Penulis: M. Syaifudin.
TIDAK ada yang memungkiri bahwa pendidikan mempunyai peran yang sangat vital dalam suatu Negara. Bisa dikatakan, pendidikan menjadi dasar kompetensi utama dalam sebuah negara. Namun di Indonesia, keberadaannya masih memperihatinkan. Pendidikan masih saja berkutat pada problem-problem klasik yang tampaknya sudah mengakar dan belum terurai.
Secara matematis, perkembangan pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Data UNESCO tentang hasil pemantauan pendidikan dunia dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, sementara Malaysia di peringkat ke-65, dan Brunei peringkat 34.
Sebenarnya, jika dilihat dari segi program, Indonesia sudah memiliki rencana strategis yang tersusun secara rapi. Indonesia sudah mempunyai program Wajib Belajar 9 Tahun, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa Bidik Misi dan lainnya. Dari segi pembiayaan negara, sektor pendidikan sudah mendapat porsi besar, yakni 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (Okezone.com)
Namun, lagi-lagi, rencana di atas kertas yang sempurna tersebut, dimentahkan oleh fakta-fakta di lapangan yang jauh dari kata ‘sempurna’. Pengamen di jalanan, anak punk yang semakin menjamur, gedung sekolah yang nyaris runtuh, hanya beberapa contoh problem klasik yang masih “menampar” wajah pendidikan di Indonesia.
Tamparan tersebut semakin keras ketika pecah tawuran antar pelajar. Masih segar dalam ingatan ketika pelajar SMAN 70 menyerang pelajar SMAN 6 di Bulungan, Jakarta Selatan 24 September 2012. Bentrokan tersebut mengakibatkan 2 pelajar SMAN 6 terluka dan seorang lainnya meninggal.
Dua hari kemudian, tawuran pelajar kembali pecah di Jl. Minangkabau Manggarai Jakarta Selatan. Kali ini antara SMA Yayasan Karya 66 (Yake) dan SMK Kartika Zeni. Bentrokan ini juga megakibatkan seorang siswa SMA Yake meninggal akibat luka bacok di perut.
Menurut data dari Polda Metro Jaya, dalam rentang bulan Januari hingga September 2012, telah terjadi sembilan tawuran di Jakarta yang melibatkan pelajar. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit mengingat tugas utama mereka adalah belajar yang setiap hari mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan.
Selain tawuran pelajar, kasus hamilnya pelajar juga menjadi potret hitam dunia pendidikan di negeri ini. Setiap musim ujian nasional datang, selalu ada kontroversi dan pro kontra tentang dibolehkan atau tidaknya siswi yang hamil untuk mengikuti ujian. Kasus terakhir terjadi di salah satu SMK di Ponorogo Jawa Timur. Seorang siswi kelas 1 tiba-tiba melahirkan bayi di toilet sekolah saat jam pelajaran berlangsung. Disinyalir, siswi tersebut sudah hamil sejak masih di SMP dulu ia bersekolah.
Ditengah “muramya” wajah pendidikan Indonesia, Kemendikbud menyusun kurikulum baru yang akan mulai diujicoba pada Desember tahun ini untuk melihat respon masyarakat, sebelum diterapkan secara resmi pada tahun ajaran 2013-2014.
Menurut beberapa kalangan, kurikulum baru tersebut membawa sejumlah terobosan baru. Diantara terobosan baru yang dimaksud adalah pada kurikulum baru nanti lebih dititikberatkan pada nilai perilaku, kepribadian, dan budi pekerti luhur atau yang lebih dikenal dengan pendidikan karakter yang bermartabat.
Dilihat sekilas, kurikulum baru tersebut “tampaknya” mampu (diharapkan untuk) menjawab persoalan akhlak dan bobroknya mental para pelajar kita. Meskipun agak terlambat, penerapan kurikulum baru pada tahun ajaran 2013-2014 layak diapresiasi dan didukung.
Mampukah kurikulum baru memberikan jawaban atas ekspektasi besar dari masyarakat yang telah lama menanti dan merindukan sosok-sosok pelajar yang berakhlak, beradab, dan berprestasi? Menarik untuk ditunggu.