TAFSIR KH. MISBAH MUSTAFA: MENYINGKAP MAKNA IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN

Oleh: M. Imam Sanusi Al Khanafi*
Bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara, tafsir al-Qur’an diperkenalkan sebagai media Dakwah kepada penduduk pribumi. Pengenalan awal terhadap al-Qur’an tentu merupakan hal yang penting, karena al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat Islam. Oleh karena itu, pengenalan untuk orang-orang nusantara dengan al-Qur’an terjadi dengan bersamanya Islam dipeluk oleh penduduk Nusantara, meskipun pengenalan tersebut bukan secara akademik. (Islah Gusmian: 2013: h. 16)
Dengan munculnya kitab tafsir memudahkan masyarakat pribumi mempelajari isi pokok kandungan yang ada dalam al-Qur’an. Di Indonesia sendiri, al-Qur’an diterjemahkan dan ditafsirkan dalam berbagai bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah. Salah satu tafsir al-Qur’an yang ditafsirkan dan diterbitkan dalam Bahasa lokal adalah Tafsir al-Iklīl fī Ma’ānī at-Tanzīl, kitab ini ditulis oleh KH. Misbah Mustafa.
Penggunaan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon menjadikan tafsir tersebut memiliki karakter dan ciri khas yang perlu diteliti lebih lanjut. Karena setiap dimensi, warna-warni penafsiran seorang penafsir memiliki prinsip metode lain dalam memahami ayat al-Qur’an. Produk penafsiran mufassir merupakan representasi dari semangat zaman untuk menghasilkan sebuah karya demi mewujudkan kemajuan Islam di bidang Pengetahuan, khususnya dalam bidang tafsir di nusantara.
Nuansa Sufistik Mufassir
Corak sufistik merupakan salah satu kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat dalam al-Qur’an dengan menguatkan teori-teori sufistik berdasarkan metode para sufi yang ahli mujahadah (bersungguh-sungguh dalam beribadah) dan telah mencapai ahwal (pengalaman spiritual, karena kesungguhan mereka dalam beribadah). Tafsir yang bernuansa sufistik pada dasarnya menegaskan bahwa al-Qur’an sesungguhnya memiliki mutiara-mutiara makna yang sangat dalam, tetapi sangat sulit apabila dimaknai secara makna lahir dengan menggunakan struktur linguistik. (Abdul Mustaqim:2016: h. 126)
Jika dianalisa dengan teori, sebuah teks tidak bisa mewakili sebuah gagasan atau ide yang muncul pada diri seorang penulis, dikarenakan gagasan atau ide itu terbatas. Sedangkan teks tersebut terbatas, mengingat teks berbentuk huruf-huruf yang terbatas. Cara yang efektif dalam menganalisa sebuah teks kepada pengarangnya yakni dengan Allah SWT melalui proses mujahadah, sehingga mereka mendapatkan kasyf. Hanya orang-orang yang dekat kepada Allah inilah penafsir bisa mengungkap makna-makna yang tersembunyi dalam teks tersebut, hal inilah kurang lebih klaim dari penafsir yang bercorak sufistik.(Abdul Mustaqim:2016:h.126). Hanya saja, dalam dunia akademik pemikiran tersebut sulit diukur dengan validitas apakah makna tesebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Mengingat dalam dunia akademik membutuhkan data yang valid untuk memverifikasi penafsiran tersebut.
Ada beberapa dimensi sufistik yang mempengaruhi KH. Misbah dalam memahami ayat al-Qur’an. Aroma sufistik terlihat dalam penafsiran surat al-Fatihah pada ayat ke-5. Hal ini tidak menutup kemungkinan jika kondisi sosial, budaya, politik di Jawa juga mempengaruhi penafsiran KH. Misbah Mustafa.
Tingkatan ibadah manusia
Seperti dalam tafsiran pada ayat ke-5 surat al-fatihah, yang berbunyi: iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in “Hanya kepada engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada engkaulah kami meminta pertolongan”. KH. Misbah menafsirkan ayat tersebut dengan makna Ibadah kepada Allah SWT, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal demikian merupakan ajaran yang telah dipraktikkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW. (baca: al-Iklil).
KH. Misbah membagi makna ibadah menjadi tiga tingkatan, yakni: pertama, Ibadah yang dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT supaya terhindar dari siksa api neraka. Menurutnya, ibadah yang demikian pada tingkatan yang paling rendah. Pada hakikatnya, yang disembah bukan karena Allah, melainkan ganjaran. Allah hanya dijadikan lantaran apa yang dikehandikanya, supaya tujuannya tercapai.
Kedua, Ibadah dengan maksud dan tujuan untuk menjadi orang mulia, dengan lantaran ibadah inilah manusia bisa lebih dekat kepada Allah, sehingga dengan kedekatan antara manusia dan Allah akan mendapatkan rating tertinggi, yakni kemuliaan. Ibadah yang demikian masuk pada tingkatan yang sedang.
Ketiga, Ibadah dengan maksud dan tujuan mengagungkan Allah SWT sebagai Sang pencipta, Sang penguasa Alam jagad raya, Sang pemberi rahmat, dan Sang pemberi nikmat. Hal demikian yang seharusnya pantas dan wajib untuk disembah. Dengan kata lain, ibadah pada tingkatan ini adalah ibadah yang semata-mata karena Allah SWT (lillahi ta’ala). Tingkatan demikian merupakan yang paling tinggi diantara beberapa tingkatan tersebut.
Antara duniawi dan ukhrawi
Berdasarkan tingkatan di atas, ibadah jika hanya mengharap pahala dari-Nya ataupun agar supaya terhindar dari siksa-Nya, ibadah tersebut kurang begitu maksimal. Pemahaman seperti ini perlu di dekonstruksi, sebab tujuan manusia dalam beribadah tidak hanya mengharap pahala dan terhindar dari siksa neraka. Akan tetapi merupakan kewajiban setiap Umat muslim sebagai makhluk yang diciptakan untuk memuliakan dan mengagungkan Sang Maha Agung. Setiap nafas yang kita hirup di dunia ini merupakan bentuk anugerah yang diberikan oleh Allah kepada umatnya agar bisa menjalankan aktivitasnya sehari-hari, baik dalam hablu min al-allah (menciptakan keshalihan personal) maupun hablu min an-nas (menciptakan keshalihan secara sosial).
Menurut KH. Misbah berdasarkan kutipan dari Abu Hasan As-Sadzili, iyyaka na’budu sesungguhnya merupakan isyarat untuk melaksanakan syari’at yang telah ditetapkan oleh Agama Islam. Sedangkan iyyaka nasta’in merupakan pelaksanaan secara hakikat. Maksudnya adalah Allah memerintahkan umat muslim untuk beribadah kepada-Nya dengan cara melaksanakan syari’at dan hakikat. Dalam firman-Nya: wa’buduu Allaaha wa laa tusyrikuu bihi syaiaa (“dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah engkau mempersekutukannya dengan sesuatu apapun”).
Manusia ketika diberi pertolongan dan kenikmatan oleh Allah SWT kadang-kadang melalaikan kewajibannya terhadap-Nya. Manusia lebih mengejar kepentingan dunia dari pada akhirat. Misal: semangat bekerja sampai melupakan kewajibannya dengan Allah. Dalam firman-Nya: Laa haula wa laa quwwata illa billah (“tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Maha Agung”).
Sesungguhnya yang memberikan kekuatan, pertolongan, kesehatan dan kenikmatan dunia dan akhirat hanyalah Allah. Hal inilah yang seharusnya dijadikan prinsip bagi manusia untuk selalu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Apabila kepentingan Akhirat didahulukan, maka kepentingan dunia akan dimudahkan oleh-Nya selama manusia terus berusaha secara dhahiriah dan bathiniah.
Manusia pada dasarnya tidak mampu mewujudkan sesuatu yang diingankan apabila Allah tidak menghendakinya. Jadi, ketika mengucapkan iyya kana’budu harus mengerti bahwa ibadah itu merupakan perintah yang telah disyariatkan oleh Agama Islam. Manakala mengucapkan iyyaka nasta’in harus intropeksi diri, sesungguhnya manusia hanyalah sebagai wayang oleh-Nya yang pasti membutuhkan pertolongan Allah. Hal inilah yang perlu ditanamkan kepada manusia untuk selalu beribadah kepada-Nya, karena manusia hidup dengan dua mata kehidupan, yakni mata syari’ah dan mata hakikat. Dalam firman-Nya: wa man kaana fii haazihi a’maa fahuwa fi al-aakhirati a’maa wa adallu sabiilaa (“dan barangsiapa buta (hatinya) di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar)”)
Ayat di atas mengandung beberapa filosofis yang perlu dipahami oleh manusia. Pesan tersebut berupa tuntunan kepada manusia untuk senantiasa menggunakan ke dua mata kehidupan tersebut dengan seimbang. Kedua mata kehidupan tersebut tidak bisa dipisahkan, apabila salah satu tidak digunakan dalam kehidupan akan mengalami ketidakseimbangan hidup. Karena dengan ke dua mata kehidupan inilah manusia bisa sukses dan harmonis di dunia maupun di akhirat.
Berangkat dari penafsiran KH. Misbah, tidak jauh dari kondisi dan situasi masyarakat yang terjadi pada saat itu. Secara historis, masyarakat pada saat itu masih kurang menyeimbangkan antara kepentingan ukhrawi dan duniawi. Mereka justru mementingkan dari segi duniawinya. KH. Misbah berusaha untuk mengubah mindset masyarakat yang berkembang pada saat itu menjadi masyarakat yang memiliki pendirian yang kuat terhadap Agama.
Berpijak dari setting kehidupan pada saat itu dapat kita pahami bahwa yang namanya produk teks penafsiran tidak lepas dari konteks yang melingkupinya. Latar belakang dan kondisi saat itu juga mempengaruhi teks dimana mufassir hidup. Hal tersebut mengisyaratkan jika agama tidak harus dipandang sebelah mata, tidak dimaknai secara kaku. Melainkan sebagai sarana intropeksi yang mendalam seorang hamba kepada Tuhannya.
Kesimpulan
KH. Misbah berusaha menghadirkan al-Qur’an secara langsung sebagai petunjuk utama ajaran Islam dikalangan masyarakat Islam Jawa. Dia berusaha menampilkan masalah-masalah keagamaan yang berkembang di masyarakat, salah satunya dengan menafsirkan ayat-ayat alQur’an.
Berdasarkanpenafsiran pada ayat ke-5 surat al fatihah, jika beribadah hanya mengharap pahala dari-Nya ataupun supaya terhindar dari siksa-Nya, tentunya ibadah tersebut kurang begitu maksimal. Dengan hadirnya Pemahaman yang menyeleweng perlu adanya dekonstruksi untuk mengingatkan kepada umat Islam supaya dalam beribadah tidak hanya mengharap pahala dan terhindar dari siksa neraka saja. Akan tetapi merupakan kewajiban setiap muslim sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya untuk selalu memuliakan dan mengagungkan-Nya sebagai penguasa alam jagad raya. Wa Allahu a’lam bi as-shawab.
*Tenaga pengajar di Pondok Pesantren Al Kamal dan Mahasiswa Pascasarjana IAIN Tulungagung

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *