Equality-Kafaah Dalam Pernikahan

Equality yang dimaksud dalam hal ini adalah orang yang posisinya sama di hadapan hukum. Di sini akan dikaitkan dengan masalah kafaah, setara, sebanding dalam hal pernikahan. Tulisan ini review ketika mengisi khutbah iftitah walimah al-ursy, sebagai pepeling bahwasanya sebagai seorang suami istri, sejak awal sudah mempertimbangkan beberapa hal penting yang menjadi pasangannya sehingga seseorang dianggap setara atau sebanding. Sebagaimana kutipan di bawah ini,

وقول الشافعى ان الكفاءة تعتبر بخمسة اشياء الدين والنسب والصنغة والحرية والخلوص من العيب فى النكاح

Ini dari Abd Wahab Sya’rani dalam Mizan al-Kubra mengutip pendapat Imam Syafii, bahwasanya pertimbagan kafaah ada lima hal, yaitu agama, nasab, pekerjaan, kemerdekaan dan sehat dari cacat (kekurangan) yang menyebabkan rusaknya nikah.
Memang dalam hadits disebutkan bahwa perempuan itu dinikahi karena agamanya, hartanya, nasabnya dan cantiknya. Nampaknya pendapat dari Syafii ini ada perkembangan dan pemahaman yang lebih luas yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan calon pasangan nikah. Apalagi dalam konteks sekarang dapat disesuaikan pemaknaannya dengan kondisi sekarang.
Dalam paparan di atas Syafii menyatakan pertama yang harus dilihat kafaah itu adalah agama (aldin). Ini dapat dipahami agama dari sisi keilmuannya juga dalam sisi pengamalan sehari-hari bahkan agama dalam sisi sosilogis yang mengitari calon pasangan. Dari sisi teologis agama dimaknai dengan keyakinan yang sama-sama beragama Islam, sama dalam berhaluan aqidah ahlu sunnah wa aljamaah (sunni). Dari sisi teologis inilah yang akan melandasi semua perilaku sesorang dalam kehidupannya, baik dalam bidang ibadah atau muamalah. Dengan persesuaian agama sepasang suami istri akan menjadi prasyarat terwujudnya keserasian dalam beribadah atau bermuamalah sehari-hari. Misalnya ada sepasang suami istri dalam bidang keyakian teologisnya berbeda, yang satu mengikuti aliran mu’tazilah yang rasionalis dan yang satu mengikuti sunni yang moderat. Ketika melakukan muamalah dalam bekerja yang satu rasionalistik positifistik yang satu mempunyai unsur kepasrahan kepada Allah. Akan terjadi perbedaan pandangan dalam melakukan praktik-praktik pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Karena yang rasionalistik positifistik akan selalu mengukur sesuatu dengan hitungan rasional angka yang kuantitatif, yang satunya memberikan perpektif kualitatif. Tetapi senyampang keduanya dapat menyinergikan kedua aliran teologi ini maka keserasian akan tetap terwujud. Misalnya Ketika pasangan yang berbasis angka rasional dapat dikendalikan dengan pasangan yang berbasis kepasrahan, tawakkal kepada Allah. Akhirnya dua pandangan dapat menutupi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka pertimbagan kualitas kegamaan dalam memilih pasangan adalah sebuah hal yang semestimya, sebagai pondasi dalam kehidupan keluarga yang harus dipedomani oleh semua anggotanya baik orang tua atau anaknya. Maka para ushuliyun abad pertengahan memberikan kaidah tentang hifdlu al-din sebagai basis dalam menentukan kualifikasi maslahah dalam hukum Islam. Jika tidak terpenuhi tentang pemeliharaan agama dalam menjalani kehidupan keluarga, berarti belum terwujudnya maslahah, kebaikan. kalau belum terwujud maslahah berarti akan terjadi kerusakan atau bahaya, yang harus dihindari oleh setiap muslim terutama dalam merealisasikan keluarga yang sakinah.
Yang kedua adalah al-nasab, yang berarti adalah garis keturunan. Keturunan dipertimbagankan dalam hukum Islam, karena memang kualitas seseorang terbentuk yang salah satunya dari ketunannya. Garis keturunan bisa dimaknai juga sisi biologis seseorang, yang kemudian tumbuh kembang menjadi sebuah kelompok atau komunitas. Misalkan kalau di arab komunitas nasab dari Hasyimiyah, keturunan bani Hasyim. Karena sisi biologis lahiriyah seseorang mempengaruhi kesehatan lahir dan batin seseorang. Dalam konteks kekinian di masyarakat berkembang teori tentang penyakit diderita oleh seseorang karena faktor generatif, keturunan. Seperti penyakit gila, gula darah tinggi, darah tinggi dan beberapa penyakit fisik lainnya yang secara langsung akan berpengaruh kepada kondisi psikologis seseorang, atau penyakit batinnya. Sehingga mempertimbangkan kesehatan nasab dalam ajaran Islam sesuatu yang diperintahkan, karena berimplikasi kepada kebaikan keturunan (hifdlu al-nasl) yang dihasilkan oleh pernikahan yang sehat juga.
Ketiga adalah tentang al-shan’ah, pekerjaan. Pekerjaan menjadi satu hal penting untuk dipertimbangkan supaya pernikahan seseorang itu kafaah, sebanding atau tidak. Bekerja adalah perintah agama bagi setiap orang laki-laki yang mempunyai tanggung jawab nafaqah keluarganya. Dengan bekerja seseorang akan menghasilkan harta sebagai biaya hidup keluarganya untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan, pangan, yang merupakan kebuhan pokok dalam keluarga. Tanpa ada pekerjaan sebuah keluarga akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam Islam kita tidak disuruh untuk mengumpulkan harta, atau berlebihan, tetapi bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, senyampang seseorang bekerja sudah menjadi jaminan bahwa kebutuhan pokok, primer akan terpenuhi. Berbeda bagi orang yang tidak bekerja pemenuhan kebutuhannya akan terjadi kesulitan, dan akan sulit terwujudnya ketentraman keluarga (sakinah).
Keempat menurut Al-Syafii yang menjadi pertimbangan adalah al-hurriyah, seseorang yang merdeka bukan dalam keadaan hamba sahaya. Dalam hal merdeka, kalau saya lebih memaknai kepada kondisi indepensi seseorang dalam hal berbuat atas nama hukum. Seseorang yang dapat berbuat atas nama diri sendiri berarti tidak terikat atau ketergantungan kepada orang lain. Misalnya orang yang belum mandiri seperti anak-anak yang masih tergantung dengan orang tuanya, hamba sahaya yang terikat dengan tuannya. Maka sikap kemandirian seseorang dalam kehidupannya merupakan hal yang urgensi untuk membangun rumah tangga. Apalagi bagi seorang laki-laki yang bertindak sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya dunia akhirat, tanggung jawab dari berbagai tantangan kehidupan baik ekonomi, kesehatan, pendidikan, agama, kehidupan sosial, semua menjadi tanggung jawab seorang laki-laki. Sehingga kemandirian adalah keniscayaan sebagai ekspresi dari sebuah tanggung jawab.
Yang kelima adalah seseorang yang selamat atau bersih dari cacat yang dapat merusak pernikahan. Aib atau cacat dalam pernikahan kalau dalam fiqih biasanya berupa sakit fisik dan sakit jiwa. Misalnya disebutkan dalam fiqih cacat yang menyebabkan seseorang dapat dikembalikan kepada orang tuanya, kalau perempuan berupa hilangnya akal, sakit belang, sakit lepra, tertutupnya jalan senggama baik tertutup oleh tulang atau daging. Sedangkan bagi laki-laki adalah sakit jiwa, sakit belang, sakit lepra, impotensi, atau terputusnya alat kelamin.
Lima hal itu adalah kualifikasi yang biasanya memang menjadi dasar bagi setiap orang untuk mencari calon pasangan atau menantunya. Dalam hukum Islam dianjurkan untuk memilih pasangan sebagai sarana untuk menghindari ketidak sepahaman atau tradisi kehidupan yang berbeda antara orang satu dengan yang lain, yang kadang dalam masalah-masalah prinsipil perbedaan itu bisa menjadi penyebab terjadinya perselisihan dengan pasangannya. Misal orang memilih pasangan dengan kondisi agama yang berbeda dikhawatirkan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya akan timbul perselisihan akibat berbeda dalam keyakinannya. Dicontohkan orang yang menghendaki pendidikan anaknya harus sama dengan pendidikan orang tuanya, dengan harapan seorang anak dapat meneruskan perjuangan orang tua yang sudah lama dirintisnya. Jika orang tua berbeda keyakinan, maka berakibat orang tua akan membuat anaknya bingung mau mengikuti bapaknya atau ibunya. Ini hanya contoh sederhana yang dalam dunia relitas keluarga sudah pasti masalah problematika yang diakibatkan perbedaan orang tua juga semakin banyak. Untuk itu ajaran hukum Islam menghendaki seorang yang menikah harus mempertimbangkan hal-hal penting yang lima di atas, setidaknya dapat menghindari sesuatu yang tidak diharapkan dan dapat menarik kebaikan dari pertimbangan kafaah yang dilakukan. Sebagaimana kaidah (dar al-mafasid muqadam ala jalb al-masalih), menolak kerusakan didahulukan daripada menarik kebaikan.
*Penulis : Prof. Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag (Pengajar Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah, Pengasuh PP Terpadu Al Kamal)

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *