Pendahuluan Seputar Ilmu Faraidl
Islam merupakan agama yang paripurna dan komplit dalam mengatur serta menuntun ummatnya dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk mengenai harta peninggalan atau biasa disebut juga dengan harta warisan dimana Islam telah mengaturnya dengan rinci, detail dan adil dalam hal pembagiannya agar tidak menimbulkan konflik di antara ahli waris yang berhak menerimanya. Aturan dan tuntunan perihal pembagian harta warisan tercantum dalam ayat-ayat Alquran yang dengan jelas bagian-bagiannya bagi setiap ahli waris yang berhak menerima dengan bagian yang telah ditentukan oleh Allah SWT pada ayat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT dengan agama Islam dan dengan aturan-aturan itu menghendaki kebaikan bagi umatnya dalam hal pembagian dan penerimaan harta waris.
Aturan Allah SWT dalam ayat-ayat Alquran tentang waris itulah yang kemudian melahirkan sebuah khazanah keilmuan khusus membidangi hal kewarisan dengan istilah Ilmu Faraidl. Istilah lain yang juga biasa digunakan untuk merujuk keilmuan yang membidangi kewarisan selain Ilmu Faraidl ialah Ilmu Mawaris. Sehingga Ilmu Faraidl dan Ilmu Mawaris ialah merupakan suatu bidang ilmu dengan obyek kajian yang sama namun dengan istilah atau nama yang berbeda. Jadi, keduanya -baik Ilmu Faraidl maupun Ilmu Mawaris- adalah satu disiplin ilmu yang sama yang mana di dalamnya mengkaji dan mempelajari segala hal yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dalam Islam.
Ilmu Faraidl sendiri secara makna bahasa diambil dari lafadz فرائض (Faraidl) yang merupakan kalimat jamak (bermakna banyak) dari lafadz فريضة (Faridlah) dengan arti ketentuan, kepastian, kewajiban, dan juga bagian atau sesuatu yang telah ditentukan dengan pasti. Sehingga secara istilah Ilmu Faraidl ialah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang metode dan cara menghitung bagian harta warisan. Karena secara hakikat Ilmu Faraidl merupakan ilmu yang tersusun dari Fiqh Mawaris dan Ilmu Perhitungan (Ilmu Hisab).[1] Obyek kajian (maudlu’) dalam pembahasan Ilmu Faraidl ialah harta peninggalan (tirkah) atau biasa disebut dengan harta warisan. Selain itu, dalam Ilmu Faraidl juga dibahas mengenai para ahli waris –baik yang berhak menerima maupun tidak berhak-, sebab dan penghalang dalam mewaris, bagian-bagian yang diterima setiap ahli waris, serta metode atau cara membagikan harta warisan tersebut.[2]
Peletak dasar Ilmu Faraidl pertama kali ialah Allah SWT melalui firmannya dalam ayat Al Qur’an, yang kemudian dijelaskan dan diuraikan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai hadistnya, dan kemudian dijabarkan lagi oleh para sahabat Nabi SAW serta generasi berikutnya (tabi’in dan tabi’ittabi’in). Sehingga sumber pengambilan (istimdaduhu) Ilmu Faraidl ini ialah diambil dari keterangan Alquran, Hadist, Ijma’ Ulama’ dan Qiyas. Sedangkan hukum mempelajari Ilmu Faraidl ialah Fardlu Kifayah, dengan artian bahwa apabila dalam suatu daerah sudah ada seseorang yang mempelajarinya, maka kewajiban mempelajarinya gugur dari yang lain. Menurut Imam Abu Ishaq Al-Isfirayini dan Imam Haramain, Fardlu Kifayah lebih utama dari pada Fardlu ‘Ain, sebab Fardlu Kifayah dapat menggugurkan dosa dari orang banyak, sedangkan Fardlu ‘Ain hanya menggugurkan dosa dari diri sendiri saja.[3]
Keutamaan Ilmu Faraidl
Keutamaan dari Ilmu Faraidl (fadhluhu) termasuk ilmu yang paling agung dan utama bagi manusia. Hal ini sesuai dengan bunyi bait syair (nadzam) ‘Uddatul Faridl berikut
وَمِنْ أَجَلِّ كُلِّ عِلْمٍ فِي الوَرَى # عِلْمٌ بِهِ حُكْمُ المَوَارِثِ يُرَى[4]
“Dan termasuk bagian dari ilmu paling agung bagi umat manusia # ialah ilmu yang dengannya hukum kewarisan dapat diketahui”
Adapun dalil keutamaan dan kemuliaan Ilmu Faraidl diantaranya dari hadist Nabi SAW, beliau bersabda:
تعلّموا الفرائض وعلّموها الناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو أوّل علم ينتزع من أمّتي. (رواه البيهقي)[5]
“Belajarlah Faraidl dan ajarkanlah kepada manusia (banyak orang), karena ia (Faraidl) adalah setengah dari pada ilmu dan dia (Faraidl) itu akan dilupakan dan dia (Faraidl) merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Al-Baihaqi).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW pernah bersabda:
تعلّموا الفرائض وعلّموها الناس فإني امرؤ مقبوض وإن العلم سيقبض أهله وتظهر الفتن حتى يختلف اثنان في الفريضة فلا يجدان من يفصل بينهما (الحديث)[6]
“Belajarlah Faraidl dan ajarkanlah kepada manusia (banyak orang), karena sesungguhnya aku adalah manusia yang pada suatu ketika akan ‘dicabut’ (dimatikan) dan sesungguhnya ilmu pun akan dicabut/terangkat (hilang) dengan dicabutnya nyawa (dimatikannya) ahli ilmu itu dan kemudian mulculah dan boleh jadi akan ada dua orang bersengketa (berselisih) dalam hal Faraidl dan masalahnya sedangkan mereka tidak menjumpai seseorang yang mampu memutus/menyelesaikan hukum diantara mereka berdua.” (Al Hadist)
Maksud dari Ilmu Faraidl adalah ilmu yang pertama kali dicabut (dihilangkan) ialah dengan jalan meninggalnya ahli Ilmu Faraidl ataupun ulama’ yang menguasainya dan juga sangat minim generasi berikutnya yang berminat mempelajarinya, sebab Ilmu Faraidl ini termasuk cabang ilmu yang dianggap sulit dan rumit. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sangat memotivasi kepada ummatnya untuk mempelajarinya, dan kiranya hal ini cukup sebagai bukti bahwa Ilmu Faraidl sangat agung dan utama derajatnya.
Ilmu Faraidl Zaid Bin Tsabit dan Imam Syafi’i
Dalam Ilmu Faraidl, ada salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling masyhur sebagai ahli (pakar) dalam bidang Ilmu Faraidl yaitu Zaid Bin Tsabit. Sehingga Rasulullah SAW sendiri yang memberikan pengakuan langsung atas kealiman (kepakaran) Zaid Bin Tsabit dalam Ilmu Faraidl sesuai dengan hadist, Rasulullah SAW pernah bersabda:
أفرضكم زيد ابن ثابت. (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه)[7]
“Orang yang paling alim Faraidl diantara kalian adalah Zaid Bin Tsabit”
Dalam hadist lain juga disebutkan, Rasulullah SAW bersabda:
أعلم أمتي بعلم الفرائض زيد بن ثابت. (الحديث)[8]
“Orang paling alimnya ummatku dalam Ilmu Faraidl ialah Zaid Bin Tsabit”. (Al Hadits)
Dengan berdasar hadist tersebut, dalam nadzam ‘Uddatul Faridl juga dicantumkan bait sebagai berikut:
وَفِي الحَدِيْثِ أَعْلَمُ الأُمَّةِ بِهْ # زَيْدٌ فَنَاهِيْكَ بِذَا فِي مَنْصَبِهْ
“Dan di dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa paling alimnya ummat dalam hal Ilmu Waris (Ilmu Faraidl) # ialah sahabat Zaid Bin Tsabit RA, maka kiranya keterangan ini cukup bagimu untuk mengetahui ketinggian kedudukan beliau.”
Sesuai dengan keterangan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwasannya ketinggian dan kealiman sahabat Zaid Bin Tsabit lebih unggul di antara para sahabat Rasulullah SAW.
Imam Syafi’i, yang juga sebagai mujtahid mutlak juga mengikuti dan mengambil rumusan-rumusan dari sahabat Zaid Bin Tsabit RA. karena rumusan-rumusan dari Zaid Bin Tsabit lebih mendekati qiyas, dan juga karena memang sahabat Zaid Bin Tsabit RA. lah yang telah mendapat pengakuan langsung dari Rasulullah SAW. Hal ini telah disampaikan dalam nadzam ‘Uddatul Faridl sebagai berikut:
وَالعُمْدَةُ الحَبْرُ الإِمَامُ الشَّافِعِيّ # وَافَقَ زَيْدًا بِاجْتِهَادٍ بَارِعِ
فَقَوْلُهُ بِالإِتِّبَاعِ أَجْدَرُ # لِوِفْقِهِ مَنْ قَدْ عَنَاهُ الخَبَرُ[9]
“Seseorang yang dapat dijadikan sebagai pedoman (acuan), yang bagaikan tinta (dalam hal kemanfaatannya), yakni Imam Syafi’i # sesuai dengan sahabat Zaid Bin Tsabit dengan ijtihad yang bagus”
“Maka pendapatnya lebih patut untuk diikuti # karena sesuai dengan seseorang yang telah diterangkan dalam sebuah Hadist”
Maksud dari Imam Syafi’i mengikuti dan mengambil pendapat sahabat Zaid Bin Tsabit RA. ialah beliau meneliti dalil-dalil yang digunakan oleh Zaid Bin Tsabit RA. dan beliau menganggap dalil-dalil ataupun rumusan-rumusan itu tepat, sehingga dalil dan rumusan tersebut juga diambil dan digunakan oleh beliau, dan bukan berarti Imam Syafi’i sekedar taqlid pada sahabat Zaid Bin Tsabit, sebab sesama mujtahid tidak boleh saling taqlid.[10]
Rumusan ijtihad Imam Syafi’i dalam Ilmu Faraidl sangat sesuai dengan rumusan sahabat Zaid Bin Tsabit, sehingga dalam sebuah persoalan Faraidl yang mana sahabat Zaid Bin Tsabit ragu memutuskannya, Imam Syafi’i pun juga ragu memutuskannya.[11]
Hak-hak Yang Berkaitan Dengan Tirkah (Peninggalan/Harta Warisan)
Segala sesuatu baik benda maupun hak yang ditinggalkan oleh mayit disebut dengan harta peninggalan/harta warisan. Oleh karena itu, harta peninggalan/harta warisan tidak hanya berkutat pada suatu benda yang kasat mata dan bernilai, namun juga berupa hak. Dalam istilah syara’, harta peninggalan/harta warisan biasa disebut dengan istilah tirkah. Dengan demikian, tirkah juga mencakup setiap hak-hak yang belum ditunaikan oleh si mayit semasa hidupnya.
Sebelum harta peninggalan/harta warisan dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya, terbih dahulu harus ditunaikan hak-hak orang lain yang berkaitan dengan mayit. Hak-hak tersebut secara jelas telah diuraikan dalam nadzam bait ‘Uddatul Faridl sebagai berikut:
يُخْرَجُ أَوَّلًا مِنَ التِّرْكَةِ مَا # عُلِّقَ بِالعَيْنِ كَرَهْنٍ لَزِمَا
يَتْلُوْهُ مَا لِلْمَيْتِ مِنْ مَؤُوْنَةٍ # عُرْفًا فَدَيْنٌ مُرْسَلٌ فِي الذِّمَّةِ
وَبَعْدَهُ وَصِيَّةٌ بِالثُّلُثِ أَوْ # مَا دُوْنَهُ لِغَيْرِ وَارِثٍ رَوَوْا[12]
“Yang pertama kali dikeluarkan dari harta warisan ialah perkara (hak) # yang berkaitan dengan kebendaan harta warisan, seperti bendayang digadaikan yang telah tetap,”
“Selanjutnya, biaya-biaya untuk perawatan (tajhiz) mayit # sesuai kewajaran, lalu hutang yang berada dalam tanggungan mayit”
“Dan setelah itu, wasiat dengan 1/3 harta warisan, atau # kurang dari itu untuk selain ahli waris, yang mana para ulama’ telah meriwayatkan”
Sesuai dengan keterangan tersebut di atas, ada 4 hak yang harus ditunaikan sebelum harta warisan (tirkah) itu dibagikan kepada ahli waris, diantaranya ialah:
-
Segala hal ataupun hak-hak yang berkaitan dengan harta warisan, baik hak Allah maupun hak Adami, seperti harta yang telah masuk kriteria wajib dizakati ataupun juga barang/ benda yang telah digadaikan. Dengan demikian, berkaitan dengan hak Allah, harta warisan yang telah masuk kriteria wajib dizakati ataupun mencapai nishob, maka sebelum harta tersebut dibagikan sebagai warisan, harus ditunaikan dulu kewajiban zakatnya, agar harta warisan tersebut terlepas dari ikatan kewajiban zakat. Demikian juga yang berkaitan dengan hak Adami, maka hutang dari akad gadai harus dilunasi terlebih dahulu, supaya harta/benda si mayit yang digadaikan terlepas dari status jaminan hutang.Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ madzhab terkait keharusan mendahulukan antara hak Allah dan hak Adami. Menurut Madzhab Syafi’i hak Allah harus didahulukan dari pada hak Adami. Pendapat ini berbeda dengan Madzhab Maliki yang memandang sebaliknya, yaitu hak Adami lebih didahulukan dari pada hak Allah. Sedangkan dalam Madzhab Hanbali, kedua hak tersebut baik hak Allah dan juga hak Adami ialah setara. Adapun dalam Madzhab Hanafi, hak Allah tidak perlu ditunaikan dari tirkah si mayit apabila si mayit tidak berwasiat untuk menunaikannya, karena menunaikan hak Allah ialah perbuatan ibadah, sehingga tuntutan melakukan ibadah tersebut sudah gugur dari seseorang yang telah meninggal dunia, meskipun si mayit tetap dinyatakan bersalah lantaran ia tidak segera menunaikan hak Allah tersebut ketika ia masih hidup. Kemudian atas perkara si mayit ini diserahkan kepada Allah, menghukumnya ataupun mengampuninya kembali pada kehendak Allah SWT.[13]
-
Biaya perawatan mayit, di antaranya mulai dari biaya untuk pembelian kain kafan, wewangian (umumnya minyak wangi, kapur barus dll), upah ataupun biaya dalam rangka proses memandikan hingga pemakaman jenazah.[14]Biaya-biaya dalam keperluan perawatan mayit/jenazah tersebut ditunaikan sesuai dengan keumuman atau kewajaran dan kemampuan (proporsional), sehingga tidak terlalu boros tidak terlalu mengirit.[15]
-
Membayar dan melunasi hutang ataupun pinjaman yang masih menjadi tanggungan si mayit, yang mana hutang tersebut tidak berkaitan harta warisan. Dalam arti bahwa hutang si mayit tersebut tidak ditanggungkan atas benda atau harta si mayit. Sehingga, jika hutang si mayit tersebut berkaitan dengan harta warisan si mayit, semisal hutang yang ditanggungkan/diberikan jaminan berupa harta atau benda si mayit (akad gadai), maka hutang ini termasuk dalam pembahasan yang telah disebutkan pada urutan pertama di atas.[16]
-
Wasiat dari si mayit, dengan ketentuan batasan maksimal wasiat tersebut ialah 1/3 dari harta warisan/peninggalan si mayit. Selain itu, wasiat tersebut diperuntukkan bagi selain ahli waris. Dalam keterangan kitab Taqrirot Mandzumati ‘Uddatil Faridl juga diuraikan bahwa wasiat yang diperuntukkan bagi ahli waris makruh hukumnya, kecuali jika ahli waris yang lain telah memberikan ijin atas hal itu.[17]
Dalam hal pelaksanaan menunaikan hak-hak tersebut di atas, jika harta warisan/peninggalan (tirkah) hanya sedikit ataupun pas-pasan, maka mendahulukan urutan pertama, kedua hingga seterusnya adalah wajib. Namun jika tirkah tersebut banyak, atau sekira melampaui semua hak di atas, maka mendahulukan urutan pertama, kedua hingga seterusnya merupakan sunnah hukumnya. Setelah semua hak tersebut di atas ditunaikan, barulah kemudian harta warisan/peninggalan (tirkah) dapat dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.[18]
Catatan: Beberapa Golongan Manusia Dalam Hal Mendapatkan Warisan
Berkaitan dengan hak mendapatkan harta warisan atau tidak, manusia dibagi ke dalam beberapa golongan, diantaranya ialah:
-
Golongan manusia yang dapat mewarisi (menerima warisan) dan juga dapat diwarisi (diambil warisan), seperti misalnya antara dua orang saudara, orang tua dengan anaknya, antara suami dengan istri, dan sebagainya.
-
Golongan manusia yang dapat mewarisi namun tidak dapat diwarisi ketika meninggal dunia, seperti para Nabi, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
نحن معاشر الأنبيياءِ نرث ولا نورث ما تركناه صدقة (الحديث)[19]
“Kami golongan para Nabi dapat mewarisi namun tidak dapat diwarisi, sedangkan sesuatu (harta) yang kami tinggalkan adalah shadaqah”. (Al Hadits)
Dalam hadist lain diriwayatkan, Rasulullah SAW. bersabda:
إنّا لا نورث ما تركناه صدقة. (رواه أحمد وغيره)[20]
“Sesungguhnya kami (para nabi) tidak diwarisi, harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah”. (HR. Ahmad dan lainnya)
-
Golongan manusia yang dapat diwarisi namun tidak dapat mewarisi, seperti halnya budak muba’adl, yaitu seseorang yang status budaknya tidak sempurna. Pada zaman dahulu, bahkan sebelum Islam datang, ada sebuah status sosial yang sangat rendah, yakni menjadi budak. Ia sepenuhnya menjadi milik majikannya. Seorang majikan boleh menjualnya, meminjamkannya, mempekerjakannya tanpa upah dan lain sebagainya. Namun budak tetap mempunyai hak untuk diberikan nafkah dan diistirahatkan, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang tidak mampu ia tangani. Dengan datangnya Islam, yang sangat menganjurkan untuk memerdekakan budak, bahkan mewajibkan seorang pelanggar hukum tertentu diberikan sanksi hukuman dengan cara ia harus memerdekakan budak, sehingga sampai saat ini berangsur-angsur status budak ini hilang.[21]
-
Golongan manusia yang tidak dapat mewarisi dan juga tidak dapat diwarisi, seperti halnya al-raqiq (budak sempurna) dan murtad (orang yang keluar dari agama Islam). Budak tidak dapat diwarisi karena dia tidak berhak atas harta, karena harta hasil kerjanya menjahi hak milik majikannya. Sedangkan harta milik orang murtad akan menjadi Fai’, yakni harta yang masuk ke dalam kas negara (kaum muslimin).[22]