Spesial Ramadhan (Episode 12): Puasa Bagi Pekerja Berat dan Sopir

Selain kewajiban berpuasa Ramadhan, ada kewajiban lain berupa nafkah yang harus dikais untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Setiap orang pasti menginginkan pekerjaan yang ringan, penghasilannya besar. Namun, tidak semua orang diberikan jatah seperti itu. Justru, ada yang ditakdirkan bergelut dengan pekerjaan berat, meskipun upahnya minimum, selama dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Resikonya adalah terkurasnya tenaga fisik, lebih-lebih ketika puasa. Lantas, apakah diperbolehkan bagi pekerja berat untuk membatalkan puasanya ketika merasa tidak kuat?
Pembaca yang budiman. Pada dasarnya kewajiban berpuasa melekat pada setiap orang yang beriman. Di satu sisi, dikarenakan ibadah puasa tergolong ibadah fisik dengan beban menahan diri dari makan dan minum selama waktu puasa berlangsung, maka fuqaha mencetuskan persyaratan tambahan berupa mampu menjalankan puasa (al-qudrah ‘ala al-shaum).
Konsekuensinya, pasti ada saja orang yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa secara penuh dengan berbagai alasan, salah satunya adalah pekerjaan yang terlampau berat, seperti kuli bangunan, buruh tani, pekerja angkutan, dan yang semisalnya. Mereka merasa kewalahan dengan tenaga pas-pasan, apalagi dibebani puasa.  Sehingga, mereka tidak mampu menyempurnakan puasanya, dikarenakan harus mengisi energi agar pekerjaannya selesai.
Dalam fikih, pekerja berat diberikan keringanan (rukhshah). Sehingga, ia boleh membatalkan puasanya (mokel) di pertengahan waktu. Prinsip syariat yang dikedepankan adalah penggalan ayat puasa dalam QS. al-Baqarah: 185 berikut:

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan” (QS. al-Baqarah: 185)
Meskipun oleh Allah diberikan keringanan dalam menjalankan puasanya, ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi agar ia termasuk kategori orang yang mendapatkan keringan tersebut. Dalam Bughyat al-Mustarsyidin disebutkan:

لَا يَجُوزُ الْفِطْرُ لِنَحْوِ الْحَصَّادِ وَجُذَّاذِ النَّخْلِ وَالْحَرَّاثِ إِلَّا إِنِ اجْتَمَعَتْ فِيهِ الشُّرُوطُ. وَحَاصِلُهَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ كَلَامِهِمْ سِتَّةٌ: أَنْ لَا يُمْكِنَ تَأْخِيْرُ العَمَلِ إِلَى شَوَّالٍ؛ وَأَنْ يَتَعَذَّرَ الْعَمَلُ لَيْلاً أَوْ لَمْ يُغْنِهِ ذَلِكَ فَيُؤَدِّي إِلَى تَلَفِهِ أَوْ نَقْصِهِ نَقْصًا لَا يَتَغَابَنُ بِهِ؛ وَأَنْ يَشُقَّ عَلَيهِ الصَّوْمُ مَشَقَّةً لَا تَحْتَمِلُ عَادَةً بِأَنْ تُبِيْحَ التَّيَمُّمَ أَوِ الجُلُوسَ فِي الفَرْضِ خِلَافًا لِابْنِ حَجَرٍ؛ وَأَنْ يَنْوِيَ لَيْلًا وَيُصْبِحَ صَائِمًا إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ العُذْرِ؛ وَأَنْ يَنْوِيَ التَّرَخُّصَ بِالفِطْرِ لِيَمْتَازَ الفِطْرُ المُبَاحُ عَنْ غَيْرِهِ؛ وَأَنْ لَا يَقْصِدَ ذَلِكَ العَمَلُ وَتَكْلِيفُ نَفْسِهِ لِمَحْض التَّرَخُّصِ بِالفِطْرِ، وَإِلَّا امْتَنَعَ.

“Tidak diperbolehkan membatalkan puasa bagi semisal tukang panen, pemetik kurma, dan pembajak sawah, kecuali telah memenuhi enam persyaratan berikut: (1) pekerjaannya tidak mungkin diakhirkan ke bulan Syawal; (2) tidak dapat dikerjakan di malam hari atau tidak selesai, lalu akan menjadi rusak atau berkurang yang membuat kerugian; (3) mengalami kepayahan ketika berpuasa yang tidak biasa pada umumnya, seperti kebolehan tayamum sebab ada kesulitan atau duduk pada shalat fardu; (4) berniat di malam hari dan tetap dalam kondisi berpuasa, kecuali memang ada uzur; (5) berniat mengambil keringanan ketika membatalkan puasa untuk membedakan yang diperbolehkan dan yang tidak; (6) tidak bertujuan mendapatkan keringanan syariat dengan membatalkan puasa. Jika demikian, maka tidak diperbolehkan.” (Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], Hal 234)
Nampaknya, seluruh persyaratan tersebut memang harus dipenuhi bagi siapapun yang bekerja sebagai pekerja berat. Maksud dari persyaratan yang cukup ketat di atas adalah untuk menghindarkan pekerja berat dari pembatalan puasa tanpa ada uzur. Sebab, Rasulullah Saw pernah memberikan peringatan melalui sabdanya:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ

“Barangsiapa membatalkan puasanya satu hari di bulan Ramadhan tanpa ada keringanan yang diberikan oleh Allah, maka puasa setahun pun tidak akan menggantikannya” (HR. Abu Dawud)
Namun bagaimana jika kasusnya beralih pada profesi sopir yang sehari-harinya melakukan perjalanan jauh. Apakah masih mendapatkan rukhshah dari syariat?
Pada dasarnya, bepergian jauh yang telah memenuhi persyaratan menjamak dan mengqashar shalat, maka juga memenuhi persyaratan mendapat keringan dari Allah. Pasalnya Allah Swt berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa dari kalian dalam kondisi sakit atau bepergian, maka boleh mengambil hari lain (untuk qadha puasa)” (QS. al-Baqarah: 184)
Jika rukhshah ini diterapkan pada profesi sopir, maka ia diperkenankan membatalkan puasa secara selama-lamanya, seakan-akan memberi keringanan khusus bagi pekerja sopir ini. Untuk itu, fuqaha menyikapi bahwa khusus sopir yang telah menjadi profesi, maka tidak diperkenankan untuk membatalkan puasa, kecuali memang ada niat kuat untuk mengqadha’nya di kemudian hari.
Sayyid Abi Bakr Syatha al-Dimyathi menjelaskannya sebagai berikut:

وَيُسْتَثْنَى مِنْ جَوَازِ الْفِطْرِ بِالسَّفَرِ: مُدِيْمُ السَّفَرِ، فَلاَ يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ، لِأَنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى إِسْقَاطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَّةِ، إِلاَّ أَنْ يَقْصِدَ قَضَاءً فِيْ أَيَّامٍ أُخَرَ فِيْ سَفَرِهِ…. فَجَوَازُ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِنَّمَا هُوَ فِيْمَنْ يَرْجُوْ إِقَامَةً يَقْضِي فِيْهَا

“Dikecualikan dari kebolehan membatalkan puasa sebab safar adalah orang yang terus-menerus safar, maka tidak diperkenankan membatalkan puasanya, sebab akan mengarahkannya pada pengguguran kewajiban puasa selamanya, kecuali ia memang berniat untuk mengqadha di hari lain…. Kebolehan membatalkan puasa bagi musafir ini hanya berlaku bagi orang yang menghendaki mukim untuk mengqadha puasanya” (Abu Bakar Syatha, I’anath al-Thalibin ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, [Beirut: Dar al-Fikr, 1997, Juz 2, Hal 267)
 
Dengan demikian, baik pekerja berat maupun sopir, sebenarnya kedua-duanya telah diberikan keringanan oleh Allah Swt untuk membatalkan puasanya, namun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dengan tujuan agar tidak menyepelekan ibadah puasa yang jatuh pada sarang kemaksiatan. Untuk itu, sebaiknya bagi mereka tetap niat puasa di malam hari, lalu dilanjutkan dengan berpuasa semampunya. Jika memang tidak mampu di pertengahan puasa, maka dapat mengambil rukhshah tersebut. Wallahu a’lam…
*   *   *   *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *