Oleh: Kharis Mahmud, S.Pd.
Manusia memiliki dua sisi, yaitu internal dan eksternal. Sisi internal berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Sedangkan sisi eksternal merupakan sisi dimana kita sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, kita tentu tidak dapat hidup tanpa adanya interaksi dengan apapun selain diri kita sendiri.
Dari kedua sisi ini, kita memiliki tantangannya masing-masing, baik itu internal dari dalam diri kita sendiri, maupun eksternal yang berasal dari luar. Akhir akhir ini yang manjadi banyak omingan di masyarakat adalah banyak keluarga (suami dan istri) yang bercerai atau berpisah disebabkan adanya pengaruh dari luar keluarga baik dari suami ataupun istri yang tenar dengan istilah PELAKOR. Oleh karenanya kita membutuhkan suatu cara untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan dari masing-masing sisi tersebut. Dan jika tantangan itu menyerang kita, maka kita butuh perisainya.
Allah SWT di dalam Surat At-Tahrim ayat 6 berfirman yang artinya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim: 6)
Perintah untuk memelihara diri sendiri dan keluarga tersebut menandakan akan adanya tantangan-tantangan itu. Di dalam ayat di atas digambarkan bahwa yang menjadi tantangan adalah api neraka. Allah SWT telah menciptakan surga dan neraka. Keberadaan surga dan neraka ini merupakan tantangan bagi kita. Apakah hidup kita nanti akan berakhir di surga ataukah di neraka. Jika kita ingin ke surga, ada tantangan yang harus kita lewati, sebagaimana jika kita ingin menghindar dari api neraka.
Dilihat dari ayat di atas, Allah SWT pertama kali memerintahkan untuk memelihara diri sendiri, baru kemudian keluargamu. Hal ini menandakan adanya skala prioritas dalam memelihara diri. Prioritas pertama adalah diri sendiri, baru kemudian prioritas kedua adalah keluarga.
Akan tetapi, pemaknaan skala prioritas ini tidak dapat dipisah begitu saja. Keduanya bukan berarti fase atau level yang harus dilalui satu per satu. Keduanya harus berjalan secara bersamaan. Di saat kita memelihara diri sendiri, maka secara bersamaan kita juga harus memelihara keluarga kita.
Dalam tafsir Jalalain dikatakan bahwa menjaga diri dan keluarga adalah dengan beramal mentaati Allah ta’ala. Lebih rinci lagi, Imam Asy-Syaukani menjelaskan dalam Fathul Qadir, bahwa menjaga diri adalah dengan melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang (bi fi’li maa amarakum bih, wa tarki maa nahaakum ‘anhu).
Imam Asy-Syaukani melanjutkan, bahwa menjaga keluarga adalah dengan menyuruh mereka (keluarga) untuk taat kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari maksiat kepada Allah ta’ala (bi amrihim bi thaa’atiLLah, wa nahyihim ‘alaa ma’aashiyyahi).
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallama juga menyampaikan tentang wajib dan pentingnya perhatian seseorang kepada keluarganya, khususnya anak-anaknya. Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallama bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak dipungkiri, bahwa sekarang kita hidup di tengah era-globalisasi dan kemajuan teknologi.Dimana tidak hanya dampak positif yang didapat, namun justru banyak sisi negatif yang menjangkiti lingkungan masyarakat kita.Anak kecil umur balita lebih dekat dengan gadget daripada orangtuanya bahkan.Anak-anak seumuran TK dan SD ketagihan dengan smartphone.Anak-anak remaja dan dewasa justru memiliki masalah yang lebih kompleks lagi.
Faktanya kita masih merasakan banyaknya masalah di lingkungan masyarakat, dan terkadang mempengaruhi lingkungan keluarga kita. Meski masih banyak masalah mendera, bukan berarti tidak ada solusi dan antisipasi. Paling tidak, satu solusi dan antisipasi dari sekian banyak solusi dan antisipasi yang ada adalah dengan jadilah pribadi dan keluarga Qurani. Inilah salah satu cara yang sangat sederhana selain pendidikan aqidah, akhlak dan lainnya di rumah kita. Sehingga, tidak ada kata terlambat untuk kita memulainya. Sedari awal, mulai dari sekarang buka mushaf Al-Quran yang lama menjadi “pajangan-pajangan” di rumah. Mulailah untuk berinteraksi dengan Al-Quran, membaca, menghafalkan, mentadabburi, mengamalkan dan mendakwahkannya.
Didik anak-anak kita membaca Al-Quran dengan benar dan baik.Dan sangatlah memungkinkan untuk menjadikan generasi muda kita, menjadi penghafal (penjaga) Al-Quran. Sehingga ketika meraka meneruskan pendidikan tinggi, mereka mempunyai bekal Al-Quran. Dan ketika mereka berkarir nanti, mereka adalah seorang dokter yang hafal Al-Quran, seorang profesor yang hafal Al-Quran, seorang pengusaha hafal Al-Quran, seorang pejabat hafal Al-Quran dan lain sebagainya. Alhamdulillah, insya Allah semakin hari, akan semakin banyak pribadi dan keluarga yang menjadi generasi Qurani. Amin Ya Robbal ‘alamin.