Al-Ghazali adalah tokoh pemikir muslim abad 12 M, yang pemikirannya paling laris menjadi bahan kajian dan dasar pengamalan Islam di Indonesia, Nusantara, baik meliputi pemikiran tafsir, hadits, fiqih, filsafat, tasawuf, usul fiqih, thariqah, budaya dan lain-lain, maka para pengkaji, dan peminat studi menjulukinya Hujat Al-Islam. Sebutan sebagai argumentator Islam ini dikarenakan hasil karyanya memang menjadi landasan bagi masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran Islam, juga pemikiran Al-Ghazali mempunyai karakter yang memediasi antara dua kutub corak pemikiran yang tekstualis normatif para fuqaha’ dan para mysticism, tasahawuf, yang akhirnya menjadikan corak pemikiran dia menjadi fiqih sufistik. Hal ini memang didasari oleh latar belakang sosial dia yang tengah terjadi debatable dua kutub pemikiran tersebut, di samping memang dilihat dari sisi keilmuannya Al-Ghazali mempunyai pengalaman keagamaan (religiousity) yang mengantarkan dia menjadi seorang ilmuwan yang kaya akan konsep, amal shalih, karya, dan keberlanjutan pemikiran sejak diproduksi pada abad dia hidup sampai sekarang terus berlanjut dilakukan pengajian-pengajian, kritik, yang pada akhirnya mengahasilkan karya baru dari para pengkaji pemikiran Al-Ghazali (ghazalian).
Sebagai contoh adalah karyanya “Minhaj Al-Abidin”, sebuah karya yang memberikan petunjuk kepada hamba beribadah kepada Allah. Dia dalam bab akhir menyatakan, seorang hamba harus memiliki empat hal yaitu ilmu (al-ilmu), amal (al-amal), ikhlas (al-mukhlis) dan sifat takut (al-khauf). Dengan ilmu seorang hamba akan mengetahui jalan kehidupan dan beribadah, kalau tidak mempunyai ilmu sama saja dia adalah orang yang buta (al-‘ama) yang tidak mengetahui jalan. Ilmu adalah pengetahuan yang diberikan Allah melalui jalan wahyu, pengalaman empiris, atau ajaran para guru yang membimbing seorang hamba mempunyai pengetahuan tentang dirinya, tentang kehidupannya, tentang kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, larangan-larangan yang harus dihindari, sehingga seorang hamba dapat menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi ini berdasarkan pengetahuan yang dia dapatkan. Dengan pengetahuan inilah dia dapat berbuat menjalankan tugas, baik berhubungan dengan Allah, yakni beribadah, tugas berhubugan sesama manusia, habl min al-nas, ataupun tugas berhubungan dengan sesama makhluq, habl min al-alam semesta ini.
Dengan pengetahuannya, dia tahu dirinya, mengetahui Tuhannya, mengetahui bahwa seluruh alam ini adalah ciptaan Allah (makhluq), yang masing-masing mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan oleh manusia, sebagai khalifah di muka bumi. Dengan ilmunya inilah orang mendapatkan pedoman dalam berbuat. Dalam bahasa sekarang dapat dikatakan ilmu sebagai panduan dalam menjalani hidup di dunia sehingga seseorang mendapatkan kebahagiaan, untuk hidup di akhirat. Tanpa ilmu berarti seorang hamba tidak dapat memenuhi tugas kekhalifahannya, atau malah dia berbuat tetapi tidak berdasarkan tuntunan yang dikehendaki Allah swt. Akhirnya sebuah perintah tidak dilaksanakan, larangan dilanggar, sesuatu yang diperintah tidak dikerjakan, yang dilarang malah dikerjakan, inilah perumpamaan orang yang tidak mempunyai ilmu seperti orang yang buta, tidak mengetahui jalan menuju kebahagiaan hidup sebagai tujuan akhir setiap hamba.
Seorang hamba setelah mempunyai ilmu harus mengamalkan ilmunya (al-’amal), kalau ilmu tidak diamalkan maka dia akan terhalang (mahjubun). Pengetahuan yang telah didapat oleh hamba adalah sebagai panduan dalam berbuat, melaksanakan tugas dari Allah SWT, sebagai khalifah fi al-ardl. Dengan beramal seorang hamba telah melaksakan tugas kehambaannya dalam bentuk nyata, dalam relitas kehidupannya, baik berhubungan dengan dirinya sendiri, relasi dengan manusia yang lain atau makhluq yang lain. Ilmu dan amal setelah dikerjakan akan mempunyai nilai guna (utilitas). Misalnya tugas beribadah setelah diamalkan berarti dia gugur kewajiban dalam beribadah, akhirnya membawa kemanfaatan bagi dirinya sendiri atau makhluq yang lain. Juga misalnya tugas menjadi ilmuwan juga mengamalkan ilmunya dalam dunia realitas, akhirnya ilmunya itu membawa kemanfaatan. Kalau memang sebuah ilmu diamalkan sudah pasti membawa nilai guna, tetapi ketika ilmu hanya dalam wilayah konsep, pemikiran akan berhenti dalam catatan karya, belum dapat diaplikasikan dalam dunia nyata, padahal dalam unsur ilmu ada aksiologi yang di dalamnya melihat dari sisi nilai guna dan manfaatnya. Misalnya Ilmu ekonomi hanya dalam sebuah karya tidak akan mempunyai nilai guna dalam memberikan panduan kepada manusia dalam bidang ekonomi yang pada akhirnya disebut dengan ahistoris, belum terwujudnya ilmu secara hakiki, karena minus kegunaan dalam masyarakat. Ilmu hukum menjadi ilmu yang bermanfaat kalau dapat memandu masyarakat untuk patuh kepada perintah hukum dan menghindari larangan hukum dan memberikan sanksi bagi para pelanggar hukum. Ilmu shalat demikian juga harus dapat diamalkan untuk membentuk pribadi-pribadai yang rajin menjalankan kewajiban shalat. Tanpa ada pengamalan ilmu berati seseorang akan terhalang dalam mendapatkan balasan dari Allah, dalam bentuk kepatuhan menjalankan perintah atau kepatuhan meninggalkan larangan.
Kemudian seorang hamba harus memurnikan amalnya (ikhlas) hanya kepada Allah, karena mengamalkan ilmu dengan tidak didasari ilmu dan keikhlasan, maka dia akan rugi (maghbunun). Kerugian ini dapat diartikan karena dia sendiri tidak mendapatkan nilai kemanfaatan untuk dirinya sendiri, juga dimaknai sebuah amal jika dikerjakan untuk selain Allah sudah pasti amalnya tidak diterima tidak mendapatkan tsawab (balasan) baik di dunia dan akhirat. Nilai amaliah adalah beribadah kepada Allah semata, bukan karena aspek yang lain, baik ambisi pribadi, nafsu, pretensi ekonomi, kepentingan politik atau status social untuk dirinya. Sebuah amal dilakukan harus dipersembahkan untuk Allah, beribadah murni, pengabdian tanpa pamrih untuk Allah swt.
Perbuatan yang dikerjakan dengan tujuan selain Allah atau diperuntukkan untuk selain Allah, berimplikasi adanya kemusyrikan di dalamnya, walaupun secara lahir adalah sebuah ibadah. Misalnya membaca Al-Qur’an niatnya untuk didengar oleh orang lain, yang dalam kajian tashawuf disebut sum’ah. Hal ini walaupun pada dasarnya adalah ibadah karena bertujuan bukan untuk Allah, akhirnya sebuah amaliyah tidak dapat diterima oleh Allah karena bukan bertujuan Allah SWT. Inilah yang kemudian disebut dengan hamba yang rugi (maghbunun), kelihatannya beramal tetapi tidak diterima karena tidak Ikhlas. Amal baik berupa shadaqah juga sama, diperintahkan untuk dilakukan secara Ikhlas, bukan untuk terkenal, tidak untuk dilihat atau didengar orang lain, biar dipuji sesama makhluq, amal-amal yang tidak Ikhlas karena Allah semacam inilah yang merugi, karena dia susah payah beramal tetapi tidak diterima oleh Allah, sebab tidak adanya pemurnian ibadah (Ikhlas). Ajaran memurnikan ibadah ini dalam konteks kekinian nampaknya harus adanya penekanan, mengingat dunia digital telah memberikan fasilitas kepada umat manusia mudah beramal tetapi dengan tujuan memviralkan dirinya, dengan kurang adanya pemilahan apakah sebuah amal memberikan manfaat atau menimbulkan pengaruh negative untuk dirinya atau untuk orang lain.
Paparan selanjutnya menurut Al-Ghazali, seorang hamba harus selalu takut (khauf) dan khawatir sampai menemukan perasaan yang aman, kalau tidak khawatir maka dia akan menjadi orang yang terbujuk (maghrur). Dinamika hidup yang ditempuh oleh seorang hamba akan mengalami perubahan, perkembangan. Kadang seseorang mengalami peningkatan iman, juga dalam saat tertentu karena menghadapi godaaan nafsu, syaithan keimanan bisa jadi akan melemah. Ketika seorang hamba mengalami peninngkatan iman terus menjemput ajal kematiannya bisa jadi dia akan mengalami akhir kehidupannya dengan tetap berpegang kepada keimanan kepada Allah secara kuat dan baik, disebut dengan husnul khatimah. Tetapi sebaliknya ketika akhir hayatnya mengalami pelemahan iman yang terjadi adalah akhir hidup yang buruk (su’u khatimah). Sedangkan akhir dari kehidupan ini, kejadiannya kapan tidak ada yang mengetahui selain Allah SWT. maka seorang hamba harus merasa takut (khauf) kepada Allah untuk menjaga keimanannya supaya tetap terjaga sampai akhir dari kehidupannya.
Pendapat Al-Ghazali ini dikuatkan oleh Dhunnun Al-Misri yang mengatakan bahwa makhluq Allah semuanya adalah orang yang mati kecuali ulama, ulama semuanya tidur kecuali orang yang beramalkan ilmu, orang yang beramal semuanya terbujuk kecuali orang-orang yang Ikhlas dan orang yang ikhlas semuanya juga masih mengkhawatirkan. Semoga kita semua selalu mendapatkan kekuatan, hidayah, dan lindungan Allah Swt untuk selalu istiqamah dalam beramal shalih sampai akhir dari kehidupan, sehingga sewaktu-waktu ajal kematian tiba dalam keadaan husn al-khatimah. Untuk itu rangkaian ilmu, amal, ikhlas, dan khauf harus selalu ada dalam diri seorang hamba. Wa Allahu A’lam!
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah dan Khadim PP Terpadu al-Kamal Blitar