هذاالعلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Ilmu ini adalah ajaran agama, maka perhatikan dari siapa mengambilnya engkau mengambil agamamu. Ini tuntunan bagi kita untuk memilih guru-guru terutama dalam hal pemahaman ajaran agama Islam (tafaquh fi al-din), yang dari beliau-beliau kita mendapatkan ilmu dalam beribadah, menyembah Allah Swt. Dalam Istilah arab orang yang mengajarkan ilmu biasa disebut mu’alim (orang yang mengajar), muadib (orang yang melatih), ustadh (seorang guru), al-syekh (guru senior), murabbi (orang yang mengasuh), mursyid (orang yang membimbing). Istilah-istilah ini semua digunakan sesuai tugas, fungsinya secara proporsional.
Dalam istilah keindonesiaan orang yang mengajar, mendidik, melatih, membimbing, mengarahkan,menilai atau mengevaluasi orang yang diajar, kita biasa menyebutnya dengan guru. Kalau kepanjanganya, “digugu” dan “ditiru”. Digugu artinya ditaati nasehatnya, perintahnya. Ditiru maknanya dicontoh perilakunya, bisa dijadikan suri tauladan, bimbingan, latihan dan sebagainya. Sebenarnya pola-pola penerimaan ilmu dari seorang guru dalam ajaran Islam, sebagaimana periwayatan Hadits dari Rasulullah SAW kepada para sahabat dan seterusnya secara langsung, yang kemudian kita sebut dengan dengan Sunnah Nabi SAW yaitu
ما اضيف الى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقرير
(Sesuatu yang disandarkan kepada jeng Nabi Saw. baik dari perkataannya, perbuatannya, maupun ketetapan diamnya jeng Nabi). Artinya sumber informasi ilmu kita, bisa dari perkataan guru, perbuatan guru ataupun diamnya guru, bisa jadi tauladan Bersama-sama. Demikian juga apa yang disampaikan guru kita itu sifatnya keterangan-keterangan, nasehat, dengan cara ceramah, kadang ilmu kita peroleh dari para guru dari uswah, tauladan, perilaku sehari hari. Atapun juga diamnya guru kita sudah menjadi pelajaran berharga bagi kita.
Dalam sehari hari sering kita jumpai para murid, santri meniru perilaku guru gurunya, misalnya cara berpakaian, cara bicara, cara berdehemnya, model jalannya, cara mengajarnya, cara ibadahnya, cara dhikirnya, sampai mencari dalam hal istri dengan kriteria seperti bu nyai nya, istri kyai. Ini menunjukkan betapa profil guru bisa ditranformasikan ke dalam perilaku muridnya, dengan berbagai metode, cara, baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi dengan jalur transmisi (sanad) penyampaian yang jelas.
Dalam konteks santri Nusantara, pada zaman 80-90an tidak heran kemudian kalau orang menyebut alumni-alumni pesantren sebagaimana profil gurunya. Contohnya, alumni Pondok Pesantren Lirboyo profil kemampuannya Nahwu Sharaf karena disandarkan kepada Mbah KH Abdul Karim, Mbah Mahrus Ali, Mbah Marzuki Dahlan. Alumni Tebuireng biasanya mempunyai profil kompetensi Hadits sebagaimana profil Mbah Kyai Hasyim Asyari. Alumni santrinya Gus Maksum Lirboyo menjadi profil santri Kanuragan yang sakti. Alumni PP al-Kamal Biasanya dinisbatkan ke Mbah Kyai Thohir Wijaya yang terkenal Politisi, alumni PP Peterongan dinisbahkan kepada mbah Kyai Ramli sebagai Mursyid Thariqah, santri nya Gus Dur identik dengan pemikir Muslim yang humoris, santrinya Gus Miek biasanya rajin dzikir karena terkenal dengan dzikrul ghafilin dan sebagainya.
Artinya ilmu menjadikan profil seseorang menjadi ‘Alim, yang kita panggil “guru”, kemudian ditranformasikan menjadi profil-profil santri yang seperti gurunya (kyainya). Hanya saja kita dalam melakukan tranformasi ilmu guru-guru kita, kadang tidak bisa sebagai profil guru, istilah sekarang, hanya “poto-kopian”, itupun kadang dari tampilan fisiknya saja, tidak bisa mempunyai ilmu yang seperti guru kita. Kemungkinan kita tidak dapat meniru guru-guru kita dalam hal cara belajarnya, akalnya, niatnya, tirakatnya, praktiknya, keseriusannya, perjuangannya di masyarakat dan akhirnya takdirnya pun juga beda. Akhirnya profil santri hanya mirip kyai, tidak bisa seperti kyai nya secara totalitas. Ini yang di dawuhkan jeng Nabi SAW.
خير القرون قرني ثم الذين يلونى ثم الذين يلونهم
(sebaik baik masa adalah masaku kemudian masa sesudahku (sahabat), kemudian masa masa sesudah mereka (tabi’in). Ini sudah menjadi kenyataan bahwa semakin tambah tahun dan periodesasi kesejarahan umat, kualitas keagamaan (religiousitas) dan keilmuan kita semakin berkurang. Kalau dirunut secara periodesasi masa Nabi mempunyai murid profil sahabat, sahabat mempunyai murid profil tabi’in, tabiin mempunyai murid profil tabi’i al-tabiin (imam madhab), dan seterusnya sampai kita yang profilnya seperti sekarang.
Pada saat ini yang penting muhasabah bi al-nafsi (mawas diri masing-masing), baik kita sebagai guru, sebagai murid, apa saja yang bisa diperbaiki untuk meminimalisir kekurangan kita. Apakah kurang materi ilmu mari disempurnakan ilmunya, kurang ikhlas bisa kita bersihkan hati kita, kurang strategi diperbaiki strategi dan metodenya, atau kurang dari sisi suri tauladan mari disempurnakan uswah diri kita. Dari sisi kita sebagai.murid juga perlu evaluasi dari kekurangan sebagai seorang pencari ilmu, apakah hati yang belum bersih, waktu kurang lama, kepatuhan kita, belajar kita, riyadhah kita, semuannya perlu diperbaiki untuk mencapai cita seorang guru dan murid ideal sesuai kualifikasi yang kita cita-citakan bersama.
Akhirnya perlu mengingat sebuah dawuh untuk menjadi nasehat bersama,
من لم يعتقد جلالة شيخه لا يفلح
(barang siapa tidak meyakini keagungan/kemulyaan gurunya, maka dia tidak akan mendapatkan keberuntungan). Pertanyaanya bagaimana sikap kita kepada guru kita? Baik yang masih hidup maupun yang sudah.meninggal? Apakah kita sudah menghormati, menghargai, memberikan apresiasi sesuai dengan kemampuan kita? Mari kita mulyakan guru-guru.kita biar kita menjadi hamba-hamba yang mulia.
ان المعلم والطبيب كلاهما # لاينصحان اذاهما لم يكرما
(sesungguhnya guru dan dokter itu tidak akan menberikan kebaikan, jika keduanya tidak di mulyakan). Seorang dokter harus kita patuhi agar dapat memberikan hipotesa dan resep obat yang menyembuhkan penyakit kita. Juga guru harus kita patuhi agar dapat memperbaiki akhlaq kita, baik akhlaq kepada Allah maupun akhlaq kepada sesama hamba Allah. Tanpa ada kepatuhan dari seorang pasien atau murid, sulit dokter menyembuhkan penyakit pasiennya, juga sulit guru membentuk kepribadian akhlaq murid-muridnya. Untuk itu relasi hubungan guru dan murid harus dibangun dengan baik, agar transformasi ilmu pengetahuan, contoh-contoh (uswah) dari seorang guru dapat terbentuk dengan baik dalam diri seorang murid, santri, siswa. Wa Allahu A’lam
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.