Ngaji dan Ngabdi 80: Filosofi Hukum ‘Inda Abu Hanifah (Edisi Kuliah Filsafat Hukum Islam)

Menyambung dari tahapan selanjutnya tentang filosofi hukum Islam masa tabiin, yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok ahl Hadits, tekstualis dan kelompok ahl ra’y yang rasionalis. Abu Hanifah dikategorikan kepada ulama ahl ra’yi, Rasionalis. mujtahid mutlaq dan mempopulerkan istinbath hukum (ijtihad) yaitu istihsan.
Menurut Thaha Jabir Ulwani, cara ijtihad Abu Hanifah terbagi dua, cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad merupakan tambahan. Cara ijtihad yang pokok penjelasanya adalah Abu Hanifah merujuk kepada al-Qur’an dan apabila tidak ditemukan merujuk kepada al-Sunah Rasul Saw dan Atsar yang shahih dan diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Abu Hanifah juga merujuk kepada qaul sahabat, apabila terjadi ikhtilaf aku akan mengambil pendapat sahabat yang dikehendaki, tidak berpindah dari sahabat satu kepada pendapat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn Musayyab serta yang lainnya, dia berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Untuk cara ijtihad yang tidak pokok, diantaranya, a) dilalah lafadh umum adalah qath’i sebagaimana lafadh yang khusus, b) pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah pendapat yang khusus, c) banyaknya yang meriwayatkan bukan berarti yang lebih kuat, d) adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat), syarat dan sifat, e) apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatanya bukan riwayatnya, f) mendahulukan qiyas jail atas khabar ahad yang dipertentangkan, g) menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Istihsan sebagai dalil hukum berawal dari qiyas, sebagai metode yang paling tepat untuk menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran maupun Al-Sunnah. Jika qiyas tidak dapat dijadikan metode hukum dalam suatu persoalan tertentu, maka alternatifnya yaitu istihsan. Penetapan hukum menggunakan istihsan ini didasarkan pada prinsip untuk mengutamakan kemaslahatan. Dalil Hukum Islam menurut Imam Hanafi al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, baru kemudian kalau tidak ada memakai istihsan.
Logika hukum Abu Hanifah demikian, ada baiknya diberi contoh produk hukum yang merupakan refleksi dari filsafat hukumnya, yaitu mengenai konsep kafa’ah, kedudukan wali dalam pernikahan, dan nasab anak diluar nikah. Dalam pandangan Abu Hanifah, kafa’ah meliputi enam unsur, yaitu keturunan (nasab), agama (ad-Din), kemerdekaan (al-hurriyah), harta (al-mal), kekuatan moral (diyanah), dan pekerjaan (al-shina’ah). Konsep kafa’ah muncul pertama kali sebagai respons atas perbedaan sosial yang kemudian bergeser menjadi masalah hukum.
Model berpikir Abu Hanifah yang cenderung menggunakan akal (rasionalis), dilatarbelakangi oleh, 1) Kondisi social budaya Iraq yang cenderung lebih dinamis dibanding Hijaz, Makkah dan Madinah. 2) Jarak Iraq dan Hijaz sebagai tempat tumbuhnya, Hijaz sulit dijangkau. Akhirnya membawanya kepada corak yang lebih rasionalis. 3) Jalur keilmuan Abu Hanifah dari guru-gurunya yang lebih kepada ahl ra’yi sehingga mengantarkan dia kepada ahl ra’yi.
Beberapa murid dari Abu Hanifah adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani dan Abu Yusuf pengarang kitab al-Kharaj. Dari kedua muridnya ini kemudian madhhab Hanafi masih dapat berkembang sampai sekarang. Di samping factor relevansi pemikirannya juga kitab-kitabnya atau penulisan fatwa-fatwa Imam Hanafi oleh muridnya.
Sumber Bacaan: Thaha jabir Ulwani, Adab ikhtilaf fi al-islam, (Washington, The International Institue of Islnic Thought, 1987), Jaih Mubarak, Sejarah perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 2000), Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Yogjakarta: Teras, 2009
*Pengasuh PP al-Kamal, Pengajar UIN Satu dan Fungsionaris NU Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *