Ngaji dan Ngabdi 57: Historisitas Pemikiran Hukum Islam (Serial Kuliah Perdana di Universitas Semester Genap 2021-2022)

Ibn Qayyim al-Jawziyah dawuh dalam karyanya I’lam Al-Muwaqqi’in,

تَغَيُّرُ الْفَتْوَى بِحسْبِ تَغَيُّرِ اْلاَزْمِنَةِ وَاْلاَمْكِنَةِ وَاْلاَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ

(Perubahan fatwa mempertimbangkan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan kebiasaan masyarakat). Pendapat Ibn Qayyim mengawali tulisan ini, sebagai gambaran perkembangan pemikiran Hukum Islam. Awal Februari kemarin kita telah memulai rutinitas akademik kembali semester genap 2021-2002, dari strata satu mengajar 7 kelas Sejarah Pemikiran Hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami), Strata dua mengajar dua kelas Hukum Keluarga (ahwal al-syakhshiyah) dan Hukum Ekonomi Syariah (Fiqh Al-Muamalah) dan S3 Studi Islam mengajar satu kelas Fiqih kontemporer. Semua mata kuliah adalah rumpun disiplin Hukum Islam, yang memang sesuai dengan linieritas keilmuan mulai dari S1, S2, dan S3. Pada pembukaan perkuliahan ini kita sampaikan Pemikiran Hukum Islam secara historical methode. Artinya hukum Islam adalah produk kesejarahan religiusitas umat Islam sejak masa diturunkan al-Qur’an masa Nabi Saw sampai sekarang, yang sudah berjalan selama 16 abad lamanya. Dengan dinamika kesejarahan Hukum Islam yang tetap relevan sesuai dengan konteks di mana hukum Islam itu hidup. Sebagaimana Hukum Islam pertama kali dahulu dipraktikkan masa Nabi Saw, dalam situasi Arab dengan nilai-nilai yang berkembang saat itu.
Arab masa itu disebut dengan Jahiliyah, artinya kebodohan dalam hal akidah politheisme, praktik sosial tirani, ketidakadilan, kedhaliman, fanatisme, tribalisme, dan sebagainya. Kemudian Kanjeng Nabi Saw diutus dalam suasana itu untuk menyempurnakan akhlaq umat manusia yang memprihatinkan dalam hal peradabannya. Contoh perilaku yang berkembang masa itu adalah poligami (ta’adud al-zawjat) yang tidak terbatas, aspek theology kemusyrikan, status rendah sosial wanita, monopoli, eksploitasi dan sebagainya. Maka Islam diturunkan dalam rangka memperbaiki perilaku-perilaku tersebut, sebagaimana diungkap oleh Jeng Nabi “Innama buitstu li utammima makarim al-akhlaq”, aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Maka posisi Islam sebagai risalah yang dibawa oleh Jeng Nabi Saw adalah memperbaiki yang tidak baik, meluruskan yang bengkok dan menyempurnakan yang masih terjadi kekurangan-kekurangan.
Dari perspektif lain dapat dipahami bahwa Nabi Saw diutus dengan risalah tauhid disampaikan dalam suasana dunia Arab sudah ada nilai-nilai yang berkembang sejak zaman-zaman terdahulu, tidak free value, tidak bebas nilai (meminjam istilah Muhammad al-Ghazali), dan budaya yang sudah mapan itu tidak mudah untuk dirubah, diperbaiki, atau diluruskan oleh Nabi Saw. Maka sisi-sisi mukjizat, pertolongan Allah untuk Nabi Saw sudah pasti sebagai modal dalam rangka penguat menyampaikan risalah. Mukjizat yang paling agung adalah kitab suci Al-Quran, yang diturunkan secara gradual, berjumlah 6600-an ayat, berisi tentang tuntunan dan pedoman bagi Jeng Nabi Muhammad Saw dan umatnya dalam membangun peradaban yang mulia, baik mulia di sisi Allah maupun mulia di sisi sesama manusia. Dari Al-Qur’an ini peradaban muslim bermuara, selama berpegangan kepada al-Qur’an selama itu pula seorang muslim akan menjadi mulia, sebagaimana dawuh Allah, “Kuntum Khayra Umati Ukhrijat li al-Nas”, kamu adalah umat terbaik yang diutus untuk umat manusia, karena Islam dan al-Qur’an diturunkan oleh Allah untuk Nabi terakhir, umat terbaik, sejak diturunkan sampai nanti hari kiamat. Juga Jeng Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir, memberikan uswah, tauladan dalam membangun peradaban mulia, yang sekarang sudah terkodifikasi dalam sunnah-sunnahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah Saw.
Pada masa ini kemudian disebut dengan masa terbaik,”khayr al-quruni qarni”, (sebaik-baik masa adalah masaku). Masa di mana Jeng Nabi membangun dasar-dasar peradaban bagi seorang muslim berdasarkan dua dasar utama itu, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Masa selanjutnya adalah masa sahabat, masa tabiin, masa imam madhhab dan keemasan Islam, masa kemunduran, masa kebangkitan. Dari tiap masa inilah diskursus, wacana dinamika hukum Islam mengalami dialektika, baik berhubungan dalam praktik keagamaannya, hukum ekonominya, hukum keluarga, politik, social, Pendidikan, budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuannya. Maka dalam diskusi perkuliahan ini pendekatan yang kita ambil adalah pendekatan sejarah. Artinya pemikiran hukum Islam dari tiap tahapannya mempunyai dinamikannya sendiri, mulai zaman Nabi dan sahabat yang menampilkan orisinalitasnya, masa tabiin dan imam madhab yang mulai ada perubahan perubahan (change), masa keemasan yang menampilkan perkembangan (developt) hukum Islam, masa kemunduran yang mempunyai ciri stagnasi, kemandekan sampai kepada masa kebangkitan kembali hukum Islam yang akan menampilkan sisi-sisi pembaruan, kontekstualisasi dalam rangka menjaga eksistensi hukum Islam di tengah dinamika perubahan masyarakat muslim.
Bagian dari dinamika pemikiran Hukum Islam adalah kajian tentang legislasi (taqnin) yang berkembang di dunia Islam. Sejak ditebarkan modernisasi, salah satu respon yang ada dalam umat Islam adalah adanya pengundangan Hukum Islam dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dunia muslim juga diundangkan beberapa undang-undang yang mengatur masyarakat muslim. Misalnya Undang-Undang (UU) tentang zakat, UU haji, UU dalam bidang pernikahan, perceraian, wakaf, masalah kepengasuhan anak, nafkah, Undang-Undang tentang pemberlakuan ekonomi syariah, produk-produk perbankan Syariah, peraturan daerah syariah, Undang-Undang tentang sertifikasi halal dan lain-lain.
Dalam disiplin keilmuan Islam, terutama yang mengambil bidang kajian Islamic studies, juga dikembangkan pemikiran hukum Islam dengan berbagai pendekatan, baik normative, filosofis, hermeneutika, sosiologis, antropologis, budaya, untuk mengkaji berbagai masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Ini biasanya dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa program doktor dalam rangka tugas akhir disertasi, sebagai upaya pengembangan wilayah penelitian, dan untuk usaha menampilkan teori-teori baru dalam rangka menjaga kesinambungan keilmuan hukum Islam (historical sciences), sebagaimana dilakukan oleh para Jurist, fuqaha’ pada tiap masanya, sejak zaman klasik sampai masa kekinian tidak berhenti berinovasi, menemukan teori-teori baru. Masa-masa awal kita mengenal sahabat besar Abu Bakr, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Masa tabiin kita mengenal Abu Hanifah, al-Tauri, al-Laytsi, Imam Malik, Ibn Sa’d, Sufyan Ibn Uyanah, Ibn Mas’ud dan sebagainya. Masa imam Madhhab, tabi’al-tabiin dikenal al-Syafii, Ahmad Ibn Hanbal, Abu Sulayman al-Dhahiri, masa kemunduran kita mengenal Imam Nawawi, al-Rafi’i, Ibn Rusyd, al-Ghazali, al-Mawardi, Izudin Ibn Abdi Salam, Ibn Taymiyah, al-Suyuti, al-Syatibi, Zakariya al-Anshari. Masa kebangkitan dikenal Waliyullah al-Dihlawi, Muhammad Abduh, Nawawi al-Bantani, Hasyim Asyari, Ali al-Sayis, Ibn Asyur. Masa kontemporer ada Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhayli, Hasbi Ashidiqi, Sahal Mahfudz, Qadri Azizi, Ali Yafie, Huzairin dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pemikiran dalam bidang hukum Islam dalam tiap tahapannya yang pemikirannya mungkin masih mengendap di manuskrip-manuskrip, belum terekspos dalam penelitian. (bersambung)
*Alumni PP Lirboyo, Pengajar di UIN Satu, dan Khadim PP al-Kamal Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *