إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ
Artinya: ”Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak shalih yang selalu mendo`akan orang tuanya.” (Muslim).
Bagian dari keterangan hadits ini, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ sebagai semangat bersama untuk investasi amal shalih, dengan melakukan aktivitas ilmiyah, baik dengan mendengar ilmu, mengajar ilmu atau mungkin sebagai orang yang mencintai ilmu. Rasionalisasinya secara umum, kita sebagai orang Islam, nanti setelah mati yang kita banggakan sebagai investasi amal kira-kira apa? Apakah shadaqah harta kita? Belum tentu kaya, nilai ikhlashnya pun masih problem. Terus kalau amal shalih dari sisi harta masih pesimis, terus berharap kepada anak shalih? Kita hanya bisa ikhtiyar, semua ketentuan hanya milik Allah. Semua doa orang tua berharap anak-anaknya menjadi shalih dan shalihah. Maka sebagai harapan yang bisa dijangkau kemungkinan adalah dimensi ilmiyah, berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Bisa menjadi pengajar, menjadi pendengar, menjadi pecinta dari ilmu, menjadi orang yang melayani, semua dinilai sebagai orang yang bermanfaat dalam dunia ilmu.
Motivasi keprihatinan yang sama kemudian kita meyelenggarakan pengajian Ihya’ ulum al-Din karya al-Ghazali. di Pondok Pesantren kita, yakni tiap hari setelah shalat dhuhur menyelenggarakan pengajian kitab ihya’ ulum al-din, yang pesertanya adalah pengurus dan mahasantri. Di antara tujuannya adalah, pertama, Memanfaatkan, mengajarkan, pengayaan ilmu-ilmu keislaman yang menjadi ciri khas Pesantren. Di manapun pesantren, pasti di dalamnya diupayakan pengajaran, pemanfaatan ilmu-ilmu keislaman klasik. Ketika tidak memanfaatkan ilmu-ilmu keislaman klasik, maka elan vital pesantren juga dipertanyakan, maka ilmu keislaman menjadi core (inti dari) kurikulum pesantren. Kalau pesantren tidak menawarkan ilmu-ilmu Keislaman klasik, maka disitu terjadi penurunan komitmen kepesantrenan.
Tujuan kedua adalah sesuai dengan Namanya, Ihya’ Ulum Aldin, menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam dalam kehidupan muslim, baik sebagai pribadi maupun kelembagaan. Sebagai pribadi kualifikasi keilmuan seseorang santri dapat diukur dengan kemampuannya ketika membaca, menelaah, memahami ihya karya al-Ghazali ini. Ini penting kita utarakan sebab ihya’ ulum al-din ini menawarkan berbagai ilmu-ilmu agama dari berbagai perspektif. Di antaranya fiqih, Hadits,al-Qur’an, kalam, sejarah, filsafat, tasawuf, politik, dan lain lain. Atau bagi sebagian orang yang cinta kepada Ihya’, mereka mengatakan “orang pantes menjadi kyai atau ulama kalau sudah khatam ngaji Ihya’ Ulumum Al-Din“. Entah pendapat itu benar atau tidak, sebagai motivasi untuk pendalaman ilmu-ilmu keislaman diri kita masing-masing.
Dan lagi, semangat dituliskannya Ihya, dahulu memang untuk membangkitkan kembali ilmu-ilmu keislaman. Masa al-Ghazali yang mengalami kemunduran dalam ngaji ilmu-ilmu keislaman. Masa itu memang didominasi oleh semangat politik, materi, kekuasaan, sehingga umat Islam lalai terhadap ajaran Islam sendiri, sehingga yang terjadi kemunduran Islam dalam memberikan kontribusi peradaban dunia, sebagaimana abad-abad sebelumnya. الاسلام محجوب بالمسلمين. (Islam terhalang kemajuannya oleh orang islam sendiri). Inilah semangat yang memotivasi al-Ghazali untuk menulis Ihya Ulum Al-Din. Maka jika kita ingin bangkit dari sisi ilmiyah dan hadharah, peradaban, ya harus memantapkan kembali dalam ngaji ilmu-ilmu ke-islaman. Tak terkecuali adalah tujuan kelembagaan PP al-Kamal Blitar, yakni ingin bangkit dan maju memberikan kontribusi terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman baik sebagai santri, asatidh, pengasuh, bersama-sama ngaji kitab al-Ghazali itu setiap hari, bakda dhuhur.
Banyak ilmu yang bisa didapatkan para peserta ngaji ihya’ ini, terutama mereka diajak masuk ke dalam belantara dunia ilmu pengetahuan yang diberi sudut pandang yang beragam, sehingga ilmu-ilmu keislaman dalam ihya’ begitu nikmat dirasakan. Para pengkaji diajak untuk memaksimalkan rasionalisasi ketika berfilsafat, diajak yakin ketika mendapatkan doktrin-doktrin akidah, diajak berperilaku perfect ketika mengkaji hukum atau fiqih, diajak bernostalgia ketika mengaji sejarah masa lalu, diajak menggunakan hati ketika masuk tema tema misticisme, juga diajak realistis ketika diajak mengkaji bidang-bidang sosiologis empiris umat Islam. Tidak heran kemudian pengarang kitab, Abu Hamid al-Ghazali, dijuluki Hujat al-Islam. Semua Pesantren yang berpegang teguh kepada ilmu-ilmu keislaman klasik, pasti akan menawarkan kajian ihya’ ulum al-din. Bisa yang khatam dalam dua tahun sekali, tiga tahun sekali, atau empst tahun sekali.
PP Terpadu al-Kamal ingin mengembalikan marwah Pesantren dalam kajian-kajian kitab Kuning dan bahasa Arab, yang salah satunya adalah dengan ngaji Ihya’. Semakin hari peminat masyarakat untuk menjadi santri di pesantren ini semakin baik dan istiqamah, walaupun di desa, santri kita stabil 1000-1200 santri mukim, dan 3400 santri secara keseluruhan yang ngaji sekolah di lingkungan PP Al-al-Kamal Blitar. Dan ini salah satunya adalah barokahnya kita hidupkan lagi ilmu-ilmu keislaman klasik dengan ngaji Ihya’ Ulum al-Din, Madrasah Diniyah, dan ngaji bahasa Arab sebagai ikon pesantren.
Selain itu tujuan kita ngaji ihya’ Ulum al-Din di PP Terpadu al-Kamal Blitar adalah sebagai sarana kaderisasi. Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah utama lembaga-lembaga pendidikan adalah kader pemimpin, ulama, guru, pengurus dan sebagainya. Dengan memberikan kajian-kajian lanjutan dalam kitab kuning, maka para peserta akan semakin lama di pesantren, akhirnya dia akan jadi pengurus atau ustadh, ini akan menjadikan dia kader pejuang di masyarakatnya masing-masing ketika mereka sudah pulang. Ini yang menjadi keprihatinan kita bersama, yakni mencetak kader-kader kyai di kampungnya masing-masing. Dengan mereka sudah mengaji ilmu tafsir, Hadits. Fiqih, tasawuf, bahasa dan kitab Ihya ulum al-Din. Insyaalah sudah cukup sebagai bekal mereka untuk memperjuangkan Islan di tengah-tengah msyarakat.
Tujuan keempat adalah menbentuk pribadi-pribadi yang moderat (wasathiyah). Artinya dia tidak hanya mahir dari sisi rasionalitas ilmiyah yang disimbolkan dalam kajian ilmu fiqih, tetapi juga menjadi seorang santri yang mengetahui, dan mapan dalam ilmu tasawuf. Maka referensi utama yang menyatukan aspek eksoteris lahiriyah dan dimensi esoteris bathiniyah adalah kitab ihya’ ulum al-din. Maka tipologi pengkaji ilmu ini biasanya nanti menjadi ilmuwan yang karakteristiknya fiqih sufistik. Inilah yang kita harapkan alumni alumni kita yang paham ilmu lahir rasional, juga ilmu batin yang supra rasional. Semoga santri-santri peminat ihya ulumudin, sesuai dengan cita-cita pengarang, cita-cita guru, dan cita-cita santri dan cita-cita lembaga pesantren al-Kamal Blitar. Amiiiiin
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.