Penulis: Dr. K. Asmawi Mahfudz, M.Ag
Surat Ghafir dinamakan juga dengan suratal-Mukmin karena di dalam satu ayatnya disebut ”wa qala rajulun mukminun”, telah berkata seorang laki-laki mukmin. Jumlah ayat dalam surat ini adalah 85 ayat. Semua ayat dalam surat Ghafir masuk dalam kelompok Makiyyah, kecuali dua ayat yaitu “Inna al-Ladhina Yujadiluna fi ayat Allahi bi ghari Sulthan Atahum….” Dan ayat yang dimulai dengan “Lakhalqu al-Samawatu wa al-Ardlu Akbar”. Banyak riwayat Hadits yang menerangkan tentang keutamaan dari surat-surat yang dimulai dengan Ha mim, di antaranya adalah “ segala sesuatu itu mempunyai saripati, dan saripati al-Qur’an adalah al-Hawamim (surat-surat yang dimulai dengan Ha mim). (Al-Shawi,Beirut: 2002, IV, 3). Riyat lain dari Abu Harayrah dijelaskan, barang siapa membaca ayat kursi dan Ha mim dari awalsurat al-Mukmin, maka dia akan dijaga dari segala keburukan di hari itu.
“Ha Mim”. Dan Hanya Allah yang tahu maksud dari ayat ini. Para mufasir memberikan tafsir yang berbeda tentang makna dari Ha mim. Sebagian dari mereka menyerahkan artinya kepada Allah, untuk menghindari kesalahan dalam memahaminya. Tetapi sebagian yang lain menjelaskan bahwa Ha mim diambil dari Nama-nama Allah yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah yang sempurna. Misalnya huruf Ha’ diambil dari Hamid, Halim, Hakim dan seterusnya. Sedangkan huruf Mim diambil dari nama Allah Malik, Manan, Majid dan lain-lain (Al-Shawi,Beirut: 2002, IV, 3). Tetapi dari semua penanafsiran ini ayat ini tentunya menghendaki adanya perhatian kepada manusia tentang kebesaran dan keagungan Allah tanpa ada kekurangan yang melekat dalam dzat Allah.
Keagungan dan kebesaran Allah direfleksikan dalam beberapa sifat-sifanya yang berbeda dengan makhluqnya. Dalam ayat 2-3 dijelaskan “Kitab ini (al-Qur’an) diturunkan dari Allah yang Maha Perkasa, maha Mengetahui. Yang Mengampuni dosa, dan Menerima taubat dan keras hukumannya, yang memiliki karunia. Tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadanyalah semua makhluq kembali “.
Dalam ayat ini Allah membuktikan keagungannya dalam sifat-sifatnya di antaranya ”yang maha perkasa dalam kerajaannya”. Maknanya tidak akan ada yang dapat mengalahkan sifat kuasa Allah atas kekuasaannya. ” Yang maha mengetahui terhadap semua makhluqnya”. Allah maha mengetahui semua perbuatan makhluqnya, baik yang dilakukan secara terangan-terangan maupun yang disembunyikan. Yang lahir maupun ynag batin, yang besar atau sekecil apapun, Semua tidak dapat lepas dari kemaha mengetahui Allah Swt. “Yang maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat”Kemaha kuasaan Allah atas hmbanya dalam hal mengampuni tidak tergantung oleh apapun. Bisa jadi Allah menampuni dosa-dosa hambanya walaupun tanpa taubat. Atau sangat mungkin Allah mengampuni dosa-dosa seseorang dan tidak mengampuni dosa yang lain. (Al-Shawi,Beirut: 2002, IV, 3-4).
“Yang Keras Siksanya” bagi orang-orang yang melanggar ajaran-ajaran Allah, lebih memilih kehidupan duniawi dibanding melaksanakan perintah Allah. Banyak tempat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang pengampunan ”Ghafir” dan adzab Allah”iqab”, dengan tujuan menetapkan sifat berharap (al-raja’) dan takut (al-Khauf) di hati seorang hamba.(Ibn Katsir, Syirkah Nur Asia: IV, 7). Akhirnya dalam diri seorang hamba terdapat keseimbangan dan keajegan dalam menjalani kehidupan berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. “Yang banyak member anugerah dan nikmat” yang tidak cukup bagi seorang hamba bersyukur satu atau dua kali, sebagai perimbangan nikmat-nikmat Allah kepadanya. Sesuai dengan ayat yang lain yang menyatakan” wa in Ta’uddu Ni’matallahi Latuhshuha”, seandainya kamu semua menghitung-hitung nikmat Allah niscaya tidak akan dapat menghitungnya (Ibn Katsir, Syirkah Nur Asia: IV, 7). Maka dari itu “tidak ada Tuhan Selain Dia, dan hanya kepadanya tempat kembali”, Artinya tidak ada yang menyamai Allah dalam sifat-sifatnya yang sempurna. Untuk itu tidak ada yang patut disembah selain Allah. Dan Dia akan membalas semua amal perbuatan hamba sesuai dengan penghambaannya (beribadah)nya, keta’atannya kepada kepada Allah (ibid).
Dari sekian bukti kebesaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an itu menjadi bukti keagungannya dan Hanyalah Dia yang patut dipertuhankan (Tauhid). Maka tidak ada pengingkaran terhadap ketauhidan melainkan orang-orang kafir. Ini dijelaskan dalam al-Qur’ansuratGhafir ayat ke-4, yang artinya “Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah kecuali orang-orang kafir. Karena itu janganlah engkau Muhammad, tertipu oleh keberhasilan usaha mereka diseluruh negeri”. (Al-Shawi,Beirut: 2002, IV, 3) (Ibn Katsir, Syirkah NurAsia: IV, 70).
Dengan ayat ini Allah menyatakan bahwa setelah bukti ketauhidan telah dijelaskan, maka tidak aka nada bantahan dan penolakan melainkan dari orang-orang kafir yang menolak hujjah Allah. Maka dari itu janganlah engkau Muhammad tertipu oleh keberhasilan mereka, baik dalam hal ekonomi, kemewahan dan gemerlapnya. (Kementrian Agama, Syamil al-Qur’an, Bandung: 2010, 931). Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Imran ayat lain 196-197, yang artinya “ Jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh kegiatan orang-orang kafir yang bergerak diseluruh negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara . Kemudian tempat kembali mereka ialah neraka jahanam.itu seburuk-buruknya tempat tinggal”. (Ibid).
Allah memperindah dunia ini ingin menguji manusia. Manusia seharusnya tidak tertipu oleh kenyataan bahwa sebagaian orang berlomba-lomba satu sama lain untuk memaksimalkan hidup di dunia ini. Hal ini seperti yang ditunjukkan al-Qur’an mereka yang hidup dalam kelalaian. Mereka yang berusaha mengumpulkan harta kekayaan mengorbankan iman untuk mendapatkan kekusaan. Mereka yang ingin mendapatkan penghargaan dari orang lain, sebenarnya mencari cita-cita yang khyali. Menganggap bahwa kehidupan di dunia ini adalah nyata. Dan mengejar keuntungan serta balasan duniawi tanpa harapan adalah ketidak logisan, kelucuhan dan kehinaan (Ibid).
Dalam ayat ke-5 disebutkan, yang berarti, “Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu setelah mereka telah mendustakan Rasul, dan tiap umat telah merencanakan (tipu daya) terhadap rasul mereka untuk membunuhnya, dan mereka membantah dengan alasan yang batil, untuk menghilangkan kebenaran, karena itu aku siksa mereka dengan azab. Maka betapa pedihnya azabku”.(Kementrian Agama, Syamil al-Qur’an,Bandung: 2010, 931).
Di ayat di atas disebutkan Nabi Nuh sebagai Nabi pertama yang di perintah oleh Allah untuk mencegah kaumnya menyembah berhala (mensekutukan Allah). Kemudian diikuti oleh rasul-rasul sesudahnya, yang semuanya juga mendapatkan, tentangan, tipu daya kaumnya dalam berbagai bentuknya, dan mungkin saja sebagian berencana ingin membunuhnya. Perilaku tantangan bentuk lain dari kaum musrik kepada para Rasulnya adalah mereka menginginkan untuk mengganti kebenaran (al-haq) dengan perkara yang batil, mensamarkan perkara yang haram menjadi halal, atau sebaliknya mengharamkan perkara-perkara yang sudah jelas-jelas di halalkan. (Ibn Katsir, Syirkah Nur Asia: IV, 71). Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Nabi bersabda: barang siapa menolong perkara kebatilan supaya menghilangkan perkara yang haq, maka dia akan bebas dari tanggungan Allah dan Rasulnya (Ibid). Artinya perbuatan manusia tersebut sudah tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Allah dan tuntunan Rasulullah, atau bahkan melawan terhadap syari’at-syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah.
Dari paparan tafsir suratGahfir ayat 1-5 tersebut dapat diambil beberapa pelajaran, yaitu: Pertama,Surat ini diawali dengan huruf-hguruf muqathaah yang mengandung pemahaman supaya kita memperhatikan isi kandungannya sebagai sesuatu yang penting. Karena sebagaian ulama tafsir menjelaskannya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah yang disimbolkan dengan huruf-huruf yang mengandung nama-nama Allah, refleksi dari keagungan dan kebesarannya. Kedua,dengan mengetahui keagungan Allah akan jelas nyata, Hanya Allah dzat yang patut dan haq untuk disembah. Tuhan yang mempunyai sifat-sifat sempurna, yang akan membalas semua perbuatan hambanya sesuai dengan amalnya masing-masing. Ketiga. Maka dari itu tidak ada yang membantah atau menentang ayat-ayat kebenaran dan keagungan Allah, melainkan dia adalah orang-orang kafir. Yakni mereka-mereka yang lebih mementingkan kepentingan gemerlapnya duniawi dibanding keta’atan kepada Allah. Keempat. Bentuk-bentuk dari tentangan orang-orang kafir yang lebih mementingkan duniawi telah berlanjut sangat lama, mulai dari kaum Nabi Nuh dan umat-umat sesudahnya. Setiap Rasul selalu mendapatkan perlawanan dari kaumnya, bahkan merencanakan pembunuhan terhadap utusan Allah. Hal ini mereka lakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kebenaran dan diganti dengan perkara-perkara yang batil. Kelima. Akhir dari kekafiran mereka akan disiksa oleh oleh dengan siksa yang pedih. Baik adzab Allah tersebut diturunkan ketika masih di dunia atau siksa yang lebih pedih di akhirat. Wa Allahu A’lamu Bi al-Shawab.
Tentang penulis: Beliau adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar dan menjadi salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.
Disampaikan dalam
Majlis Ta’lim Tafsir Jalalayn dan Minhaj al ’Abidin,
Pondok Pesantren al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar,
Jum’at Malam Sabtu, 7 Desember 2012