Pada tanggal 28 Desember 2022 saya kebetulan menjadi narasumber dialog lintas agama dalam bingkai moderasi di Indonesia yang diadakan oleh Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Narasumber yang hadir adalah Dr. H. Darin Arif Mualifin akademisi, Pak Didik dari umat Nasrani, dan Pak Gandia Blitar dari umat Budha, dan saya sendiri yang mewakili akademisi Muslim. Acara ini diselenggarakan dalam rangka refleksi akademik dan sosiologis dalam mencermati perkembangan kehidupan beragama di Indonesia, yang kadangkala masih rentan benturan yang disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya egoisme dalam menjalankan keyakinan keagamaan yang akhirnya menafikan keberadaan umat yang lain. Akhirnya muncullah kasus-kasus yang dilatarbelakangi oleh agama. Misalnya benturan akibat pendirian tempat ibadah, saling merendahkan antara satu dengan yang lain, adanya bom bunuh diri, perusakan tempat ibadah suatu agama, sehingga keberagamaan yang seharusnya menampilkan keindahan dan harmoni akhirnya tampil dalam bentuk perbuatan yang tidak baik, dilihat dari sisi kemanusiaan atau ajaran universal suatu agama.
Faktor lain yang menyebabkan konflik agama adalah penafsiran terhadap ajaran agama. Dalam diskusi itu memang diakui bahwa dalam semua agama pasti ada pemahaman terhadap ajaran agama yang cenderung ekstrem-radikal melihat sebuah agama yang monoton, tunggal sesuai dengan perspektifnya, ada lagi yang liberal, seolah lepas dari ajaran agama, juga ada yang moderat yang tampil ditengah-tengah di antara dua kutub yang berbeda. Akhirnya dalam satu agama saja kadang muncul perbedaan yang tajam dalam pemahaman suatu ajaran. Dalam konteks Islam misalnya ada khawarij, mu’tazilah dan ahl sunnah. Dalam aktulisasinya klub-klub ini muncul seiring dengan dinamika historisitas Islam sejak zaman klasik sampai sekarang dengan performa yang berbeda.
Mengingat Indonesia adalah sebuah negara besar, yang diisi oleh berbagai bangsa, suku, agama, dengan wilayah geografis yang begitu luasnya, maka praktik keberagamaan di Indonesia juga mengalami dinamika sebagaimana yang terjadi di atas. Ini menuntut semua elemen bangsa untuk dapat mencarikan formulasi atau solusi dari berbagai problematika masyarakat yang diakibatkan perbedaan pemahaman, berbeda karakter itu. Maka dialog lintas agama yang diadakan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum itu menemukan momentumnya, apalagi bersamaan dengan pelaksanaan program pemerintah dalam mensosialisasikan moderasi di Indonesia dan peringatan Natal oleh umat Kristiani.
Moderasi beragama adalah sebuah pemahaman terhadap ajaran agama dengan mengambil sikap jalan tengah, di antara dua kutub yang berbenturan. Dalam al-Qur’an, prinsip jalan tengah ini disebut dengan istilah “wasatha”. Penekanan terhadap jalan tengah dalam pengamalan ajaran islam sudah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw. Misalnya Kanjeng Nabi ketika menengahi perbedaan pandangan antar kelompok di Makkah, sewaktu merenovasi ka’bah, Jeng Nabi juga melarang para sahabat untuk menyiksa seorang Yahudi yang mengotori Masjid. Nabi juga bersabda “khairu al-Umur Awsathuha”, sebaik-baik perkara adalah yang ditengah-tengah. Dalam konteks ajaran Islam baik yang dipraktikkan masa Rasul, klasik, pertengahan maupun modern dan saat ini, pemahaman yang moderat atau di tengah yang lebih bisa diterima oleh masyarakat muslim di seluruh dunia. Ini dapat dibuktikan dalam bidang hukum Islam yang di dalamnya ada aliran-aliran yang begitu banyaknya, tetapi yang dapat eksis sampai sekarang adalah aliran atau madhhab yang tergabung dalam kelompok ahl sunnah, yang nota bene pemahaman hukum Islamnya di tengah-tengah atau moderat.
Maka kemarin dalam dialog lintas agama ada beberapa catatan penting sebagai bahan refleksi praktik keberagamaan di Indonesia. Yaitu pertama, semua agama mempunyai ajaran inti untuk menebar kasih sayang antar sesame hamba Tuhan. Maknanya semua agama yang ada di Indonesia, baik Nasrani, Protestan, Konghucu, Hindu, Budha, Islam mengajarkan kasih sayang kepada semua hamba Tuhan. Baik manusia, binatang dan alam semesta. Ajaran kasih sayang ini merupakan inti dari semua agama untuk menebar prinsip-prinsip kemanusiaan dan berpihak kepada manusia, mengingat agama diturunkan kepada semua utusannya untuk menebar kasih sayang kepada manusia tanpa kecuali. Dalam konteks Islam sekalipun di dalam ajarannya adalah rahmah untuk seluruh alam. Yang dalam praktiknya islam harus diamalkan dalam kehidupan muslim dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya, di dalamnya ada urusan politik, ekonomi, keluarga, pendidikan, budaya, yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat keyakinan, tetapi berbasis ajaran dasar kemuliaan. Kalau ada yang sakit dijenguk, kalau ada yang kesusahan ditolong, kalau ada yang tidak mengerti diajar, bekerjasama dalam bidang ekonomi, dan contoh-contoh lainnya. Semua sudah dipraktikkan oleh semua warga bangsa Indonesia. Misalnya juga seseorang mau kerjasama dengan pihak perbankan, dia tidak harus beragama tertentu, dengan keyakinan tertentu, tetapi syaratnya adalah kesepakatan-kesepakatan yang didasarkan nilai kemanusiaan, dengan jaminan keadilan bersama.
Kedua, Semua pelaku kejahatan yang melanggar asas kemanusiaan pasti akan mendapatkan sanksi baik social maupun formal. Ini bisa dilihat bagi pelaku pencurian, korupsi, perzinaan, kekerasan, semua akan diberi sanksi oleh hukum yang berlaku. Karena kejahatan adalah pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, baik latar belakang agamanya apapun kalau dilanggar hak-haknya pasti akan berurusan dengan hukum, baik menyangkut hukum perdata maupun hukum pidana. Terutama bagi kelompok masyarakat yang berperadaban, sanksi social akan diberikan bagi pelaku kejahatan, karena bertentangan dengan norma-norma yang berkembang di masyarakatnya.
Ketiga, Pengamalan Pancasila sebagai wujud ikhtiyar untuk mencapai sinergi antara agama Indonesia, mengingat itu merupakan konsensus bersama para pendiri bangsa yang di dalamnya adalah lintas keyakinan dan agama. Pancasila yang terdiri dari lima sila, ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan adalah nilai-nilai khas keindonesiaan yang luhur, yang harus dijunjung tinggi, dipahami bersama, diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lima sila ini sudah mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia pada umumnya. Dalam konteks keindonesiaan manusia adalah bertuhan, mempunyai rasa kemanusiaan, suka untuk bersatu, hidup bersama dalam sebuah musyawarah yang guyub, yang akhirnya terwujud sebuah keadilan dalam interaksi social masyarakat Indonesia. Semua aktivitas manusia Indonesia yang bertentangan dengan lima sila itu berarti bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri.
Akhirnya renungan-renungan sebagai sebuah ikhtiyar untuk mencari solusi dan formulasi bersama harus sering dilakukan supaya kehidupan manusia Indonesia yang bhineka tunggal ika ini tetap berjalan sesuai dengan cita-cita bersama, dengan basis theologis yang beragam, basis politis yang berbeda, atau basis sosiologis-geografis yang majmuk. Ini menjadi tugas bersama baik sebagai insan akademis, warga biasa, pejabat dan kelompok-kelompok social yang lain. Semoga Indonesia sejahtera lahir dan bathin. Aamiin.
*Penulis adalah Pengajar UIN Satu Tulungagung dan pengasuh PP al-Kamal Blitar