قال ابو الاسود: لاتنهى عن خلق وتأتى مثله # عار عليك اذا فعلت عظيم
Janganlah kamu melarang orang lain berbuat sesuatu, sedang kamu melakukan hal yang sama, apabila hal itu terjadi, kehinaan yang besar akan menimpamu.
Dawuh dari Abu Aswad itu memberikan masukan kepada kita untuk adanya bersikap keselarasan antara dimensi aqwaliyah (perkataan) dan ahwaliyah (perilaku). Dimensi kata-kata harus selaras dengan perbuatan. Sebagai apapun kita, apakah guru, dosen, ustadh, pejabat, rakyat, semua status harus konsisten antara perkataan dan perbuatannya. Dimensi kata-kata itu penting tetapi yang lebih penting adalah contoh dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana uswah hasanah yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Dari dimensi perilaku inilah yang menjadikan akhlaq, seperti yang diungkap Aisyah
كان خلقه القران
Akhlaq Rasulullah adalah Al-Qur’an.
Artinya Rasulullah SAW mempraktikkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan dirinya sebagai uswah, suri tauladan, bagi sahabatnya, umatnya yang akhirnya menjadi sunnah (tradisi) Nabi SAW. Dengan contoh perilaku inilah Islam akhirnya bisa diterima semua umat manusia, maka sebagai seorang guru seandainya ilmu yang kita sampaikan lebih menekankan aspek-aspek perilaku, maka lebih dipahami dibanding aspek retorika.
فان دلالة الاحوال اقوى من دلالة الا قوال
Sesungguhnya bimbingan perilaku lebih kuat dibanding bimbingan dari kata-kata.
Hanya tantangannya di lapangan sebagaimana yang diungkap ole Abu Aswad itu, orang biasanya pandai untuk berkata-kata tetapi tidak cerdas dalam aktualisasi diri, menselaraskan dengan apa yang dikatakan. Orang lebih suka melihat perbuatan orang lain tetapi dia sendiri belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Sebagaimana dawuh di atas orang melarang sesamanya melakukan hal sesuatu, tetapi dia sendiri melakukan hal yang sama. Semoga kita semua selalu diberi kekuatan untuk amal shalih dan istiqamah dengan yang kita lakukan, sehingga hidup ini lebih berkah.
Rasulullah sendiri pernah mengingatkan kita “lisan al-hal afshahu min lisan al-maqal“, dakwah dengan perbuatan lebih diterima dibanding dakwah dengan perkataan. Problematikanya sekarang adalah tidak semua dari kita bisa berbuat, lebih banyak yang berbicara. Tetapi dilihat dari konteks Indonesia sendiri nampaknya muncul pertanyaan, mengapa di Nusantara ini orang lebih suka retorika dibanding tulisan dan yang lain? Ini bisa dilihat banyaknya transformasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para guru dan dosen banyak yang dilakukan dengan retorika semata, tetapi dari sisi tulisan minim sekali. Banyak kyai atau ulama kita yang ‘alim, tetapi tidak banyak karya yang bisa kita warisi dari beliau-beliau, sehingga historisitas ilmiyah dari ulama-ulama nusantara terutama yang berada di desa-desa kurang mendapatkan respon dari umat karena memang tidak ditemukan bukti otentik karangan dia,yang bisa dikonsumsi generasi selanjutnya. Untuk hikmah dari dawuh diatas salah satunya mungkin adalah amal shalih, kreatifitas, karya, yang bisa kita jariyahkan bagi umat Islam secara keseluruhan.
Tentang penulis: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag adalah pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Wonodadi Blitar, dan juga dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.