Fiqih Siyasah tentang Kepemimpinan (Risalah Ngaji dan Ngabdi 128)

Tulisan ini sebenarnya lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang membahas tentang politik Islam. Al-Mawardi dalam al Ahkam al-Sulthaniyah menjelaskan, “al-Imamah maudhuatun likhilafat al-nubuwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya”, kepemimpinan di didirikan dalam rangka mengganti tugas kenabian, dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Dua hal pokok tugas pemerintah atau kepemimpinan dalam ajaran Islam, yang kemudian harus direlevansikan dalam kriteria pemimpin untuk melaksanakan tugas mulia tersebut, yakni dua hal yakni urusan agama (al-din) dan urusan dunia yang harus sinergis, maka seyogyanya kriteria kepemimpinan juga harus merepresentasikan orang-orang yang memang mengakomodasi aspek relegiuos, agama, santri dan mampu mengatur aspek duniawi dalam hal ini urusan politik, ekonomi, hukum, budaya, potensi daerah, yang dalam bahasa kita dapat disebut dengan nasionalisme. Paduan dua kriteria kepemimpinan itu nampaknya sebuah keniscayaan supaya pelaksanaan tugas pemimpin dalam mencapai tujuan kesejahteran masyarakat bisa dipenuhi dengan baik.
Sebagai patokan seorang muslim tentunya Rasulullah Saw. adalah figur ideal sebagai seorang pemimpin yang dijelaskan dalam al-Qur’an, al-Ahzab,

لقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنۡ كَانَ يَرۡجُوا اللّٰهَ وَالۡيَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيۡرًا ؕ‏

Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat serta yang banyak mengingat Allah”.
Kemudian dalam praktiknya sifat-sifat Rasul di antaranya adalah, shidiq bermakna jujur, dapat dipercaya, melekat di dalam dirinya konsistensi antara yang diucapkan dengan yang dilakukan. Mungkin dalam bahasa kekinian adalah transparansi dalam hal pengelolaan kepemimpinannya. Artinya aspek pertanggungjawabannya bersifat terbuka, yang memungkinkan bagi seorang pemimpin dapat dinilai jujur oleh rakyatnya.
Amanah yang berarti dapat dipercaya dalam kepemimpinan yang diembannya. Dalam konteks demokrasi yang menilai seseorang amanah adalah Allah dan rakyat. Allah akan menilai seorang pemimpin dapat dipercaya kemudian akan memberikan anugrahnya, pertolongannya di dunia, juga meminta pertanggung jawaban di akhirat. Sedangkan rakyat juga akan memberikan amanah kepercayaannya kepada seorang pemimpin dalam bentuk hak pilihnya. Maka diskursus demokrasi seorang yang dipilih oleh rakyat berarti mendapatkan amanah rakyat, “fox populi fox dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Maka sebenarnya penganutan sistem demokrasi itu juga dikandung maksud akumulasi dari amanah rakyat, yang dalam khazanah sistem politik Islam memilih sama saja dengan baiat, kontrak antara pemimpin dengan rakyat yang dipimpin, sebagaimana dalam historisitas kekhilafahan Islam, umat membaiat pemimpinnya, seperti yang dicontohkan oleh para sahabat khulafa’ al-rasyidin.
Sifat pemimpin selanjutnya adalah tabligh, kemampuan menyampaikan program, komunikatif, mampu berdiplomasi baik secara internal maupun keluar. Apalagi era sekarang adalah masa di mana keterbukaan dalam berbagai kehidupan dijamin dan dilindungi, maka seorang pemimpin juga harus dapat mengatur era kebebasan, terutama dapat menerima kritik yang diarahkan kepadanya. Dalam konteks pilkada masyarakat Indonesia yang majmu’, plural berasal dari berbagai latar belakang menuntut adanya pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan masyarakat. Syukur kemampuan komunikasinya tidak sebatas kondisi geografis daerah yang dipimpin, tetapi antar daerah, antar provinsi, juga antara negara yang bekerjasama untuk memaksimalkan potensi daerah. Era keterbukaan potensi ekonomi, politik, agama, budaya masyarakat sudah melewati batas-batas itu. Potensi daerah harus bisa dikomunikasikan dengan negara lain dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Contohnya dalam aspek studi agama, perguruan tinggi Islam di berbagai wilayah Indonesia harus difasilitasi untuk menuju studi agama yang dapat menjadi prototipe di negara-negara lain, dalam bahasa lain program internasionalisasi kampus-kampus agama di dalamnya STAIN, IAIN, UIN juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai pemangku wilayahnya.
Fathanah, cerdas untuk membuat program-program kerja, perencanaannya, implementasinya, strategi untuk mencapainya, sehingga programnya akan dapat menyelesaikan problematika kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Taruhlah provinsi Jawa Timur, banyak potensi yang menjadi sasaran program pemerintah, juga ada tantangan yang harus diselesaikan. Kepemimpinan di Jawa Timur merupakan seorang figur yang menggali potensi, juga menyelesaikan, menghadapi tantangan dalam berbagai bidang kehidupan rakyat. Maka kecerdasan pemimpin di Jawa Timur diharapkan di dalamnya seorang figur yang visioner, menatap ke depan dengan program-programnya, mengantarkan masyarakat meraih ksejahteraan dalam kehidupan.
Kriteria ideal sifat Rasulullah ini, dijabarkan dalam fiqih siyasah, Al-Mawardi (w. 450H) menjabarkan tujuh hal yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin (imam), yaitu a. Bersifat adil (Al-adalah). Al-Mawardi, menjelaskan sifat adil adalah hal yang prinsip, keadilan kepala pemerintahan untuk mengupayakan kesejahteraan (welfare) bagi warganya, dalam bahasa yang lain akan terwujud keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat (social justice). b. Al-ilmu, berpengetahuan luas sesuai kebutuhan, dalam hal kepemimpinan untuk menjalankan roda pemerintahan, juga kemampuan pemimpin dalam berijtihad mengambil keputusan, karena ijtihad bagi pemimpin adalah keniscayaan. Dalam bahasa sekarang pemimpin dengan kapasitasnya dapat mengambil keputusan dalam masalah kepemimpinannya. c. Memiliki sense untuk mendengar, melihat, berbicara, sehingga dapat memverifikasi masalah dengan teliti, dapat berkomunikasi dengan baik. d. Mempunyai kesehatan fisik untuk menjalankan tugasnya, apalagi wilayah geografi kepemimpinanya begitu luasnya, yang membutuhkan kondisi fisik yang prima sehingga dapat menjangkau masyarakat yang menjadi wilayah otoritasnya. e. Memiliki wawasan yang memadai untuk mengatur rakyat sebagai basis kepentingan umum. f. Memiliki sifat berani (syajaah) untuk melindungi, mengayomi rakyat di wilayahnya, mempertahankan dari gangguan luar. Tentunya diingat sahabat Umar bin khatab, dalam sejarah Islam dikenal sebagai pemimpin yang tangguh, sehingga dapat mengantarkan Islam menjadi kekuatan politik yang kuat.
Dan yang terakhir ini sifatnya historis sesuai dengan perjalanan kemanusiaan yaitu, berasal dari nasab Quraisy. Teori yang memasukkan Qurays sebagai kualifikasi kepemimpinan, adalah konsepsi klasik dan pertengahan, yang dalam konteks kekinian dapat dimaknai dengan seorang yang mempunyai historisitas sebagai seorang leader, pemimpin. Artinya Masyarakat mempunyai pengetahuan terhadap sosok pemimpin yang telah mempunyai pengalaman, experinces dalam mengelola masyarakat dalam berbagai levelnya. Misalnya dalam karir seorang pegawai seseorang mempunyai riwayat karir sebagai pemimpin pemula, pemimpin senior dan selanjutnya. Dengan pengalamannya inilah seseorang telah ditempa menjadi seorang konseptor dan eksekutor dalam menjalankan kepemimpinanya. Ini berhubungan kepemimpinan yang harus selalu ada dalam komunitas masyarakat, dengan historisitas kepemimpinan itu dari masyarakat akan juga dihasilkan kader-kader pemimpin ideal untuk masa-masa yang akan datang. Untuk itu soal kepemimpinan tidak hanya untuk waktu sekarang atau lima tahun saja, tetapi juga harus sudah siap calon-calon pemimpin untuk masa-masa yang akan datang. Maknanya lagi tanggung jawab kesuksesan dalam pemilihan kepala daerah ini adalah momentum untuk menyiapkan kepemimpinan masyarakat untuk masa periode ini juga untuk masa-masa yang akan datang, bersama seluruh warga masyarakat, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan elemen masyarakat yang lain. Wa Allahu A’lam!

*Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal, Pengajar di UIN Satu Tulungagung

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *