Manaqib Ma’isyah KH. Mahmud Hamzah : Edisi Haul Ke-16 Risalah Ngaji dan Ngabdi 106

Lanjutan dari manaqib Kyai Mahmud Hamzah yang dapat diungkap adalah tentang ma’isyah-nya, usahanya sehari-hari dalam pemenuhan kebutuhan nafaqah keluarga, sebagaimana layaknya manusia biasa bekerja, berikhtiyar, berusaha supaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, keluarganya terpenuhi, tanpa menggangu kegiatan sosialnya dalam nasyrul ilmi. Di antara dari pekerjaan awalnya adalah menjadi panitera (katib) di Pengadilan Agama Lombok Nusa Tenggara Barat selama setahun, yang kemudian pindah di Pengadilan Agama Kediri. Perjalanan karir di panitera ini, selain dapat menopang kehidupan ekonominya, juga dapat membentuk karakteristik managerial beliau dalam pengelolaan lembaga, terutama dalam hal tertib administrasi. Misalnya dalam penggunaan anggaran sekecil apa pun, selalu dicatat secara rinci, disertai dengan kwitansi sebagai buktinya. Sehingga dalam praktik kesehariaannya pun pengelolaan keuangan baik yang berhubungan dengan pribadi atau keluarga dan lembaga pesantren selalu ada akuntabilitasnya.
Hikmahnya lagi selain pertanggung jawaban dalam pengelolaan, prinsip kehati-hatian yang berimplikasi dapat berkembang dalam usahanya, ketika Kyai Mahmud pada tahun 1990-an dapat menyisihkan penghasilannya untuk mengangsur rumah di Kota Kediri. Karena sudah beberapa tahun berumah tangga belum mempunyai rumah sendiri, masih mengikut kepada mertua, yakni Kyai Thohir. Proses angsuran pun diambil program yang begitu lama, sepengetahuan saya sampai saya mukim di Kunir, masih mendapati beliau melakukan pembayaran cicilan rumahnya. Dilihat dari sini ada sisi positifnya, bahwa orang berusaha dalam keluarga membutuhkan proses yang panjang, dimulai dari sedikit demi sedikit, baik dalam hal ekonominya, status sosialnya, relasi dengan keluarganya dan lain-lain. Ini kita dapati dari Kyai Mahmud yang begitu tahan uji, sabar, dalam ikhtiyar usahanya memenuhi kebutuhan keluarganya, baik yang menyangkut kebutuhan primernya atau kebutuhan sekunder, baik menyangkut hal prinsip dalam sebuah keluarga atau yang berisi pemenuhan kenikmatan, kebahagiaan bagi keluarganya.
Selain mendapat gaji dari negara, Kyai Mahmud saat itu juga mempunyai usaha sampingan yang dijalani bersama Nyai Astutik Hidayati yaitu berjualan es lilin untuk anak-anak sekolah di lingkungan Al-Kamal. Dari Hasil kecil-kecilan itulah usaha rintisan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga yang dijalaninya pada tahun 1980-an. Seiring dengan berjalannya waktu karir Kyai Mahmud di Pengadilan Agama berlanjut menjadi Hakim. Implikasinya pemasukan bulanannya pun juga bertambah. Apalagi minat santri dan siswa untuk menuntut ilmu di Al-Kamal juga semakin banyak, akhirnya Kyai Mahmud dan keluarga berinisiasi untuk mendirikan Madrasah Aliyah. Pada saat awalnya ini akhirnya kegiatan Kyai Mahmud bertambah menjadi kepala Madrasah Aliyah yang pertama kali. Dilihat dari sini sebenarnya ma’isyah Kyai Mahmud seharusnya sudah berlebih karena menjadi Hakim, mempunyai usaha sambilan di rumah, menjadi kepala sekolah, tetapi yang terjadi sebaliknya, beliau kadang tidak menerima honor, tetapi malah nutupi kekurangan pembiayaan sekolahan, karena sekolahan ini masih awal dibuka, sering dalam hal pembiayaan, memakai uang dari honor Kyai Mahmud pribadi untuk menyelesaikan kekurangan operasional sekolahan. Walaupun begitu menurut cerita beliau, Allah tetap memberikan keberkahan kepadanya dan keluarga. Ini terbukti pada masa itu Kyai Mahmud sudah bisa membeli mobil Hijet, sebuah kendaraan yang pernah merakyat pada masanya. Sesuai dawuh Allah

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

(Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu)
Keberkahan Ma’isyah Kyai Mahmud tidak itu saja, menurut cerita bu nyai Astutik Kyai Mahmud Hamzah juga mempunyai beberapa petak sawah dan satu rumah peninggalan dari Kyai Hamzah Syarif di Kelirejo Kendal, yang pengelolaannya diserahkan kepada Kyai Fauzi adiknya, yang kebetulan menekuni pertanian, Kyai Mahmud hanya menerima laporan dan sisa hasilmya setiap tahun sekali. Juga pada tahun 1999, setelah Kyai Thohir Wijaya wafat bu Nyai Astutik juga mendapatkan tirkah, yang akhirnya dapat untuk membangun rumah yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Al-Kamal. Akhirnya rumah yang dimiliki oleh Kyai Mahmud sebanyak tiga lokasi, di Kediri, di Kendal dan di Kunir Blitar.
Dari ma’isyah Kyai Mahmud ada beberapa hal, pertama rizki itu didapat melalui usaha dan berkerja, sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Mahmud menjadi hakim, jualan es lilin, mendapatkan panenan sawah. Artinya sisi  kemanusian yang bertugas untuk mengelola bumi seisinya ini harus dilakukan, sebagai pertanggung jawaban kepada Allah SWT. baik usaha itu nantinya bermanfaat untuk keluarga, lembaga atau masyarakat pada umumnya. Kedua, rizki yang didapat dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan kemanfaatannya. Tidak serta merta dikeluarkan semuanya tanpa ada catatanya sehingga terkesan pemborosan, atau terlalu kaku sehingga rentan dengan sifat kikirnya, dalam bahasa lain rizki di-tasharuf-kan dengan tanggung jawab dan kesederhanaan. Ketiga, selalu berharap keberkahan dari Allah SWT. atas setiap rizki yang didapat dari Allah SWT. Maknanya keberkahan adalah rizki membawa kebaikan, kemanfaatan bagi kita, terutama untuk mengantarkan keluarga menjadi sakinah, mawaddah dan rahmah. Apalagi lebih dari itu rizkinya bertambah, berlebih dari kebutuhan. Tentunya harus diiringi dengan syukur kepada yang memberi, dengan disertai berbagi kepada sesama, sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Mahmud dan Nyai Astutik setiap tahun selalu melakukan kalkulasi penghasilan kemudian dikeluarkan zakatnya setahun sekali, shadaqahnya seminggu sekali, juga mengajak jajan keluarganya.
Pada tahun 2005-an Kyai Mahmud bercerita bahwa kepengasuhan pesantren yang dia jalani, kadang ada masyarakat yang hasud karena melihat sisi ekonomi keluarganya. Mereka menyoroti bahwa mengelola pesantren itu dapat menjadi sumber ekonomi bagi keluarga. Padahal sejauh pengetahuannya keuangan pesantren selalu hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan operasionalnya, untuk membayar Listrik, memberi bisyarah bagi asatidz, itu pun kalau santri sudah membayar, perawatan infrastruktur yang selalu kekurangan. Bahkan untuk mengembangkan fasilitas bangunan saja pesantren harus menunggu jariyah wali santri, bantuan dari pemerintah atau dermawan. Bahkan selama mengajar ngaji tiap hari selama 24 jam baik kepada santri atau masyarakat Kyai Mahmud tidak pernah menerima bisyarah. Karena Kyai Mahmud merasa rizki yang didapat pemberian Allah melalui pekerjaan hakim, sampingan jualan, persawahan sudah dirasa cukup untuk kebutuhan keluarganya.
Sebagai tambahan lagi, pertama kali saya ketemu dengan Kyai Mahmud Hamzah, dia pernah berkata dengan nada bercanda, bahwa pekerjaannya sebagai hakim memang status social yang tinggi, gaji juga lumayan untuk mencukupi kebutuhan, tetapi itu semua dia jalani dengan nyantai, tidak begitu mengejar karir sebagai pejabat negara, yang lebih dia pentingkan adalah nunggoni anak-anak santri, ngaji dengan mereka tiap hari, mengawasinya, mendidiknya sehingga menjadi kader-kader muslim yang bermanfaat di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga dengan prinsip itu karirnya di pengadilan dibanding dengan teman-teman sejawatnya relatif ketinggalan. Teman-teman sengkatannya dalam hal karir sudah menjadi Hakim Agung, Hakim Tinggi, tetapi beliau tetap pada pendirianya tidak mau jauh-jauh dari pesantren yang dia asuh. Padahal kalau Kyai Mahmud menghendaki dengan segala potensi yang dia miliki baik dari sisi jaringan keluarga atau kemampuan ilmu nya, mungkin jabatan hakim di semua levelnya dapat dicapainya. Tetapi yang dapat dirasakan sekarang nama besarnya sebagai hakim yang berintegritas, sebagai kyai, sebagai kepala sekolah madrasah, sebagai pengasuh pesantren, sebagai bapak bagi keluarga dan santrinya tetap dikenang, didoakan, makamnya selalu diziyarahi setiap waktu, selalu diadakan acara haul atas wafatnya. Semoga kita semua mendapatkan pelajaran, keberkahan dari manaqib  Kyai Mahmud Hamzah terutama dalam hal peran-peran sosialnya, juga keberkahan ma’isyah-nya. Amiin. Wa Allahu A’lam.
* Khadim PP Al-Kamal, Pengajar UIN Satu Tulungagung dan Fungsionaris NU Blitar

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *