Ahlu Sunnah wa al-Jamaah adalah kelompok yang muncul pasca wafatnya Rasulullah Saw, respon atas ketegangan antara dua kutub pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Kelompok ini didasarkan kepada landasan hadits yang didawuhkan oleh Nabi Muhammad,
افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما انا عليه اليوم و أصحابه
(Orang Yahudi menjadi 71 atau 72 golongan, orang Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku (kaum muslimin) akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang selamat dari satu golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang selamat itu? Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah al-sunah wal jama’ah itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku dan sahabatku pegangi hari ini).
Hadits ini menjadi dasar bagi kelompok ahl Sunnah wal Jamaah, dalam menguatkan pendapatnya, bahwa inilah kelompok yang memang benar dan nantinya akan mendapatkan keselamatan baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Memang pasca wafatnya Rasul, sudah tidak ada lagi tempat untuk bertanya tentang segala sesuatu, yang mempunyai otoritas, kekuatan penafsir tunggal, absolut kebenarannya. Maka seandainya terjadi problematika di masyarakat muslim pasca Rasul, mempunyai potensi untuk berbeda, tidak ada yang bisa memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya. Hal ini dapat dipelajari ketika ada perbedaan antara sahabat ketika mencari pengganti Rasulullah, perbedaan sahabat dalam pengamalan ajaran Islam tentang ibadah, pelaksanaan hukuman, menafsirkan al-Qur’an atau Sunnah, perbedaan tentang penilaian baik dan buruk, perbedaan dalam hal bacaan al-Qur’an, ataupun terjadi perbedaan dalam kaidah-kaidah bahasa Arab, kaidah ushul, kaidah fiqih dan sebagainya.
Dinamika pemahaman ajaran Islam pasca wafatnya Rasul itulah kemudian melahirkan berbagai kelompok Islam. Misalnya ada Qadariyah yang cenderung rasional, Jabariyah yang fatalism kepasrahan, ada Mu’tazilah yang juga rasional, ada Syiah yang fanatisme dan ahlu Sunnah wal Jamaah, sebagai respon dialektika antar kelompok-kelompok yang lain. Ahlu Sunnah wal Jamaah yang pada awalnya dipelopori oleh abu Hasan al-Asyari, yang kemudian disebut dengan Asyariyah, mengambil jalan tengah dari perbedaan pendapat kelompok-kelompok yang lain. Ini kemudian dalam tradisi pemikiran Islam disebut dengan kelompok Sunni. Kelompok Sunni ini pada tataran realitas akhirnya menjadi ideologi bagi gerakan-gerakan umat Islam yang selalu mengambil jalan tengah (tawassuth), mempunyai pengikut yang mayoritas, selalu bisa bersanding dengan pemerintah, dan mendapatkan legitimasinya, sejak aliran ini disiarkan sampai sekarang selalu menjadi umat yang mayoritas, dan patner dengan kekuatan politik yang berwenang. Dalam sejarah Islam dapat dibuktikan mulai dinasti Umayah, Abbasiyah, Turki Utsmani, Dinasti Mughal, Islam di Andalusia, adalah para penguasa muslim yang semuanya berafiliasi kepada Sunni.
Dalam sebuah dawuh dijelaskan pula, “alaykum bi sawad al-a’dham” berpeganglah kepada kelompok yang paling banyak. Dalam konteks kelompok-kelompok Islam realitas sejak dahulu sampai sekarang kelompok mayoritas adalah kelompok sunni, mayoritas muslim di dunia juga mengikuti kelompok sunni, yang lebih nyaman, fleksible, moderat. Terutama di Nusantara ini memang sejak disyiarkan oleh para ulama, yang memang secara transmisi ilmiyah dan sanad dakwah bersambung kepada ulama-ulama Sunni. Misalnya kepada imam madhhab empat Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali dalam bidang fiqih, Imam Asyari dan Maturidi dalam bidang aqidah, dan Imam Ghazali dan Junaidi dalam bidang tasawuf atau akhlaq. Artinya pilihan-pilihan kemadhaban, baik fiqih, aqidah atau akhlaq oleh para penyiar Islam di Nusantara, didasarkan alasan-alasan rasional yang kuat, pijakan keilmuan yang tersambung, dan pengalaman religiousitas.
Patut disyukuri ahlu sunnah wa al-jamaah di bumi Nusantara masih terus disyiarkan oleh para kekasih Allah (awliya’), yang dikenal dengan wali songo. Para wali songo ini Ketika mensyiarkan Islam, dengan prinsip jalan tengahnya akhirnya dapat diterima dan bekerja sama dengan penguasa penguasa politik saat itu, yang secara formal masih berbentuk kerajaan-kerajaan Hindu Budha. Wali Songo dapat masuk dalam kegiatan dakwah dan politik, sehingga di Nusantara ini juga lahir kerajaan-kerajaan Islam, misalnya kerajaan Demak, kerajaan Samudra Pasai dan lain-lain. Perjuangan para wali itu kemudian juga bersambung oleh kyai-kyai di dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Para kyai kita yang dimotori oleh KH Hasyim Asyari mendakwahkan Islam ahl Sunnah wal Jamaah, dengan prinsip kemoderatan ajaran, yang diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana para pendahulunya yang selalu dapat berkolaborasi dengan pemerintahan. Dalam bidang politik para kyai telah menanamkan jiwa nasionalismenya sejak masa kolonialisme. Taruhlah produk kyai tentang resolusi jihad dalam memperjuangkan kemerdekaan, merumuskan dasar negara Pancasila, terlibat langsung dalam menjalankan roda pemerintahan sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Soesilo Bambang Yudoyono, dan Presiden Joko Widodo. Kyai-kyai masih tetap konsisten memperjuangkan misi ahlu Sunnah wal Jamaah dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara. Artinya ideologi politik Sunni sejak zaman munculnya sampai sekarang masih eksis dan istiqamah dalam mewarnai kehidupan muslim dalam bidang politik.
Dalam bidang yang lain, menurut saya yang membedakan Islam Indonesia dengan di belahan dunia yang lain adalah adanya syiar Islam dalam pendidikan pesantren. Transformasi ilmu-ilmu keislaman di pesantren sebagai sebuah bentuk pendidikan dalam rangka transformasi ilmu berbebasis kitab-kitab kuning yang rata-rata dikarang oleh ulama sunni. Baik kitab fiqih, akidah, akhlaq, tafsir, hadits, ushul, tasawuf adalah pilihan-pilihan referensi Sunni. Ini adalah bentuk kecerdasan (kealiman) para kyai, yang mempunyai tujuan tidak hanya transformasi ilmu, tetapi di pesantren dengan kajian kitab kuningnya adalah sebagai lembaga kader pejuang Islam Sunni. Dengan pesantrennya inilah telah menghasilkan pejuang-pejuang Sunni yang militan di Indonesia. Dan sekarang menemukan momentumnya, pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan kader Sunni yang mapan, yang teruji, sejak era wali songo sampai sekarang. Ini dapat diteliti sampai di kampung-kampung di Nusantara, bahwa mereka-mereka yang mempunyai jiwa perjuangan ala ahlu sunnah wa al-jamaah adalah produk lembaga pendidikan pondok pesantren, terutama yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
Dalam konteks sekarang di NU sudah menghasilkan kader-kadernya dalam memperjuangkan Islam ahl sunnah. Secara sumber daya manusianya sudah mencukupi atau bahkan berlebih untuk dakwah Islam di Nusantara. Hanya saja perlu memperkuat obyek dakwah dalam bidang yang lebih luas lagi, tidak hanya pendidikan pesantren dan politik. Tetapi lebih diperluas ke bidang ekonomi, seni budaya, lingkungan hidup, perburuhan, pertanahan, keamanan, perbankan, teknologi informasi dan sebagainya. Dengan memperluas obyek dakwah di masyarakat, aktualisasi ajaran Islam Ahlu Sunnah akan lebih luas, sumrambah dalam menebar rahmah, sebagaimana dalil kita Islam rahmatan lil ‘alamin. Selamat Hari Lahir NU, semoga selalu mendapatkan kejayaan dalam menebarkan Islam Moderat, ahl Sunnah wa al-jamaah dalam bingkai masyarakat Nusantara. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN Tulungagung, Khadim PP al-Kamal Blitar Dan Fungsionaris NU Blitar