Spesial Ramadhan (Edisi 27) : Tukar Uang Menjelang Lebaran

Menjelang lebaran, sering sekali dijumpai padatnya pengunjung tempat penukaran uang. Tujuannya adalah untuk mencari pecahan-pecahan uang seperti dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, dan dua puluh ribuan sebagai angpau anak-anak ketika berkunjung di rumah saat lebaran. Namun, pada praktiknya sering dijumpai adanya selisih dalam nominal transaksi. Lantas, apakah transaksi tukar uang ini dapat dikatakan sah dan terhindar dari riba? 
Pembaca yang budiman. Sebenarnya prosedur tukar uang ini adalah dengan cara menukarkan uang utuh dengan pecahan. Misalnya, uang 100.000 ditukarkan dengan 2.000 an. Namun, hanya mendapatkan 2.000 an sejumlah 90.000. Sehingga terdapat selisih 10.000. Adanya selisih inilah yang menjadi persoalan, apakah selisih ini dapat dinyatakan riba?
Untuk menjawab persoalan tersebut, letak pembahasannya sebenarnya hanya satu. Yaitu, memastikan apakah uang kertas yang berlaku sebagai mata uang Negara Indonesia ini dapat disamakan dengan emas dan perak? Jika dapat disamakan dengan emas perak, maka tentu tergolong barang ribawi. Sehingga tidak boleh ada selisih. Namun, jika tidak dapat disamakan dengan keduanya, maka uang kertas tidak tergolong barang ribawi. Sehingga transaksi dengan selisih berapapun tetap dinyatakan sah tanpa mengandung unsur riba.
Uang kertas yang berlaku di Indonesia ini resmi dinyatakan sebagai alat tukar yang memiliki nilai instrinsik yang melekat pada kertas tersebut. Lalu untuk menariknya dapat diqiyaskan pada emas dan perak, maka kita perlu melihat konsep illat riba pada masing-masing mazhab.
Illat riba ialah sebuah sifat atau kriteria yang apabila terdapat pada suatu barang, maka barang tersebut termasuk barang ribawi. Pengungkapan illat riba ini memang tidak manshus, namun merupakan hasil kesimpulan dari kajian para fuqaha. Keterangan ini terdapat dalam al-Fiqh al-Manhaji berikut:

المُرَادُ بِعِلَّةِ الرِّبَا: الوَصْفُ الَّذِي إِذَا وُجِدَ فِي المَالِ كَانَ مَاَلاً رِبَوِيًّا وَإِذَا وُجِدَ نَفسُهُ فِي العِوَضَيْنِ كَانَتِ المُعَامَلَةُ رِبَوِيَّةً. وَهَذاَ الوَصْفُ غَيرُ مَنْصُوصٍ عَلَيهِ فِيمَا وَرَدَ مِن نُصُوصٍ فِي البَابِ، وَإِنَّمَا اسْتَنْتَجَهُ الفُقَهَاءُ مِنْ تِلْكَ النُّصُوصِ.

“Yang dimaksud dengan illat riba adalah sifat yang apabila ditemukan pada harta, maka harta tersebut tergolong barang ribawi. Jika ditemukan sifat tersebut pada dua barang yang ditukar, maka transaksinya menjadi ribawi. Sifat ini tidaklah tertulis secara nash, melainkan hasil dari kesimpulan fuqaha dari nash yang ada” (Musthafa al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1992], Juz 6, Hal 66)
Ulama sepakat bahwa terdapat enam jenis barang ribawi yang secara eksplisit disebutkan (manshush) dalam redaksi hadis-hadis seputar riba. Yaitu: emas, perak, gandum merah, gandum putih, kurma, dan garam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ، وَالبُرُّ بِالبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ. فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dibeli dengan emas, perak dibeli dengan perak, gandum merah dibeli dengan gandum merah, gandum putih dibeli dengan gandum putih, kurma dibeli dengan kurma, dan garam dibeli dengan garam, dengan neraca yang sama, setara, dan saling serah terima. Apabila komoditi ini berbeda, maka juallah semaumu selama saling serah terima” (HR. Muslim)
Sekarang, uang kertas yang berstatus sebagai alat tukar bernilai ini apakah dapat disamakan dengan emas perak sebagaimana hadis di atas? Untuk menjawab tersebut, perlu kiranya kita runtut sesuai dengan pendapat lintas mazhab.
Pertama, Mazhab Hanafi, illat ribawi ialah tunggal dalam jenis dan neraca (ittihad al-jinsi wa al-qadri). Artinya, riba hanya berlaku dalam barang ribawi yang tunggal jenis dan neraca takaran syaraknya (mi’yar syar’i). Seperti emas dengan emas yang tunggal jenis dan neraca berupa timbangan (al-wazn) atau kurma dengan kurma yang tunggal jenis dan neraca berupa takaran (al-kayl).
Dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu dinyatakan:

فَلَا تَتَحَقَّقُ عِلَّةُ رِبَا الفَضْلِ إِلاَّ بِاجْتِمَاعِ الوَصْفَيْنِ مَعًا، وَهُمَا القَدْرُ وَالجِنْسُ أَيِ القَدْرُ المَعْهُودُ فِي الشَّرْعِ بِكَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ مَعَ الجِنْسِ….. وَعَلَى هَذَا، فَإِنَّ الأَمْوَالَ المِثْلِيَّةَ (المَكِيلَاتِ وَالمَوْزُونَاتِ) هِيَ الَّتِي يَجْرِي فِيهَا الرِّبَا.

