Ngaji dan Ngabdi 75: Haji Mabrur
Haji Mabrur  menjadi tujuan setiap orang yang melaksanakan ibadah haji. Karena telah disabdakan oleh Rasul, “al-Hajju al-Mabrur laysa al-Jaza’ Illa al-Jannah”, haji mabrur akan mendapatkan  balasan surga dari Allah SWT. Pertanyaannya adalah apakah haji mabrur itu? Jawabanya tentu ibadah haji yang memenuhi syarat, rukun haji, juga larangan-larangan dalam pelaksanaan haji (manasik), juga ditopang dengan ibadah-ibadah sunnah ketika beribadah di tanah suci. Dalam konteks ke-Indonesia-an manasik haji muslim di Indonesia tidak dilakukan secara mandiri, melainkan difasilitasi oleh pemerintah, juga organisasi-organisasi keagamaan swasta, dalam rangka membantu jamaah haji Indonesia agar tercapai predikat haji mabrur. Maka bersyukurlah menjadi muslim Indonesia yang relatif mudah dalam melaksanakan manasik haji, mulai di dalam negeri selalu mendapatkan bimbingan, di tanah suci juga didampingi dan diberi bimbingan, sampai kembali lagi ke tanah air biasanya Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) juga selalu melakukan pembinaan kepada alumni-alumni jamaah hajinya. Maka dalam konteks teknis pelaksanaan tidak ada alasan bagi jamaah haji Indonesia, untuk tidak bersungguh-sungguh untuk mencapai derajat haji mabrur. Mengingat fasilitator dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, dan lembaga-lembaga lain begitu besarnya demi suksesnya para jamaah untuk melaksanakan haji.
Dapat dilihat ketika calon jamaah haji mulai melakukan pendaftaran memperoleh porsi haji, pembinaan bimbingan ibadah, pendidikan kesehatan, penyediaan peralatan, pembinaan mental, mengelola uang jamaah sehingga tidak terlalu mahal membayarnya. Kemudian setelah jadwal keberangkatan tiba didampingi mulai berangkat, dikawal ibadahnya ketika di tanah suci selama 40 hari. Begitu besarnya jasa-jasa para pejuang ibadah haji, baik mulai dari Kementrian Agama, petugas haji, pembimbing haji, tenaga kesehatan, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Luar Negeri, para petugas keamanan dari Kepolisian maupun Tentara Nasional Indonesia, semua bahu membahu mensukseskan pelaksanaan ibadah haji. Maka kemabruran haji ini tidak berdiri sendiri, melainkan hasil kerjasasama semua elemen bangsa Indonesia. Sehingga setelah selesai proses manasik haji, sudah sepatutnya jamaah haji ini bersyukur kepada Allah Swt, karena telah diberi kesempatan melaksanakan haji dengan lancar dan semoga menjadi haji mabrur.
Selain itu para jamaah haji juga harus berterimakasih kepada semua yang telah membantu manasik hajinya, sebagai manifestasi bersyukurnya kepada Allah. Mulai dari pemerintah RI, para saudaranya, kelompk bimbingan haji yang mendampinginya dan sebagainya. Sebagaimana dawuh jeng Nabi,

من لم يَشْكُر للنَّاس لمَ يَشْكُر لله

(Barang siapa tidak berterimakasih kepada sesama manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah). Untuk itu seyogjanya untuk dijadikan wasilah mencapai haji mabrur, jamaah haji harus berterimakasih kepada semua yang telah membantu terhadap proses manasik hajinya. Artinya lagi para jamaah haji tidak terlalu pede terhadap hasil amaliyah haji yang telah dikerjakanya, karena apa yang diamalkan dalam ibadah haji tidak terlepas dari maunah Allah dan bantuan sesamanya. Bersyukur kepada Allah dan sesama bisa jadi juga menjadi bagian dari haji mabrur seseorang.
Dalam hal ini juga Rasul SAW juga menjelaskan tentang haji mabrur, ketika ditanya oleh seoprang sahabat, apa maksud dari kemabruran haji itu (bir al-haj). Rasulullah menjawab, “ith’am al-thaam, wa thibu al-kalam”, memberi makanan kepada orang lain dan bagusnya perkataan.  Dua hal yang menjadi tanda-tanda haji mabrur, pertama, memberi makan orang lain. Berderma kepada sesama, sebagai bagian dari rasa syukur kepada Allah dan sesama, karena telah sukses melaksanakan ibadah haji. Memang dalam ajaran Islam, sedekah makanan menjadi bagian penting sebagai wujud syukurnya diaktualisasikan dalam bentuk kepeduliaan kepada para sesama. Dalam ibadah-ibadah yang lain juga demikian misalnya perintah zakat, sedekah sebagai wujud syukur diberi kelebihan harta, walimah ursy sebagai wujud syukur telah diberi nikmat suami istri, walimah aqiqah sebagai wujud syukur diberi anak, walimah safar para jamaah haji sebagai wujud syukur telah diberi keselamatan dalam melaksanakan perjalanan haji. Berkurban sebagai wujud syukur telah diberi kelebihan harta, kesehatan fisik, hidayah menjadi orang yang beriman tauhid dan syukuran yang lain. Maka sejak jamaah haji pulang dari tanah suci kemarin tanah air ini seolah ada hari raya ketiga selain Idul Adha dan Idhul Fitri, yakni syukuran jamaah haji. Sebagai bagian ikhtiyar mereka untuk menjadi haji mabrur.
           Selanjutnya, tanda haji mabrur adalah perkataan yang baik (thib al-kalam). Selama di tanah suci para jamaah haji telah dididik dalam rangkaian ibadah dan larangan. Salah satu larangannya adalah “la rafatsa, la fusuqa, la jidala”, tidak boleh berkata kotor, melakukan dosa besar dan tidak boleh bantahan (ngeyelan). Ajaran untuk selau berkata baik adalah sebuah manifestasi keistiqamahan para jamaah dalam menjalankan ibadahnya, baik ketika ditanah suci maupun sesudah selesai beribadah haji. Menampilkan perilaku muslim yang santun, ramah, dan lembut dalam bertutur kata. Ini juga merupakan yang harus dijaga oleh jamaah haji, biar dia diterima hajinya, berkualitas baik atau mabrur.
           Dalam riwayat yang lain kemabruran haji diwujudkan dalam perbuatannya yang menebar kedamaian (ifsya’ al-salam). Serang jamaah haji tidak hanya beribadah dan membangun kualitas individunya saja tetapi dia juga harus menebar kebaikan kepada orang lain. Dalam diri seorang jamaah haji tidak hanya menampilkan kepribadian yang rajin beribadah secara individual saja, tetapi hasil ibadahnya itu akhirnya membawa keibaikan, menjadi contoh, miniatur seorang muslim yang paripurna dalam melaksanakan ajaran Islamnya. Allah dalam sebuah ayatnya  dawuh, “Inna alhaji wa al-umrata min sya’airillah”, sesungguhnya haji dan umrah adalah syiar Allah. Bisa dimaknai jamaah haji adalah bukti kebesaran Allah, kesempurnaan pelaksanaaan ajaran Islam, yang dapat diikuti, ditiru, menjadi contoh bagi manusia yang lain. Pada zaman dahulu orang Indonesia yang melaksanakan ibadah haji sudah tua-tua, karena konsistensi mereka dalam pelaksanakan ibadah haji, baik sebelum maupun sesudahnya.  Semoga kita semua ditaqdir oleh Allah dapat memperoleh kualitas haji yang mabrur amiin. Wa Allahu A’lam bi al-shawab.
*Pengajar UIN Satu, Alumni PP lirboyo, Fungsionaris NU Blitar