Pada pengajian sebelumnya telah dijelaskan tentang kebenaran agama tauhid, baik melalui wahyu ilahi yang positifistik, pendektan rasional dari Rasul, maupun dengan pendekatan empiris pengalaman keagamaan Rasulullah. Maka pada ayat ini (Surat al-Zumar: 41-44) Allah akan membuktikan kebenarannya dengan tema kematian dan syafa’at (permintaan tolong) adalah otoritas mutlak Tuhan.
Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa kebenaran ajaran tauhid telah dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad Saw, kepada orang-orang musyrik Qurays. Tetapi mereka tetap kepada praktek pholiteisme (kemusyrikannya). Maka Allah di dalam surat al-Zumar ayat 41; “Sesungguhnya kami menurunkan kitab kepadamu untuk memenuhi hajat manusia dengan membawa kebenaran, barang siapa mengambil petunjuk dari padanya, maka faedahnya untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu hanyalah dirinya sendiri. Dan sesekali engkau bukanlah orang yang memelihara diri mereka”.
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran Kitab al-Qur’an berisi tentang kebenaran untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Manusia yang mengikuti ajaran kebenaran al-Qur’an akan mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang tetap dalam kesesatan dengan praktek kemusyrikannya, akibatnya juga akan kembali kepada dirinya. Dan akibat dari perbuatannya itu balasannya dapat terjadi ketika hidup di dunia maupun ketika hidup di akhirat. (al-Shawi al-Maliki, Tafsir Hasyiyah al-Shawi, Beirut: Dar al-Fikr, III)
Substansi makna yang dapat diungkap lagi dalam terjemah ayat al-Qur’an di atas adalah diturunkannya al-Qur’an itu untuk kepentingan manusia, agar dapat menjalani kehidupan ini secara benar atau lurus, dalam rangka memperoleh tujuan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selama manusia istiqomah dengan menjalankan ajaran kebenaran al-Qur’an maka dia akan samapai kepada tujuannya, yaitu kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya kalau dia tetap berpaling dari al-Qur’an, maka dia akan tersesat dan tidak akan sampai kepada tujuan yang ingin mereka tempuh.
Bukti Kebenaran yang tertuang dalam al-Qur’an adalah kekuasaan Allah untuk mencabut nyawa seseorang ketika sudah tiba waktu kematiannya. Juga menceraikan ruh dari badan manusia ketika dia sedang tidur, dan mengembalikannya lagi pada waktu dia bangun. (al-Baydhawi, Tafsir Baydhawi, Lebanon: Dar al-Kutub Ilmiyah,II) Ini ditunjukkan dalam ayat ke 42 dari surat al-Zumar, “Allah yang menggenggam jiwa ketika matinya (ketika jiwa bercerai dari badanya) dan Allah yang menggenggam jiwa yang tidak mati ketika tidurnya, maka Allah melepaskan kembali ruh yang lain sampai kepada waktu yang ditentukan, sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda kebesaran Allah bagi kaum yang berfikir “. Selain sebagai bukti kekuasaan Allah, ayat ini juga memberikan gambaran keimanan terhadap hari kebangkitan yang terjadi setelah manusia dimatikan. Pada waktu itu praktek peribadatan atau ketaatan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Nabi Saw, akan dipertanggung jawabkan.
Sebaliknya, kesesatan terjadi dalam diri manusia tidak hanya tentang keingkaran mereka terhadap kematian dan kehidupan yang semuanya atas kekuasaan Allah. Lebih dari itu mereka menjadikan makhluk-makhluq selain Allah sebagai yang dimintai pertolongan (syafa’at). Padahal yang diyakini sebagai orang yang member syafaat itu tidak memiliki keuasaan apa-apa dan tidak memehami sesuatupun. Dalam ayat ke 43-44 di beri keterangan “Tetapi apakah mereka menjadikan berhala-berhala selain Allah sebagai orang-orang yang memberi syafaat?, katakanlah, apakah kamu meminta syafaat kepada selain Allah walaupun selain Allah itu tidak memiliki apa-apa dan tidak memahami apa-apa? . Katakanlah olehmu, Hanya Allahlah yang mempunyai segala syafaat, dia yang memiliki pemerintahan langit dan bumi, kemudia hanya kepadanyalah kamu dikembalikan(44). Hasbi al-Shidiqi, Tafsir al-Bayan, Bandung:Ma’arif),II.
Artinya keyakinan pertolongan dari selain Allah itu adalah kesesatan. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa para Nabi, orang-orang alim, para syuhada’ itu diyakini dapat member syafaat kepada kita?, jawabanya adalah tidak ada yang dapat memberika syafaat selain Allah Swt, Pertolongan (syafaat) mereka adalah atas izin dan ridla Allah. (al-Shawi,Tafsir al-Shawi,III). Dalam konteks ayat ini Dr. Muhammad Husein al-Hamsi dalam kitabnya al-Qur’an al-Karim wa Tafsir menerangkan makna syafa’at adalah perantara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan memenuhi hajat duniawi manusia. Berarti orang yang meminta syafaat dari selain Allah berharap orang-orang atau barang-barang yang mereka yakini dapat mendekatkan diri kepada Allah dan dapat membantu dalam memenuhi kehidupan manusia.
Di era kekinian, Pembicaraan tentang syafaat itu penting untuk digaris bawahi, dikarenakan, banyak terjadi di masyarakat kita, perbuatan-perbuatan yang selalu menjadikan syafaat sebagai alasan dalam melakukan amal tersebut. Tanpa diawali dengan pembersihan ajaran tauhid dari kemusrikan dan kemaksiatan. Padahal di dalam al-Qur’an tadi sudah jelas bahwa terminology syafaat muncul sebagai jawaban terhadap kemusyrikan. Artinya permintaan tolong kepada Allah (syafa’at) itu jangan sampai dikotori dengan kemaksiatan kepada Allah. Mungkin banyak di masyarakat kita, praktek-praktek syafaat dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah, tetapi sebenarnya dicampuri dengan kemaksiatan kepada Allah, atau malah mereka selalu berharap mendapatkab syafaat tetapi tidak pernah menjalankan ketaatan. Ini yang patut kita luruskan, jangan sampai ketaatan dan syafa’at yang kita lakukan ditempatkan dalam tempat yang berbeda, sehingga yang kita peroleh malah sebaliknya, yaitu kemurkaan dari Allah Swt (la’nat). Untuk itu marilah syafaat itu diminta kepada Allah, dengan ketaatan dan kepatuhan kepadanya, sehingga kita mendapatkan ridha dan idzinnya untuk mendapatkan syafaat(petolongannya).
Ditulis oleh: Dr. Asmawi Mahfudz, M.Ag. Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.