“Maka tidak terealisasi illat riba fadhl kecuali sebab berkumpulnya dua sifat secara bersamaan, yakni jenis dan neraca sesuai syarak berupa takaran atau timbangan…. Oleh karenanya, maka harta-harta yang bersifat mitsli (berupa harta yang dapat ditakar atau ditimbang) berlaku di dalamnya riba” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, t.th], Juz 5, Hal 360)
Dengan demikian, uang kertas tidak tergolong harta yang dapat ditakar dan juga ditimbang, melainkan dapat dihitung dengan hitungan jumlah, maka tidak tergolong kategori barang ribawi versi Mazhab Hanafi.
Kedua, Mazhab Maliki, illat riba dalam nuqud (emas dan perak) adalah alat pembayaran (al-tsamaniyyah). Oleh karenanya, segala bentuk alat pembayaran yang memiliki nilai instrinsik di dalamnya dapat disamakan dengan emas dan perak. Hal ini sebagaimana dalam keterangan:

قَالَ المَالِكِيَّةُ فِي ظَاهِرِ المَذْهَبِ: عِلَّةُ تَحْرِيمِ الزِّيَادَةِ فِي الذّهَبِ وَالفِضَّةِ هِيَ النَّقْدِيَّةُ أَيِ: الثَّمَنِيَّةُ.

“Mazhab Maliki dalam zahir mazhabnya berpendapat bahwa illat pengharaman selisih pada emas dan perak adalah pada aspek alat pembayarannya” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, t.th], Juz 5, Hal 370)
Dengan demikian, uang kertas dapat disamakan dengan emas perak versi Mazhab Maliki. Sehingga, pertukaran dengan adanya selisih berdampak pada akad riba.
Ketiga, Mazhab Syafi’i, menurut kaul mu’tamad Syafi’iyyah, illat ribawi dalam emas perak ialah jenis alat pembayaran yang dominan (jins al-atsman ghaliban), yakni emas dan perak (naqdiyyah) itu sendiri. Karena itu, illat ini bersifat limited (qashirah) yang tidak ditemukan pada selain emas dan perak, sehingga tidak bisa dijadikan pijakan analogi pada jenis alat pembayaran lainnya. Sebagaimana keterangan berikut:

وَالمَقصُودُ بِعِلَّةِ الرِّبَا فِي الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ عَلَى المُعْتَمَدِ هُوَ جِنسِيَّةُ الأَثْمَانِ غَالِبًا، وَهِيَ مُنْتَفِيَةٌ عَنِ الفُلُوسِ

“Adapun tujuan dari illat riba pada emas dan perak menurut kaul mu’tamad adalah jenis alat pembayaran yang dominan, yakni menafikan fulus (pecahan emas perak)” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Dar al-Fikr, t.th], Juz 5, Hal 375)
Dengan demikian, uang kertas dapat dikategorikan sebagai fulus dan tidak dapat menjangkau qiyas pada emas dan perak. Sehingga tidak masalah jika memang terjadi selisih dalam penukaran.
Keempat, Mazhab Hanbali, menurutnya illat ribawi pada emas perak terdapat 2 riwayat: 1) mengikuti pendapat Mazhab Hanafi ialah tunggal jenis dan neraca syar’inya (ittihad al-jins wa al-qadr); 2) mengikuti pendapat Mazhab Syafi’i ialah jenis alat pembayaran dominan, yaitu emas dan perak dengan limitasi illat yang tidak dapat disamakan ke benda lain.
Dengan demikian, jawaban dalam Mazhab Hanbali merujuk perkhilafan pada dua mazhab sebelumnya: Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i.
Kesimpulannya, tukar uang kertas ini memang khilafiyah. Ada yang memang tegas mengharamkan sebab mengandung unsur ribawi dan ada pula yang menghalalkan, karena bukan termasuk transaksi ribawi.
Lalu pendapat manakah yang harus kita pegang? Istafti qalbak (tanyakan pada hatimu). Kira-kira manakah pendapat yang benar-benar cocok dengan kondisimu sekarang ini. Jika memang menukarkan uang menjadi pecahan adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, maka ikuti pendapat yang membolehkan. Namun, jika tidak ada kebutuhan untuk menukarkan, maka tidak perlu ikut-ikut menukarkan. Hal demikian lebih selamat dari jangkauan khithab dari hukum tersebut. Wallahu a’lam…
* * * *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H:
Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *