(اذا كان ثلاثة فى سفر فليؤمروا احدهم (الحديث او كما قال)
Jika ada tiga orang dalam perjalanan maka jadikanlah pemimpin salah satu dari mereka.
Hadits ini bisa dijadikan dasar tentang perintah memilih pemimpin, sehingga dalam teori politik Islam dihukumi fardlu kifayah. Artinya masalah kepemimpinan dalam ajaran umat Muhammad menjadi kewajiban kolektif, tanggung jawab bersama. Ini berangkat dari pemikiran bahwa kebutuhan adanya pemimpin adalah demi kemaslahatan umat. Melihat dari kebutuhan bersama ini, menjadi kenyataan bahwa antara pemimpin dan rakyat terwujud sebuah hubungan dualitas, dua hal yang menyatu adanya pemimpin karena rakyat, sebaliknya adanya sebutan rakyat karena ada yang didepan. Menjadi satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Disebut rakyat karena dipimpin, disebut pemimpin karena ada rakyat. Hubungan kesatuan inilah kemudian yang memposisikan tanggung jawab masing-masing. Rakyat mempunyai tanggung jawab kesanggupan kepada pemimpinnya, sedangkan pemimpin mempunyai tanggung jawab melindungi dan mengayomi rakyat. Sesuai dalil lain:
كلكم راع وكلكم مسئول عن راعيته
Setiap dari kamu adalah pemimpin yang akan ditanya tentang kepemimpinanya.
Rakyat mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya sebagai orang yang dipimpin. Demikian juga, pemimpin mempunyai tanggung jawab melaksanakan kepemimpinannya. Maka sebenarnya antara rakyat dan pemimpin itu tidak ada bedanya, hanya persoalan tanggung jawab saja. Kalau rakyat pertanggungjawabannya bersama warga rakyat yang lain yang sifatnya kolektif, sedangkan pemimpin dalam pertanggung jawabannya sendirian, sesuai dengan kemampuannya. Inilah yang menjadikan bahwa seorang pemimpin itu harus dilaksanakan oleh orang-orang yang mampu, memikul tanggung jawab kepemimpinnanya. Karena memang pemimpin hanya seorang secara personal mempunyai kapasitas leadership. Beda dengan rakyat yang tanggung jawabnya dipikul oleh orang banyak, kolektif, bersama-sama.
Dalam sejarah Islam, Nabi dawuh الائمة من قرائش (pemimpin itu berasal dari suku Qurays). Ini dilatarbelakangi oleh kapasitas kepemimpinan tempo dulu terletak dari suku Qurays. Akhirnya dalam khazanah teori politik Sunni selalu mensyaratkan suku Qurays, sebagai pemimpin yang bisa dipilih. Pertanyaannya kemudian menjadi dinamis dalam konteks zaman modern, tentang kemampuan dalam kepemimpinan?
Kemampuan masa sekarang bisa jadi dijabarkan dari sisi intelektual, fisik, emosional spiritual dan kemampuan ilmiyah dan lainnya. Atau bahkan sekarang dunianya adalah dunia realitas, aspek-aspek pengalaman yang membentuk seseorang dalam sebuah profil kemampuan kepemimpinan, kemampuan leadhership, menjadi sebuah keniscayaan. Maka tidak heran kemudian dalam karir birokrasi disyaratkan adanya kepangkatan sebagai indikasi seseorang telah berpengalaman dalam obyek lapangan yang akan menajdi tanggung jawabnya. Kalau aspek eksperience ini ditinggalkan, dikhawatirkan akan ditemukan pemimpin-pemimpin yang ideal dalam teori, tetapi miskin pengalaman dalam bidang yang diurusi. Akhirnya sebuah daerah yang menjadi kekuasaannya akan kurang berkembang karena adanya idealisme dan realitas tidak dapat disinergikan dengan baik. Ini yang menjadi tantangan kita bersama, memilih pemimpin yang memang mempunyai kemampuan dari berbagai aspek.
Kita belajar kepada para sahabat besar Rasul yang terpilih menjadi khalifah penggantinya. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dengan dasar pengalaman bersama Rasulullah, intelektualisme, dan spiritualisme yang kuat. Maka mereka disebut khulafa’ al-rasyidin (pemimpin-pemimpin yang mendapatkan petunjuk sehingga bertindak dijalan yang benar). Kalau dalam teori hadits disebutkan al-shahabah kulluhum Udulun (shahabah dihukumi adil). Ini yang patut kita tiru bersama bahwa pada zaman sahabat besar sekalipun kepemimpinan dipilih secara demokratis dan dengan kualifikasi yang memadai dalam berbagai perspektifnya. Baik aspek kepribadian, intelektual, spiritual dan lain sebagainya. Maka seyogyanya masa-masa selanjutnya juga napak tilas kepada masa-masa awal Islam dalam hal kepemimpinan, yaitu sistem demokrasi dipegang teguh, juga kualifikasi kepemimpinan yang baik.
Sebisa mungkin kita tetap istiqomah dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang telah disepakati bersama oleh pendiri bangsa ini. Yakni kepemimpinan yang dapat mengaktualisasikan dasar negara Pancasila, yaitu prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial. Inilah sebenarnya yang telah dijelaskan oleh Allah dengan Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafuur (sebuah negara yang baik dan dalam naungan hidayah Allah Swt.).
Kembalikan kepada masalah kepemimpinan, sesuai dengan dawuh pemikir abad pertengahan:
الامامة منصوبة لحراسة الدين وسياسة الدنيا
kepemimpinan didirikan dalam rangka mencapai tujuan yaitu menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia. Dalam bahasa yang lain adalah untuk.mencapai tujuan kemaslahatan umat. Yang kemudian diteorisasikan oleh para ulama menjadi 5 hal pokok, yaitu Hifdhu al-Din, memelihara agama, artinya kepemimpinan diadakan dalam rangka pelaksanaan nilai-nilai ajaran agama Allah di muka bumi. Ajaran agama Allah di muka bumi adalah kebahagiaan dunia.dan akhirat. Maka siapapun dan sistem apapun bisa jadi yang bisa mewujudkan kemaslahatan, kebahagiaan, umat dunia akhirat itulah yang menjadi tujuan utama.umat manusia.
Kedua adalah hifdlu al-nafsi, menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Baik jiwanya maupun raganya. Harus terjamin dalam menjalani kewajibannya dan terpenuhinya hak-hak kemanusiaan.
Ketiga adalah hifdlu al-aqli, menjamin aspek-aspek aqliyah, intelektual. Segala sesuatu yang menjadi terpeliharanya akal manusia, disitu menjadi tugas pemimpin untuk menjaganya. Misalnya pemimpin harus membuat regulasi, mengatur kehidupan yang dapat mewujudkan sisi intelektualisme manusia. Kebebasan berpikir, berkreasi, hak kekayaan intelektual, terjaminnya inovasi. Dalam skala yang.lebih besar mungkin adalah terjaminnya kebutuhan pendidikan warganya. Ini adalah hal.yang asasi dalam hal kepemimpinan juga.
Keempat adalah hifdlu al-nasl. Memelihara atau jaminan atas keberlangsungan generasi. Pemimpin harus memberikan garansi terhadap aspek-aspek terpeliharanya generasi umat manusia, mengatur tentang perkawinan, memproteksi sesuatu yang.merusak generasi bangsa. Karena kebutuhan warga.masyarakat.atas berlanjutnya generasi bangsa adalah kebutuhan yang sifatnya.universal. semua orang pasti berharap regenerasi kehidupannya mendapatkan jaminan dari seorang pemimpin. Maka yang namanya perzinahan, pergaulan bebas atau perilaku-perilaku yang dapat merusak aspek-aspek regenerasi ini pasti akan dilarang oleh pemerintah dimanapun dan kapanpun.
Kelima adalah hifdhu al maal. Artinya terpeliharnya harta. Apalagi harta ini menjadi sesuatu yang dicintai oleh semua.manusia, baik agama apapun, kelompok manapun selalu mencintai harta. Dengan adanya pemimpin, distribusi harta antar.umat manusia ini dapat direalisasikan. Kebalikannya tugas pemimpin adalah melarang dan menghindari adanya ketidakadilan, monopoli, harta hanya berputar pada kelompok tertentu saja. Dalam al-Quran disebutkan كى دولاة بين اغنياء منكم (harus dihindari harta hanya berputar, dikuasai oleh orang orang tertentu). Maka tugas pemimpin dalam hal pengelolaan harta harus mewujudkan keadilan ekonomi, kesejahteraan sosial. Dalam islam, ada pengelolaan harta yang namanya zakat, pajak, jariyah, wakaf, dan sebagainya. Ini dimaksudkan untuk adanya distribusi dalam hal harta. Misalnya contoh ajaran zakat di dawuhkan oleh Nabi,
يؤخذ من اغنياءهم وترد الى فقرأهم
diambil dari orang orang kaya dan diberikan kepada yang sangat membutuhkan.
Sebenarnya prinsip-prinsip kepemimpinan secara filosofis demikian itu, aspek ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan ini.menjadi tanggung jawab bersama yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan prinsip.musyawarah dalam bahasa sekarang adalah demokrasi. Wa Allahu A’lam.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.