Fiqih pengabdian yang dimaksud dalam judul ini adalah pemahaman penulis terhadap realitas pengabdian (khidmah) yang telah dilakukan, baik sebagai individu, anggota keluarga, warga masyarakat atau bagian dari lembaga tempat mengabdi. Mengabdi adalah melakukan perbuatan didasari semata beribadah kepada Allah Swt., sesuai dengan tujuan penciptaan awal manusia supaya beribadah kepadanya. Manusia dengan semua apa yang diperbuat, baik dari sisi perkataan, perilaku ataupun hati dengan niat beribadah kepada Allah, itulah pengabdiannya, sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Diantara manusia sebagian ada yang beraktifitas bekerja untuk orang lain, mengajar orang lain, pejabat melayani rakyatnya, atau aktifitas apapun senyampang dikerjakan sesuai dengan aturan Allah dan karena Allah inilah pengabdian sebagai realisasi ibadah kepada Allah. Sebagaimana landasan dasar ibadah dalam surat al-Dhariyat, “Wa ma khalaqtu al-jinna wa al-insa illa liya’buduni”, dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepadaku”. Maknanya tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Akar kata ibadah ini semakna dengan mengabdikan diri. Dengan kata lain, ibadah adalah bentuk bakti kepada Allah SWT, yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini dikuatkan oleh Hadits Nabi Saw. ketika ditanya oleh sahabat, “Ayyu al-shadaqah afdlalu, qala, khidmat abdin fi sabilillah”, sedekah dalam bentuk apakah yang terbaik?” Nabi saw. menjawab; “khidmah di jalan Allah swt.” Artinya ibadah kepada Allah yang paling utama adalah khidmah, mengabdi untuk memperjuangkan ajaran Allah Swt.
Dalan Hadits Rasulullah, realisasi beribadah disebutkan oleh Nabi Saw, “Sayyid al-qawmi khadimuhum”, pemimpin kaum itu adalah yang mengabdikan hidupnya untuk kaumnya. Dari artinya dapat dipahami bahwa para pemimpin-pemimpin umat adalah mereka yang melayani, mengabdi untuk masyarakatnya, memberikan bimbingan, menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, baik bidang agama, ekonomi, politik, keluarga, budaya dan sebagainya. Seluruh aktifitas pelayanan kepada masyarakat adalah wujud khidmah dan beribadah kepada Allah. Dalam perspektif yang lain dapat dipahami bahwa khidmah sebagai bagian dari ibadah melaksanakan perintah Allah dengan objek masyarakat, yang dalam bahasa kitab Kifayat al-Atqiya’ disebutkan bahwa salah satu jalan dapat mendekatkan diri kepada Allah adalah khidmah li al-Nas.
Dalam Hadits Nabi Saw. yang lain juga disebutkan, ketika ditanya oleh sahabat, “sedekah dalam bentuk apakah yang terbaik?” Nabi Saw menjawab; “khidmah di jalan Allah Swt.”
Dari pemikiran ini dapat dilihat praktik pengabdian Nabi Saw, para sahabat, ulama-ulama sejak dahulu sampai sekarang, misinya selalu pemberdayaan kepada masyarakat dan bangsanya. Jeng Nabi berjuang mengabdikan dirinya dengan risalah kenabiannya untuk umat manusia seluruh alam, para sahabat sebagai khalifah menggantikan perjuangan Rasulullah menyampaikan risalahnya, para ulama juga demikian sebagai pewaris para Nabi, meneruskan misi kenabian, al-Ulama waratsat al-Anbiya’.
Dalam konteks keindonesiaan dapat dibaca bagaimana perjuangan ulama untuk kepentingan kemaslahatan umat. Dapat disebut mulai ulama sebelum kemerdekaan seperti Imam Bonjol, Pangeran diponegoro, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahid Hasyim, Kyai Nawawi Banten, Kyai Kholil Bangkalan, Kyai Ahmad Dahlan. Pada masa kemerdekaan ada bapak proklamator Ir. Soekarno, Muh. Hatta, KH. Masykur, KH Syaifudin Zuhri, KH. Mahrus Ali, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, KH. Abbas Buntet dan setelah kemerdekaan perjuangan para ulama juga tidak berhenti untuk umat dan masyarakat Indonesia. Ulama yang bisa dikenal misalnya KH. Ahmad Sidiq, KH. Ali Yafie, KH. Sahal Mahfudz, KH Abdurahman Wahid dan kyai-kyai yang lain yang memang mempunyai perhatian kepada umat dan bangsanya. Maka ada maqalah yang selalu digelorakan oleh para kyai, “hubb alwathan min al-Iman”, cinta tanah air adalah bagian dari iman. Artinya misi keumatan, kemasyarakatan, kebangsaan akhirnya menjadikan para pejuang itu menjadi ulama, di samping memang para pejuang itu sudah mempunyai kompetensi ilmiah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ini yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia, mempunyai karakteristik ulama yang istiqamah memperjuangkan masyarakat dan bangsanya. Kyai-kyai tidak hanya mumpuni dalam bidang ilmiah tetapi aktualisasi diri untuk masyarakatnya. Sehingga menjadikan mereka menjadi pemimpin di masyarakatnya, sesuai dengan perjuangan yang telah dilakukannya untuk umatnya, sesuai dengan dawuh Rasulullah di atas. Ini diperkuat lagi oleh dawuh, “wa bi al-khidmah tanalu al-barakah”, dengan mengabdi di masyarakat maka akan mendapatkan keberkahan, sebagaimana dilakukan dan didapatkan oleh ulama. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.