Tradisi Bu Nyai Pesantren (Ngaji Dan Ngabdi Edisi 112 : Selamat Haul Ke-3 Bu Hj. Sunbulatin)

Sebutan Bu Nyai biasanya disematkan kepada perempuan Jawa yang sudah dewasa atau sudah bersuami, sebutan ini dapat menjadi identitas budaya Jawa, identitas agama sebagai istri kyai atau ulama, atau juga bisa disebutkan untuk wanita yang berstatus sosial mapan. Artinya mapan dari ekonomi, keluarga, sosial, budaya atau status yang lain. Dinamika sebutan Nyai dalam konteks ke-Indonesia-an mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Misalnya Bu Nyai dalam komunitas santri atau pesantren mempunyai dinamika tersendiri, karena dunia pesantren mempunyai kebiasaannya sendiri, yang kadangkala berbeda dengan budaya Jawa secara umum. Misalnya Bu Nyai pesantren mempunyai tradisi sesuai dengan praktik pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya, mulai dari taat beribadah, selalu berada di rumah suami kecuali diajak keluar oleh suaminya, jika keluar selalu memakai pakaian muslimah, taat kepada suaminya, hidup sederhana sebagaimana kebiasaan santri, fleksibel atau moderat dalam bergaul karena terbiasa dengan sisi moderatisme pesantren, kurang dalam hal kritisisme sosial karena memang lebih banyak di rumah dari pada ke luar, lebih banyak urusan domestik daripada urusan publik.
Maka tidak heran Bu Nyai selalu digambarkan sebagai seorang sosok ibu ideal bagi para santri-santri yang nantinya menjadi standar mereka kalau mencari calon istri, sebagaimana istri kyainya. Maka tidak heran kemudian para kyai menyebutnya sebagai (ummul ma’had). Tidak jarang para kyai ketika memberikan wejangan pernikahan santri-santrinya selalu mencontohkan kehidupan dirinya bersama Bu Nyai, sebagaimana digambarkan oleh Allah,

فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ

“Wanita-wanita shalihah adalah yang taat beribadah kepada Allah, juga menjaga kehormatan dirinya ketika suami tidak ada di rumah, karena Allah telah menjaga mereka”.
Ini juga disambung oleh jeng Nabi Saw, “Wanita shalihah adalah wanita yang bersikap menyenangkan apabila suami melihatnya, selalu taat kepada perintah suaminya, menjaga dirinya dan hartanya tatkala suami tidak ada”, dan sebagainya profil-profil wanita baik.
Berhubungan dengan itu semuanya, ada sosok yang dapat dijadikan miniatur wanita shalihah, al-Marhum Bu Nyai Hj. Sunbulatin (w. 2021) atau disebut dengan Bu Nyai Tin, istri dari KH. Zen Masrur. Bu nyai Tin lahir dari komunitas santri kenthel, baik dari jalur ayahnya atau dari jalur ibunya. Sehingga menjadi maklum kalau kemudian Bu Nyai Tin juga menjadi santri yang mempunyai komitmen kesantrian yang tinggi, hidupnya Bu Nyai Tin dicurahkan untuk ngopeni, mengasuh para santri. Dari sisi pendidikannya Bu Nyai Tin mengenyam pendidikan dasar di Kunir Wonodadi Blitar, yang kemudian dilanjutkan ke Lembaga Pendidikan di Yogjakarta.
Selepas menempuh pendidikan, Bu Nyai Tin dijodohkan oleh pamannya KH. Thohir Wijaya mendapatkan seorang santri Lirboyo, Zen Masrur. Model pernikahan santri dahulu selalu patuh kepada orang tua, demi kebaikan keluarga, lembaga, agama atau untuk kebaikan dunia akhiratnya. Setelah menikah dengan KH. Zen Masrur, menurut pemahaman subyektif penulis Mbah Masrur dan Bu Nyai tin ini mempunyai karakter yang saling menyempurnakan. Misalnya Mbah Yai Masrur orangnya nriman, tetapi Bu Nyai Tin orangnya inovatif dan aktif. Maka dalam hal pengelolaan pendidikan di Al-Kamal model watak kyai dan bu nyai yang melengkapi ini nampaknya ada hikmahnya tersendiri. Misalnya akhirnya ada inovasi tentang Madrasah Ibtidaiyah Program Khusus, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, juga sekolah-sekolah Formal yang notabene harus dikelola secara dinamis, aktif dan inovatif. Kepribadian-kepribadian yang relevan dengan pengelolaan lembaga itu ada dalam diri Bu Nyai Tin, pada saat masih hidup, selalu membangkitkan inovasi-inovasi baru untuk perkembangan lembaga pendidikan dan pesantren.
I’tibar dari Bu Nyai Tin ini sesuai dengan maqalah arab, “kam min masyhur bi barakati mastur”, banyak orang terkenal (sukses) dalam kehidupannya karena ada kebaikan-kebaikan orang yang tidak kelihatan, yaitu istri, orang tua, guru dan sebagainya. Sebagaimana apa yang dijalani Kyai Zen Masrur dalam mengelola Yayasan Al-Kamal Blitar dahulu, bisa jadi karena barokah yang diberikan Allah lewat Bu Nyai Tin. Untuk itu bagi para pejuang Islam harus menyadari bahwa apa yang dia capai memang bukan sepenuhnya usaha dia semata, tetapi ada jasa kebaikan orang lain yang tidak nampak, dari orang-orang yang ada di sekitarnya.
Sekilas diceritakan wadhifah, rutinitas bu Nyai Tin semasa hidupnya mulai pagi sudah menyiapkan makan pagi santri yang tinggal di Asrama Adawiyah, Aisyah, Umar bin Khatab, al-Masruriyah. Kemudian nunggui sambil bersalaman kepada santri untuk berangkat ke madrasah, terus dilanjutkan ke madrasah untuk mengajar di madrasah tsanawiyah, setelah istirahat menemui tamu bersama-sama dengan KH. Zen Masrur, malam sembari mengawasi para santri yang mengaji duduk-duduk diruang tamu, juga menyiapkan keperluan santri untuk besoknya. Dan ketika Romo Kyai Zen Masrur wafat Bu Nyai Tin juga mengaji dengan para santri setelah subuh.
Sisi keshalehan dari Bu Tin lainnya adalah adanya kegemaran untuk silaturahim, terutama kepada saudara-saudara yang membutuhkan bantuan baik di kala ada hajatan atau tidak. Keshalehan dalam model ini memang menjadi ciri khas atau budaya orang Jawa, ini walaupun budaya kumpul keluarga orang Jawa, mendapatkan penguatan dari ajaran agama, Sunnah Rasul yang nampaknya menemukan momentumnya. Sehingga sampai sekarang pun tradisi shilaturahim Bu Nyai Tin di keluarga masih terus berjalan. Misalnya dalam acara reuni bulanan, tahunan, atau mengadakan musyawarah keluarga untuk membahas problematika sekitar kekeluargaan atau kelembagaan.
Tradisi shalihah lain adalah rutinitasnya untuk menjalankan ibadah, baik ibadah shalat wajib atau ibadah sunah. Ini terlihat kalau waktu malam sering Bu Nyai Tin dan Mbah Masrur duduk-duduk berdua di teras juga diiringi dengan dzikir, mengawasi santri sampai menjelang pagi. Sebuah tradisi santri pesantren kalau malam biasanya begadang, qiyam al-layl, muthalaah, sampai pagi, bahkan sudah berkeluarga sekalipun wadhifah ini tetap terjaga, demi mendoakan santri-santrinya, keluarganya, masyarakat dan umatnya.
Bu Nyai Tin termasuk bu nyai yang sederhana baik dalam berkata-kata, berpakaian, rumah tempat tinggal, kendaraan, makanan dan sebagainya. Ini dapat disaksikan sejak dahulu sampai wafatnya, kesederhanaan Bu Nyai Tin patut untuk dijadikan contoh bagi santri, alumni. keluarga atau para khudama’(pengabdi). Walaupun dia dari sisi materi termasuk mampu, tetapi kesederhanaan selalu menjadi ciri khas dalam kehidupan keluarganya. Di saat orang lain memakai pakaian yang bermerek, mobil yang selalu baru, model rumah yang kekinian, perhiasan yang selalu terpakai, tetapi Bu Nyai Tin tetap memegang teguh kesederhanaannya, tidak goyah, walaupun kadang saudaranya menyindir, bahwasanya sudah waktunya Bu Nyai Tin menikmati hidup di masa tuanya, tetapi Bu Nyai Tin tetap pada pendiriannya bahwasanya sederhana adalah yang terbaik dalam berakhlaq, “ khairu al-umuri awsathuha”, sebaik-baik perkara itu yang di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan juga tidak sampai kekurangan.
Bu Nyai Tin juga mempunyai komitmen, cita-cita perjuangan yang tinggi terutama dengan pendidikan, walaupun mengorbankan dirinya sendiri atau keluarganya. Hal ini dilakukan demi berjalannya program-program lembaga-lembaga yang ada. Misalnya ketika acara di sekolah formal atau pesantren mengalami kekuarangan dalam hal tertentu, tidak jarang beliau yang menutupinya, demi suksesnya acara. Atau kalau misalnya lembaga harus membuat hal baru inisiatif Bu Nyai Tin biasanya selalu muncul mendahului, misalnya nasehat adanya penyeragaman kegiatan sekolah dan pesantren, integrasi dalam menyikapi anak-anak yang nakal di sekolah atau pesantren.
Sisi lain yang ilmiyah adalah beliau adalah tipe pengajar yang istiqamah, baik di sekolah formalnya atau di pesantren, di sela-sela kesibukannya mengurusi logistik santri yang berat, juga masih ngajar di Madrasah Tsnawiyah Kunir, juga ngaji pagi bersama santri. Hal ini membuktikan bahwa sisi ilmiyah dari Bu Nyai Tin tetap dipegangi, di saat yang sama tuntutan lingkungan yang begitu progresifnya. Maka dengan berbekal ilmiyah dielaborasi dengan budaya menjadikan pesantren tetap mapan, istiqamah. Apalagi tradisi di keluarga adalah slametan, syukuran, masak yang mengundang banyak orang. Tradisi-tradisi ini wajib dipertahankan dalam rangka menjembatani antara aspek relitas dengan idealisme, budaya dan agama, terutama untuk menjalani kehidupan rumah tangga, juga pengembangan lembaga dan sisi-sisi kehidupan lain. Selamat haul Bu Nyai Sunbulatin semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah, dan para santri selalu mendapatkan keberkahannya. Amiiin. Wa Allahu A’lamu!
*DR. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Khadim PP al-Kamal dan Fungsionaris NU Blitar)

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *