Oleh: Lucky Tjatra Brilian
Sepagian ini aku berada di ruangan putih. Kosong. Tak ada apa pun dan seorang pun di sini. Hanya putih. Lantas ketika retinaku mampu menangkap bayangan, seorang perempuan masuk ke dalam dunia putihku.
“Aku Ibumu” akunya. “Panggil aku Ibu”
Saat itu, aku hanya menatapnya penuh keingintahuan, karena memang aku sama sekali tidak tahu. Tapi, ketika aku melihatnya tersenyum, bibirku terangkat. Senyum pertamaku terukir. Memperlihatkan gusi-gusi merah jambu tanpa gigi.
Oleh pengetahuan yang menyergapku di kemudian hari, aku tahu, Ibu adalah orang yang melahirkanku ke dunia yang terdiri dari banyak hari dan warna-warni. Ibu yang membangunkanku dari hibernasi selama sembilan bulan di dunia rahim. Kata pengetahuan, aku harus menghormati Ibu, menuruti perintahnya, dan tidak membuatnya bersedih karena tingkahku. Ibu memang berjasa banyak. Ketika hariku beranjak siang, Ibu mengenalkanku pada seorang laki-laki.
“Ini suamiku” Kata Ibu. Padahal aku belum tahu apa arti suami. “Ia Ayahmu” tambah Ibu.
Lelaki itu membelai pipiku lembut. “Ia cantik” ucapnya. “Persis sepertimu”. Kini orang yang harus kupanggil Ayah itu menatap Ibu penuh cinta.
Kata pengetahuan yang menyergapku di kemudian hari, aku juga harus menghormati Ayah, seperti aku menghormati Ibu, meski katanya “Hormati Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu Ayahmu”.
Lalu hariku beranjak siang. Lebih banyak warna yang kulihat saat ini. Aku tidak lagi banyak bertanya. Bukan karena aku semakin tahu, tapi karena aku lebih disibukkan pada pemburuan jawaban itu sendiri. Berburu, bukan bertanya. Kemudian aku semkain jauh dari Ayah dan ibu. Mereka lebih memilih tinggal di gubuk tua mereka.
Ayah berkata “Merantaulah. Bawakan Ayah dan Ibu mahkota dari tanah rantaumu. Berikan ketika esok di surga” Ayah dan ibu mengantarku hingga ujung jalan pagiku. Dimana sengatan matahari terasa jelas dan pasti dari sini. Aku menuju ke sana, kepada siang hari yang terik itu, dengan kakiku yang semakin kokoh. Jemariku mulai piawai menuliskan setiap jawaban yang kuperoleh di sepanjang jalan yang kulewati. Hingga kini, di persimpangan jalan selanjutnya pada siang hariku yang semakin matang. Aku menengok ke belakang. Jarakku dengan Ayah dan Ibu membentang, tapi aku masih bisa melihat mereka dengan jelas.
“Pilihlah lajur kanan” teriak Ibu. Keras, tapi aku tidak terlalu mendengarkannya. Aku ingin berjalan lurus, di lajurku sekarang. Menatap kearah senja yang begitu jingga di mataku. Elok sekali.
“Ayah, Ibu menitahku untuk ke kanan” pada sela-sela sunyi, aku mengadu kepada Ayah. Ayah diam. Tidak lekas memberi jawban.
“Ikuti kata hatimu” ayah menjeda jawabannya. “Tapi, membuat Ibumu bahagia adalah yang utama”
Mendengar nasehat ayah, aku bimbang. Sungguh egois jika aku tidak menuruti perintah ibu yang telah membesarkanku, tapi aku juga mempunyai pilihanku sendiri. Jalan lurus yang membawaku pada Senja.
Akhirnya aku melobi lampu lalu lintas untuk masuk di dua lajur jalan.
“Hati-hati” pesannya. “Memilih dua lajur tidak semudah yang terlihat. Pada akhirnya kamu tetap harus memilih”
Aku mengangguk paham. Itu nasehat yang sudah ramah di telingaku. Lantas aku naik ke atas plang pembatas jalan. Menitinya perlahan. Siang hariku semakin matang. Berkas-berkas jingga mulai menyapa retinaku.
“Hei, bagaimana harimu?” tanyanya. Aku tersenyum.
“Teryata semua ini tidak sesulit yang kubayangkan, meski ada beberapa pertumpaan air mata”
“Oh ya? Kenpa kamu menangis?”
“Bukan aku, tapi ibu”
“Benarkah?” Sang Senja mengerutkan keningnya. “Aku berjumpa dengan Ibumu beberapa saat yang lalu”
Aku terkejut. Bagaimana bisa? Bukankah Ibu memilih berdiam diri di gubuk, dan memantauku dari jauh?
“Ibumu menitipkanmu padaku. Katanya jangan lupa bersyukur dan berbahagia” ucap Sang Senja.
“Apa ibu melewati lajur yang sama denganku?”
“Ya…buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kamu persis seperi Ibumu beberapa hari yang lalu”
Aku tertegun. Jadi Ibu juga pernah meniti plang pembatas jalan demi menempuh dua lajur? Mungkin nanti aku bisa meminta Ibu bercerita, setelah pertemuanku dengan Senja usai. Lamunanku terhenti ketika sang senja menepuk bahuku lembut.
“Kamu ada di jalan yang benar, Nak”
Aku berbalik badan. Plang yang kupijak tadi tidak sesempit ketika menitinya pertama kali. Kini kakiku menapak. Menapak jalanan menuju senja yang sama. Pada salah satu lajur yang akhirya kutapak dengan lapang dada.
“Ternyata tidak seburuk dan sesulit itu” Ucapku. Dalam hati aku membenarkan petuah “Orang tua tidak mungkin mencelakakan buah hatinya”. Aku menapak lajur kanan itu.