Ngaji dan Ngabdi (11): Berada di Lingkungan Sosialogis-Religius

Sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak keluarga bahwa akad nikah dilaksanakan pada bulan Sya’ban tahun itu, kalau masehi tahun 2004. Sedangkan untuk resepsinya dilaksanakan satu tahun setelah acara akad nikah. Pada waktu akad nikah kita dari keluarga mempelai laki-laki, Bendosari berangkat dengan mantab membawa keluarga, dari STAIN, Tribakti, Lirboyo, dan keluarga Bendosari Kras Kediri, sekitar 75 orang. Memang untuk ukuran akad nikah jumlah ini memang terlalu banyak, tetapi menjadi tidak banyak kalau yang meminta adalah tuan rumah, karena memang ada acara walimatul Ursy setelah akad nikah. Sebagaimana acara akad nikah pada umumnya struktur acara adalah pembukaan, pembacaan ayat Suci al-Qur’an, pemeriksaan berkas oleh KUA Wonodadi, khutbah Nikah dan akad, ditutup oleh Doa. Yang menjadi catatan, menarik ketika akad, waktu Yai Mahmud masuk ke majlis akad, di Serambi Masjid PP al-Kamal, beliau masuk dengan wibawa dengan membawa kitab I’anah al-Thalibin. Saya yang pada waktu itu menjadi calon mempelai sempat grogi, jangan-jangan sebelum akad dilaksanakan disuruh membaca kitab dulu, ternyata tidak. Beliau membawa kitab untuk membaca khutbah yang ada didalamnya. Alhamdulilah acara akad nikah lancar dipimpin oleh Yai Mahmud sendiri. Acara selanjutnya adalah ramah tamah, dengan sedikit acara seremonial dan iringin gambus dari Tulungagung. Saat ramah tamah wakil keluarga sekaligus yang mengisi Mauidhah Hasanah adalah KH. Imam Yahya Mahrus Lirboyo. Yai Imam waktu itu menyampaikan hikmah pernikahan, hak dan kewajiban suami istri.
Setelah acara selesai ini merupakan babak baru bagi saya dalam menjalani takdir Allah, masuk dalam keluarga baru, lingkungan baru, kebiasaan baru, rutinitas baru, yang mungkin berbeda dengan ketika kita masih sendirian. Kalau masih sendirian seseorang dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan pertimbangan satu arah, monoloyalitas. Tetapi Ketika sudah nikah, maka ketika mau melaksanakan sesuatu bisa mengunakan berbagai pertimbangan. Di antaranya pertimbangan diri sendiri, pertimbangan istri, pertimbangan lingkungan social di mana kita domisili dan sebagainya. Maka seorang kalau sudah kawin mempunyai multi loyalitas. Dengan pola pikir semacam ini seseorang harus belajar, beradaptasi, selalu bermusyawarah, berdialektika dengan yang ada di sekitarnya. Misalnya saya ketika harus mengambil sebuah keputusan harus musyawarah dengan istri, diri sendiri, lingkungan kerja atau lingkungan saya sekarang di Kunir Blitar. Dialektika ini akan terus berjalan sampai saya merasa proses dialektika ini bisa berjalan baik, konsisten, istiqamah. Dalam bahasa yang lain adalah proses adaptasinya berjalan dengan lancar dalam rangka menyesuaikan diri di lingkungan baru.
Di lingkungan baru yakni di al-Kamal Kunir ini oleh Kyai Mahmud saya dipasrahi untuk menjadi Guru Madrasah Diniyah, menggantikan ngaji sore dan menjadi imam Shalat jamaah Isya’. Ini menjadi rutinitas sehari-hari di sela-sela aktivitas yang sudah ada di Kediri dan Tulungagung. Dalam pembicaraan ringan dengan beliau waktu jagongan, sebenarnya mertua meminta saya untuk menjadi mudir Madrasah Diniyah PP al-Kamal, dengan semangat baru harapanya ada pemikiran baru, inovasi baru, sehingga Madrasah Diniyah ini dapat meningkat baik dari sisi kuantitasnya maupun kualitasnya. Tetapi kemudian beliau saya beri jawaban diplomatis, bahwa untuk memajukan lembaga itu kita tidak harus menjadi kepala madrasah atau ketua dalam sebuah Lembaga, kelemahannya biasanya kalau lembaga madrasah ini dipimpin oleh seseorang yang notabene dari internal keluarga, dikhawatirkan nanti keluarga yang lain sungkan untuk mengingatkan kalau terjadi sesuatu, atau bisa jadi ide-ide baru dari keluarga yang lain tersumbat kalau forum musyawarahnya tidak berjalan. Akhirnya alasan saya ini diterima oleh Yai Mahmud, bahwa saya tidak harus menjadi kepala madrasah atau koordinator sekolah formal sekalipun, cukup membantu dari dalam menjadi penasehat atau pembina.
Dalam diskusi yang lain bersama mertua adalah memikirkan madrasah dan pondok pesantren yang mengalami pasang surut, karena memang realitasnya demikian. Dilihat dari jumlah santri Putra sekitar 80 orang, Adawiyah 90 orang, dan Munawarah 90 orang. Apalagi pada tahun itu juga ada kebijakan dari pemerintah untuk meniadakan program Madrasah Aliyah Keagamaan di MAN. Padahal salah satu segmen penting di sekolahan adalah Madrasah Keagamaan yang berbasis pesantren ini. Maka dalam sebuah musyawarah bersama pengasuh saya beranikan diri untuk usul, bahwa program keagamaannya agar dijalankan oleh madrasah diniyah saja. Untuk menutupi kelemahan program regular madrasah diniyah. Akhirnya berdasarkan masukan dan pertimbangan berbagai elemen, Yai Mahmud, pengurus Pondok dan Madrasah Diniyah, dibukalah yang namanya Madrasah Diniyah Khusus (MDK) untuk para anak-anak santri yang Tsanawiyah atau SMP-nya di al-Kamal, kemudian melanjutkan di MAN/SMK al-Kamal. Maka Alhamdulillah dengan strategi ini nampaknya dapat meminimalisir penurunan kualitas santri yang menjadi gejala seluruh pesantren nusantara.
Madrasah Diniyah Kusus (MDK), yakni program atau kelas khusus diperuntukkan bagi santri yang SMP atau MTs-nya di al-Kamal, dengan sudah lama di Pesantren, memungkinkan kemampuan kajian kitab kuning berbeda dengan santri-santri yang baru. Perbedaannya dari sisi kurikulum adalah ditambah dengan kitab: al Mu’in al Mubin, Kifayatul Akhyar, Fiqih Al Sunah, Subulus Salam, Nailu al Authar, Tafsir Al Maroghi, Ilmu Ushul Fiqih dan Mabahis fi Ulumil Qur’an. Kekhususan tersebut dimaksudkan sebagai pendalaman materi pendidikan agama yang diberikan di madrasah dengan pemberian materi pendidikan agama dalam bentuk kitab kuning. Metode belajar di kelas ini lebih menekankan kemandirian kepada kajian beberapa kitab kuning dan penguasaan bahasa baik Arab maupun Inggris. Mengenai materi yang diajarkan sama dengan tingkatan madrasah Aliyah yaitu Bahasa Arab, Fiqih, Hadits, Akhlaq, Tauhid, Tasawuf, dan lain-lain. Hanya saja metode belajar di kelas ini lebih menekankan kemandirian kepada kajian beberapa kitab kuning.
Selanjutnya selain itu, saya juga mengikuti pengajian Tafsir Jalalayn yang diselenggarakan oleh Yai Mahmud, setiap malam sabtu seminggu sekali di rumah. Pada waktu itu peserta pengajian berjumlah sekitar 40an jamaah yang tekun, istiqamah mengikuti pengajian dengan system bandongan, dan mencerahkan itu. Tetapi yang unik lagi adalah pengajian ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat, baik beragam dari sisi ideologi, politik, ekonomi. Misalnya sebagian jamaah dari kelompok LDII, Muhammadiyah walaupun mayoritas adalah NU. Banyak yang kelompok ekonomi pengusaha, juga tidak sedikit yang pas pasan dan keragaman lainya. Sehingga mengikuti pengajian ini bisa mendapatkan pencerahan. Karena Kyai dalam membacakan dan memberikan materi pasti dengan menggunakan berbagai pendekatan dan perbedaan. Karena obyek atau pesertanya berbeda-beda dalam pemahaman keagamaannya. Dan kondisi ini dengan kealiman Yai Mahmud, nampaknya tidak mengalami kesulitan.
Di samping penjelasan di atas, dalam keluarga Kunir ini ada yang patut ditiru oleh kita orang-orang muda, bahwa mertua Bu Nyai Hj. Astutik rajin sekali menyambung silaturahmi dan open dengan keluarga besarnya. Ini dibuktikan dengan acara-acara yang biasa saya ikuti tiap minggu atau disaat-saat ada momentum keluarga. Misalnya acara arisan keluarga tiap Minggu ada keluarga Bani Syarkun bapaknya KH. Thohir, Bani Kriyi Menggolo kakeknya lagi, bani Manshur Kunir, pertemuan alumni jamaah haji beberapa kelompok, acara walimahan, anjang sana keluarga dan lain-lain. Malah kadangkala kelurga saya sendiri tidak mendapatkan kebagian waktu untuk silaturahim. Mungkin dalam kacamata lain, keluarga semacam ini mempunyai tipologi relegius-sosiologis. Artinya keluarga yang mempunyai perhatian dengan perjuangan agama Islam, tetapi juga merawat kehidupan sosial bersama masyarakat yang lain.
*Penulis merupakan Musytasar NU, Pimpinan PP al-Kamal, dan pengajar IAIN Tulungagung

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *