-saudara yang lain meninggalkanya. Sebaliknya kalau keluarga Kunir berkunjung ke Nganjuk selalu kelurga Kunir yang tidur duluan sementara beliaunya menungguhi, menyenangkan, memberikan humor dan menyiapkan rung istirahat untuk saudaranya. Itu kita sadari bahwa memang beliau selalu berusaha menyenangkan saudaranya, terkadang memayahkan dirinya sendiri.
Kebaikan dari pak haji Hasan lagi adalah selalu ringan untuk membantu saudaranya. Yang saya tahu dia selalu bertindak sebagai orang tua bagi saudaranya, baik saudara sendiri, keponakan, dan kerabat-kerabat yang lain. Hubungan kekerabatan yang pak hasan jalankan selalu ringan tangan, tetapi Ketika dia mendapatkan masalah dia enggan untuk bertutur kata kepada saudaranya. Dalam keluarga besar itu masalahnya sangat beragam, mulai dari kekurangan ekonomi, saudara sakit, saudara yang gesekan, masalah tarbiyat aulad, pendidikan anak, perjodohan, hajatan, seabrek problem-problem social masyarakat juga terjadi dalam internal keluarga. Dalam hal ini pak H. Hasan selalu menjadi orang yang terdepan untuk membantu persoalan, problematika saudaranya. Tetapi baiknya dia tidak mau merepotkan saudaranya, jika dia sendiri mendapatkan masalah, atau sakit. Ini terlihat selama mengenalnya 22 tahun tidak pernah menemukan dia mau suntik atau berobat ke dokter. Dia mau ke dokter baru minggu kemarin, ketika sudah tidak sadarkan diri, dibawa ke rumah sakit, kemudian dirawat dua hari kemudian dipanggil Allah Swt di umur yang ke 64 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Allahumma ighfir lahu wa irhamhu wa afihi wa’fu anhu. Minta doa semoga amal shalihnya diterima oleh Allah dan diampuni semua dosa-dosanya. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.
*Alumni PP lirboyo, Pengajar UIN Satu Tulungagung Dan Pengasuh PP al-Kamal Blitar