Ngaji dan Ngabdi 63: Pesantren, Ilmu dan Haflah Akhir Sanah

Sabtu malam minggu kemarin, kita mengadakan rutinitas ta’lim dalam dunia Pesantren, yaitu perayaan penutupan akhir pelajaran tahunan, atau yang kita kenal dengan haflah akhir sanah, haflah tasyakur, haflah al-wida’, haflah ihtitam al-dirasah. Sebagai sebuah acara final bagi para thalabah (santri) setelah sekian lama menjalani proses ta’lim di Pondok Pesantren, mulai jenjang ula (dasar), wustha (menegah), ulya (tingkat atas) atau kelas mahasiswa ma’had ali (pesantren tinggi). Pada acara ini semua elemen pesantren hadir, mulai pengasuh, para guru, bu nyai, wali santri, khadam (pembantu) pesantren dan madrasah, masyarakat sekitar, pejabat yang berwenang, stake holder dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI NU), jaringan pesantren dari ormas, partai politik, kementerian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), beberapa pengusaha dan sebagainya. Mereka semua hadir dalam rangka mendoakan para tamatan pesantren, supaya ilmunya bermanfaat dan barakah dunia dan akhirat.
Pada waktu itu sebagai pengabdi (khadim) di Pesantren kita sampaikan kepada semua yang hadir, terutama kepada santri yang sudah tamat dalam satu tingkatan hal-hal penting yang berhubungan dengan tantangan santri sekarang maupun yang akan datang. Di antaranya santri datang di pesantren itu bertujuan dengan tafaqquh fi al-din (memperdalam agama). Dalam sebuah ayatnya dijelaskan:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.
Ayat ini adalah dorongan untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu itulah para santri dapat menjadi pendorong kemajuan dan kejayaan, kelak mereka dapat memperkenalkan, memberikan peringatan, mengajarkan agama kepada orang lain di sekitarnya. Dalam bahasa yang lain santri adalah dinamisator bagi masyarakatnya masing-masing, yang memang di takdirkan Allah untuk berjuang di tengah-tengah masyarakat. Tugas perjuangan ini harus berdasarkan ilmu, maka ke pesantren bagi seorang santri adalah tugas mulia yang diemban dari Allah, dilaksanakan sebaik-baiknya dan nanti kembali ke rumah melakukan pemberdayaan umat. Juga orang yang akan berjuang memerlukan ilmu pengetahuan sebelum terjun di medan masyarakat, untuk berjuang mereka membutuhkan argumen yang kuat, materi yang shahih, sebagai landasan atau dasar perjuangan mereka. Tanpa didasari dengan ilmu agama yang kuat dalam proses belajar yang baik, maka perjuangannya juga kurang baik.
Dan yang patut disyukuri lagi adalah para santri telah melalui tahapan-tahapan ta’lim di pesantren yang begitu lama, ada yang tiga tahun, enam tahun, 10 tahun, 14 tahun dan seterusnya. Dapat menyelesaikan proses ngajinya ini adalah sebuah nikmat yang tidak terhingga dari Allah Swt. Selama ini mereka telah melakukan proses ta’lim dengan berbagai motivasi dan tantangan yang beragam, ada yang mendapat tantangan ekonomi keluarga, tantangan kemalasan, tantangan sakit, tantangan tidak krasan di pondok pesantren, tantangan syahwat kepada temannya dan masih banyak lagi tantangannya, pada malam haflah itu mereka membuktikan telah dapat menghadapinya dengan penuh kesabaran, ketelatenan, keuletan, kesungguhan, dan itu semua adalah bi ‘aunillah, berkat pertolongan Allah Swt. sebagaimana sebuah dawuh Nabi Saw. “man yurid Allahu bihi khairan yufaqihhu fi al-din (barang siapa dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memberikan pemahaman dalam Agama). Hasil yang santri capai itu semua, mulai banyak teman, ilmu, pengalaman pengabdian semua adalah kehendak Allah yang harus dimanfaatkan sesuai perintah Allah yakni menebarkan Islam di bumi.
Dari menyebarkan ilmu agama di tengah-tengah masyarakat inilah ilmu yang dipunyai oleh seorang santri dinilai bermanfaat, baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungannya atau bangsa dan negara. Kemanfaatan ilmu adalah ultimate goal, tujuan tertinggi, bagi siapapun yang mencarinya, dalam bahasa ilmu pengetahuan mungkin ini adalah aksiologi ilmu. Seorang dapat mengaktualisasikan ilmunya sesuai dengan kode etik di dunia ilmu pengetahuan (adab al-ilm). Orang yang paham ilmu sastra arab dapat memanfaatkan ilmu bahasa arabnya untuk mempelajari ilmu Allah dalam khazanah ilmu yang lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu bahasanya, mengembangkan diri dengan bahasa arabnya atau bahkan dapat menghasilkan tulisan-tulisan dalam disiplin ilmu bahasa arab. Karena ilmu agama khususnya dahulu pertama kali memang dihasilkan dan diajarkan dalam bahasa arab. Maka mempelajarinya, mengajarkannya, memanfaatkannya, menuliskannya tentunya tidak dapat meninggalkan bahasa Arab. Misalnya mempelajari ilmu tafsir, membedahnya, mengajarkannya, pasti menggunakan bahasa arab sebagai piranti mempelajarinya. Semoga santri-santri kita ilmunya bermanfaat sesuai dengan bidang yang ditekuninya masing-masing. Amin.
Selanjutnya kemarin juga berpesan kepada para santri dengan menyitir satu bayt syiir,

من رام دراللسفينة يركب  ثم يغوص  البحر ودرا يحصل

(barang siapa bertujuan mendapatkan mutiara maka dia harus menaiki perahu, kemudian menyelam ke dalam lautan, dan menghasilkannya).
Dalam kaitanya dalam proses ta’lim di pesantren ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama. Seseorang santri harus mempunyai idealism, cita-cita yang luhur. Cita-cita adalah mutiara yang terpendam yang harus diperjuangkan untuk mendapatkannya dengan serangkaian proses belajar mengajar di pesantren. Dengan cita-citanya seorang santri dapat focus dalam pengajiannya, belajarnya, walaupun proses di dalamnya pasti dinamis, tetapi minimal cita-citanya ini menjadikan motivasi dirinya bahwa dia adalah calon ilmuwan Islam, cendekiawan, kader-kader umat yang ditakdirkan Allah.
Kedua. Perahu yang dinaiki itu adalah makna tersiratnya adalah proses ta’lim, yang harus dijalani. Orang ingin mendapatkan ilmu agama harus belajar, muthalaah, usaha untuk mencari dan mendapatkannya, tidak dapat sebuah ilmu didapat kecuali dengan usaha yang sungguh-sungguh. Misalnya ada program tiga tahun, 6 tahun, 10 tahun dan sebagainya. Ini adalah usaha lahir sebagai kemampuan basyariah kemanusiaan kita, diluar itu semuanya adalah kuasa Allah Swt.
Ketiga. Tsumma yaghusu al-bahr, bermakna menyelami, mendalami ilmu yang dia usahakan. Artinya santri tidak dapat belajar secara intelektual murni tetapi dia harus mendalaminya, menghayati ilmunya, mempraktikkannya. Karena dengan mendalami, mempraktikannya dalam jangka wantu yang lama, santri akan dapat merasakan ilmu yang dia tekuni, seorang yang mendalami fiqih akan menjadi faqih, orang yang mendalami tafsir akan menjadi mufasir, orang yang mendalami nahwu akan menjadi nuhat, orang yang mendalami sejarah akan menjadi muarikh, orang yang mendalami ilmu balaghah akan menajdi bulagha, syu’ar dan sebagainya. Sebelum dapat merasakan nikmatnya berilmu seseorang yang jangan berhenti untuk menuntut ilmu. Maka kemarin saya pesankan kepada para santri jangan berhenti mengaji di pesantren di manapun yang penting terus berlanjut, insyaallah suatu saat mereka akan mendapatkan mutiara ilmu yang mereka cita-citakan. Ini juga dalam kajian ilmiyah, ilmu mempunyai ciri dinamis, artinya terus berkembang, berubah, secara terus menerus sesuai dengan dinamika manusia itu sendiri. Ketika dalam masyarakat ditemui sebuah perubahan, maka para ilmuwan mencarikan solusinya dengan penelitian, penyelidikan ilmiyah sampai menemukan solusi dari problematika masyarakat itu. Akhirnya ditemukanlah ilmu-ilmu baru, teori baru yang dapat menjawab persoalan-persoalan di masayarakat. Ini dalam kajian ilmu agama disebut ilmu yang bermanfaat yang dapat menghasilkan keberkahan bagi pelakunya, terutama santri-santri nusantara amiin.
*Pengasuh PP al-Kamal, Alumni PP Lirboyo Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *