Fiqih Imtihan

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Dzat yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu semua yang lebih baik amalnya, dan Dia maha perkasa lagi maha pengampun.” (Al-Mulk: 2).
Dalam ayat ini, ujian yang ciptakan Allah untuk mengetahui kualitas amal manusia yang lebih baik. Dalam bahasa Pendidikan, ujian dikenal dengan istilah imtihan, Yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tentang pembelajaran yang telah dilakukan selama waktu tertentu, bisa seminggu sekali, sebulan sekali, satu semester sekali sesuai kalender pembelajaran dan capaian pembelajarannya. Hasilnya bisa jadi si murid berhasil, gurunya juga sukses. Atau sebaliknya dengan penilaian yang komprehensif. Meliputi aspek nalar intelektual, perilaku sosial dan spiritual yang sudah dijalani. Teknik ujian pun juga meliputi aspek-aspek ketiga hal diatas, bisa dengan tulisan, bisa dengan praktiknya, juga dilihat dari aspek-aspek perkembangan kepribadiannya, semua dilakukan untuk mengetahui perkembangan belajar santri, sejauh mana ilmu yang telah diterima bisa dipahami, dilakukan sampai kepada membentuk kepribadian. Tidak bisa kita mengukur kemampuan seorang murid hanya dengan pendekatan kuantitatif nilai angka, tapi juga harus mengetahui perilakunya sehari hari.
Pengukuran evaluasi secara komprehensif meliputi semua aspek hanya ada di pesantren-pesantren. Di lembaga ini para kyai dan ustadz menungguhi anak santrinya selama 24 jam sekian tahun. Mereka, para guru pesantren, melakukan pembelajaran dengan komprehensif, memberikan suri tauladan, mengawal kepribadian santri secara istiqamah. Dengan model pembelajaran ala pesantren, juga dievaluasi secara komprehensif, maka kurikulum pesantren banyak mendapatkan apresiasi dari pengkaji dan peneliti pesantren. Mengingat pendidikan Islam yang diterapkan di pesantren mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding dengan model pendidikan yang lain. Yakni pesantren mempunyai kelebihan dari aspek kontinuitas pembelajaran, baik aspek nadhariyah aqliyah (rasionalitas theori), istimrar tathbiqiyah (terus menerus diterapkannya ilmu), juga rasyikhah qalbiyah (tertanam dalam hati santri).
Tiga hal inilah materi yang menjadi ukuran untuk dievalusi di pesantren. Dimensi aqliyah diukur dengan penguasaan materi santri atau siswa, dimensi tatbiqiyah diukur dengan praktik perilaku santri sehari-hari, sedangkan aspek hati diukur dengan keistiqamahan dia dalam melakukan ibadah sehari-hari, sebagai bentuk kedekatan dia kepada Allah SWT. Sebagaimana dawuh;

 من ازداد علما ولم يزداد هدى لم يزداد الى الله الا بعدا

Barang siapa bertambah ilmunya, sedang dia tidak bertambah hidayahnya, maka dia akan semakin jauh kepada Allah.
Di pesantren mengukur kadar keilmuan seseorang salah satunya dengan melihat seberapa kualitas ibadah dia sehari-hari. Aspek penguasaan ilmu-ilmu secara teoritis, praktik-praktik fiqih sehari-hari belum cukup sebelum seorang santri bisa menunjukkan kedekatannya kepada Allah SWT. Memang ilmu berasal dari Allah untuk melaksanakan perintah Allah dan berakhir dengan membuktikan kebesaran Allah. Prinsip-prinsip evaluasi inilah yang harus dijaga oleh pesantren agar ilmu-ilmu yang diajarkan pesantren bermanfaat kemudian menurunkan keberkahan dari Allah SWT. Sehingga di pesantren jarang memberikan predikat orang sukses kepada tamatannya, sebelum mengetahui bahwa seorang santri menguasai teori, praktik di masyarakat, juga mempunyai kualitas ruhaniyah (spiritualitas) yang mumpuni dari seorang santri.
Ukurannya tidak bisa hanya dari sisi lahir saja, tetapi juga dari juga aspek perilaku pengabdian di masyarakatnya juga aspek taqarrubnya kepada Allah. Ini biasanya yang bisa mengukur adalah para kyainya yang telah mengasuhnya. Tidak heran kalau dulu Kyai hasyim, Kyai Abdul Karim, Kyai Maksum Lasem berguru kepada Kyai Kholil Bangkalan hanya beberapa saat kemudian disuruh pulang dan langsung mengajar. Di pihak lain banyak santri berguru kepada kyainya bertahun-tahun tetapi ketika minta pamit, oleh kyainya belum boleh, karena sang kyai mengetahui bahwa si murid belum memenuhi aspek-aspek evaluasi yang diminta oleh gurunya. Untuk itu mari kita jaga kualitas pembelajaran kita di madrasah dengan melajukan keistiqamahan terhadap 3 hal di atas. Semoga santri kita, kyai kita, wali santri dapat memenuhi tiga hal evaluasi bagi pembelajaran di pesantren. Semoga mendapat ridla dari Allah swt.
Para kyai kuno dahulu selalu berpesan, karena pulang dari pesantren amalkan ilmunya di lingkungan masing-masing, kalau pulang dari pesantren di rumah mengajar semampunya. Pesan-pesan kyai ini merupakan tanbih, peringatan bagi alumni pesantren untuk selalu menjaga konsistensi keilmuannya. Evaluasi pembelajaran di pesantren dapat diukur berhasil dan tidaknya ketika para santri pulang di rumahnya masing-masing. Kalau santri dapat melakukan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan bidang dan taqdirnya masing-masing, bisa jadi inilah kemudian yang disebut santri yang sukses, berhasil. Tidak diukur dengan profesi pekerjaannya, nilai nominal gajinya, tetapi diukur dari seberapa besar manfaat ilmunya untuk kebaikan umat manusia di sekitarnya. Sebagaimana dawuh Nabi Saw  خير الناس أنفعهم للناس sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.
Terutama di zaman sekarang, penilaian segala sesuatu kadang dengan pendekatan kuantitatif, bidang pekerjaan, bisnis, termasuk di dalamnya dunia Pendidikan, banyak yang menggunakan matematis kuantitatif semata. Kelemahan pendektan kuantitatif lebih menekankan aspek rasional empiris, yang kelihatan nyata. Padahal dalam dunia pendidikan aspek perilaku lebih banyak berubah-ubah, sedang aspek batin santri tidak kelihatan. Untuk itu dalam dunia Pendidikan Islam, khususnya dunia pesantren penilaian kemampuan santri dijalani dengan pendekatan rasional empiris ujian tulis dan lisan, ujian praktik ilmu dalam kehidupan sehari-hari di pesantren, juga ujian batin dengan melakukan taqarrub kepada Allah SWT. Tidak jarang pengasuh pesantren memberikan tambahan pembelajaran dengan riyadlah, tirakat, sebagai tambahan kualitas bathin santri. Sehingga profil sarjana Islam, ilmuwan muslim, secara rasional mapan, secara perilaku akhlaqul karimah, secara bathin dia dekat kepada Allah SWT. Wa Allahu A’lamu!
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *