Kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kuasa Allah untuk membangkitkan manusia di hari kiamat, ayat ke 34-36 menjelaskan,
فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى . يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى. وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَنْ يَرَى.
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya”.
Dalam tafsir Jalalayn, “al-thammathi al-kubra” dimaknai dengan tiupan sangkalala yang kedua, al-nafkhah al-tsaniyah. Manusia teringat dengan apa yang dilakukan ketika di dunia baik amal baik maupun amal buruk. Dan saat itulah diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Dan setiap yang mempunyai penglihatan baik mata telanjang maupun mata hati, baik mukmin maupun kafir dapat menyaksikan tempat tinggal orang kafir itu. Sedang bagi orang yang selamat tidak akan memalingkan pandangannya ke arah neraka, dia tidak melihatnya, tempat bagi orang-orang mukmin adalah surga. Ini menjadi gambaran keadaan bagi manusia di akhirat yang terbagi menjadi dua, orang yang bertempat di neraka yaitu orang kafir, sedangkan bagi orang mukmin bertempat di surga.
Selanjutnya bagi mereka-mereka yang di neraka digambarkan oleh al-Qur’an dalam ayat:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى. وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى .
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya”.
Dalam tafsir Jalalayn, orang yang melampaui batas itu dijelaskan sebagai orang kafir, mendahulukan kehidupan dunia ditafsiri dengan mengikuti hawa nafsunya. Maksudnya adalah melampaui batas dari sisi akidah dengan bentuk kekafiran, dari sisi yang lain adalah mengikuti nafsunya dalam setiap perbuatan di dunia. Dua hal inilah yang akan mencelakakan manusia di akhirat, dengan balasan neraka sebagai tempat kembalinya. Dari perspektif yang lain mungkin kita dapat mengambil pelajaran bahwa manusia yang dalam setiap perbuatannya tidak didasari keimanan akan berakibat kepada mengikuti hawa nafsu, yang pada akhirnya menjadikan perbuatan melampaui batas, dalam arti di luar batas-batas norma agama, yang nanti di akhirat masuk kepada golongan orang-orang yang celaka, dengan balasan di masukkan neraka.
Kelompok sebaliknya adalah mereka-mereka yang mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan mendapatkan balasan surga,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.
Dalam tafsir al-Shawi menjelaskan takut kepada Allah (al-khawf min al-Allah) itu ada dua derajat, yang umum adalah takut kepada siksa, sedangkan derajat khusus adalah takut kepada keagungan Allah Swt (al-khawf min Jalal Allah). Kedua sifat takut ini sesuai dengan maksud dari ayat itu, baik takut yang umum maupun yang khusus akan menghasilkan ketaatan kepada Allah, yang akhirnya manusia akan mendapatkan balasan surga dari Allah Swt. Ayat itu mengandung makna yang sebaliknya dari ayat sebelumnya yang menggambarkan kekafiran, dalam ayat ini menjelaskan manusia yang taat dan dapat mengendalikan hawa nafsunya, yang dapat menyelamatkan seseorang dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Akhirnya dari paparan itu kita dapat menggarisbawahi bahwa keadaan manusia saat terjadinya hari kiamat kelak sesuai dengan amal perbuatan masing-masing, bagi orang yang menentang ajaran Allah dan Rasulullah akan masuk neraka, sedang mereka yang taat akan mendapatkan balasan surga. Penjelasan dari yang maksiat adalah mereka yang kafir, menentang ajaran yang telah disampaikan Rasulullah, yang perbuatannya selalu mengikuti hawa nafsunya, sehingga inilah yang kemudian disebut dengan melampaui batas, karena dalam setiap perbuatannya tidak didasari keimanan, hanya mengikuti keinginan nafsu belaka. Apapun perbuatan manusia yang lepas dari aspek-aspek keimanan berarti tidak bernilai ibadah kepada Allah, dalam bahasa sekarang disebut dengan sekuler, lepas dari landasan theologis tauhid. Maka bisa jadi nafsu yang tidak terkendali itu berupa materialisme yang beroriantasi materi belaka, hedonisme yang bertujuan kesenangan belaka, atau naturalisme yang dilakukan dalam dimensi hukum alam. Karena tujuan dilakukannya perbuatan hanya berorintasi kepada aspek profanisme, yang didapatkan juga kesenangan duniawi, sementara di akhirat dia tidak mendapatkan apa-apa, selain penyesalan dan kesengsaraan dengan balasan neraka sesuai dengan apa yang dilakukan di dunia.
Selanjutnya adalah kelompok yang taat dengan balasan surga yang dalam ayat di atas didapatkan oleh manusia yang ketika di dunia melakukan perbuatan dengan didasari takut kepada Allah, dimensi keimanan tauhid dan dapat mengendalikan hawa nafsu. Memang dua hal, yaitu keimanan atau takut kepada Allah dan mengendalikan nafsu, adalah hal yang saling keterkaitan. Ketika seseorang melakukan perbuatan dilandasi dengan takut kepada Allah, maka dia akan dapat mengendalikan nafsunya. Manusia masih memikirkan balasan di akhirat, pertimbangan pertanggungjawaban atas perbuatannya, dan beberapa pertimbangan lain sebagai realisasi penghambaan kepada Allah, beribadah, menafikan sisi egoisme sebagai manusia, masuk kedalam sakralitas ajaran tauhid sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah Saw. Sebagaimana dawuh Kanjeng Nabi Saw,
لايؤمن احدك حتى يكون هواه تابعالماجئت به
“Tidak sempurna iman salah satu dari kamu sampai hawa nafsunya mengikuti kepada apa yang saya sampaikan”.
Akhirnya kita berharap dapat menjadi kelompok manusia yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, dengan menjadi hamba yang taat terhadap ajaran Allah dan Rasulullah, dikarenakan dapat mengendalikan hawa nafsu kita dalam melakukan setiap perbuatan.
Memang kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia, dalam ajaran umat beragama terutama Islam, akan didapatkan jika didasari dengan keimanan atau sikap takut kepada Allah, yang aktualisasinya adalah mengendalikan hawa nafsu dalam setiap perbuatan. Dengan begitu manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, yakni kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Berbeda dengan kebahagiaan yang diukur dengan sisi duniawiyah, yang relative, sesaat, terbatas, seseorang tidak akan mendapatkan kebahagiaan, karena ukurannya adalah nafsu. Sedangkan nafsu tidak akan terkendali tanpa didasari dengan keimanan dan sifat takut kepada Allah. Maka manusia yang menuruti hawa nafsunya tidak akan memperoleh kebahagiaan, baik didunia maupun di akhirat kelak, bahkan didalam nas telah dipaparkan orang yang tidak dapat mengendalikan nafsunya akan mendapatkan celaka di akhirat. Wa Allahu A’lamu bi al shawab.
*Pengajar UIN Satu, Alumni PP Lirboyo, Pengasuh PP al-Kamal Blitar