Ngaji dan Ngabdi (12): Silaturahim Simbah KH. Hamzah Syarif Kendal

Setelah mengikuti kegiatan kyai Mahmud juga pesantren, kemudian masuklah saya di bulan Ramadhan tahun pertama saya berada di kunir. Sebagaimana layaknya pesantren-pesantren di Indonesia, di al-Kamal saat itu juga dijalankan ngaji pasan Ramadhan. Kegiatan pasan Ramadhan waktu itu diisi dengan kegiatan pengajian kitab untuk santri kelas Aliyah dan SMP oleh Kyai Mahmud, Kyai Zen Masrur dan para asatidh madrasah sesuai dengan tingkatannya. Pengajian orang-orang tua dengan kitab Bidayatul Hidayah dan Tafsir Jalalayn oleh Kyai Mahmud Hamzah. Juga kegiatan ibadah dan shalat malam oleh Kyai Zen Masrur. Dua kyai ini yang saya tahu semuanya adalah alumni Lirboyo dan IAI Tribakti, sekitar tahun 1960-an dan 1970-an. Hanya mungkin keduanya berbeda tingkatan ketika berada di Pesantren Lirboyo dan Universitas Islam Tribakti (UIT). KH Zen Masrur semasa dengan KH. Idris Marzuki sedangkan Kyai Mahmud Hamzah satu masa dengan Kyai Imam Yahya Mahrus. Walaupun keduanya berbeda masa di Pesantren, juga berbeda asal muasal daerah, tetapi kemudian keduanya dipertemukan dalam satu Lembaga pengabdian yaitu Pondok Pesantren al-Kamal. Artinya dalam sisi silsilah keilmuan kedua beliau sama-sama santri Lirboyo.
Kembali kepada masalah pengajian pasan di al-Kamal, untuk saya saat Ramadhan tahun 2004 diserahi untuk mengganti pengajian Yai Mahmud waktu sore hari, juga badali Kyai Zen Masrur menjadi imam Tarawih ketika beliau udhur. Untuk pengajian yang saya lakukan waktu itu terpaksa menggunakan kuliah umum untuk seluruh santri putra dan putri, dengan cara mereka mendengarkan radio yang telah disambungkan ke speaker Pesantren. Teknik ini terpaksa saya lakukan, karena pada saat itu saya terlanjur menyanggupi untuk mengisi kuliah sore, tugas dari Kampus STAIN Tulungagung yang bekerjasama dengan Pandawa FM. Memang dirasa agak lucu saja wong pengajian kepada santri diselenggarakan tidak seperti biasanya. Tetapi alhamdulillah ini bisa dijalani dengan baik, walaupun dengan via Radio FM.
Yang menjadi hal baru pada diri seorang kemanten baru, pada bulan puasa Ramadhan adalah ketika menjalani buka dan makan sahur. Pada dua waktu ini kita butuh perjuangan pula untuk menahan diri, belajar sabar. Karena bagaimanapun ikut di rumah mertua bukan kebiasaan kita sejak kecil. Saya harus adaptasi Ketika saat buka bersama juga makan sahur. Misalnya kelemahan pribadi saya kalau makan itu super cepat, dalam arti memang cepat dalam menghabiskan makanan, sementara keluarga istri nampaknya menikmati betul jamaah dalam makan bersama keluarga. Apalagi kalau kita sebagai perokok berat seperti saya harus buru-buru menghabiskan makan, ngopi dilanjutkan menikmati hisapan rokoknya. Inilah yang saya namakan membutuhkan ketahanan diri dan kesabaran untuk beradaptasi, dalam rangka menjunjung tinggi adab bersama keluarga dan orang tua. Tetapi lagi-lagi memang sudah menjadi keberuntungan saya, mendapatkan mertua yang baik hati, mengetahui kebiasaan merokok saya, tidak pernah mempersoalkan, malah kalau ibu mertua, Nyai Hj. Astutik, belanja ke toko setiap bulan, selalu membelikan rokok satu slop untuk saya. Semoga amal shalih beliau-beliau para orang tua diterima oleh Allah SWT.
Ini saya jalani sebulan penuh Ramadhan tanpa ada kendala pengabdian yang berarti. Pada saat Hari Raya 1 Syawal sesuai kebiasaan keluarga di Kunir adalah silaturahim di keluarga Kendal Jawa Tengah. Untuk sungkem kepada mbah Putri Hj. Maryam dan ziyarah Maqbarahnya Mbah Kyai Hamzah Syarif, ayah dari Yai Mahmud. Maka pada saat Syawal setelah mengikuti shalat Ied, saya dan Istri sungkem ke Orang tua di Bendosari keras sebentar, sekitar jam 09.00 pagi pulang lagi ke Kunir melakukan persiapan untuk perjalanan ke Semarang, baru biasanya jam 10.00 berangkat bersama-sama dalam satu mobil, biasanya sampai semarang sekitar jam 18.00. Sampai di Semarang silaturahim ini nampaknya berbeda, dengan sebelumnya. Kali ini setiap sowan kepada keluarga Kyai Mahmud selalu ada momen memperkenalkan diri saya kepada keluarga Besar. Di Kendal Jawa Tengah ada beberapa keluarga yang biasanya dijadikan tujuan silaturahim, di antaranya Ndalem sepuh mbah Nyai Hj. Maryam, KH. As’ad, H. Muhlis Hamzah, Bu lik Lihah, Bu Lik Zamrah, Bu de Kis, H. Fauzi Hamzah, juga makam dari KH. Hamzah Syarif. Hasil silaturahim dan pengamatan saya, sebenarnya keluarga dari mbah Kyai Hamzah merupakan tipe keluarga santri puritan dan tokoh masyarakat di Kecamatan Cepiring waktu itu, sekarang kecamatan Kangkong Kendal. Ini saya dapatkan dari informasi para tetangga mbah Hamzah dan saudara-saudara di sana. Dulu Mbah Hamzah itu adalah pejuang Nahdlatul Ulama di Kecamatan Cepiring dan Mursyid Thariqah di sana. Selain informasi dari tetangga, tamu-tamu yang sowan ke ndalem Mbah Maryam, mereka-mereka para pengikut thariqah, yang sudah berumur. Pada saat itu kemudian timbul pertanyaan dalam hati saya, mengapa Kyai Mahmud kok tidak melanjutkan perjuangan Kyai Hamzah yang ada di Kendal, kok memilih berjuang ngopeni Pesantren di al-Kamal Kunir Blitar. Jawabanya adalah itulah kehendak Allah Swt. Yang mengatur jalan kehidupan hambanya (Wa Allahu Yaf’alu Ma Yurid). Informasi lagi yang saya dengar bahwa Kyai, mahmud dahulu memang sempat pulang pergi Blitar-Semarang selama beberapa tahun untuk mengisi pengajian di Kendal, tetapi kemudian nampaknya pengajian itu sudah ada yang mengganti. Insyaalloh untuk mengurusi Masjid di sana diganti oleh Kyai As’ad, dan untuk kegiatan Thariqah di lanjutkan oleh KH. Sanusi dan meneruskan kegiatan Jamaah di Mushala Rumah dilanjutkan oleh Kyai Fauzi Hamzah.
Memang itulah Perjuangan selalu saja membutuhkan kesabaran dan pengorbanan. Sabar untuk jauh dengan orang tua, sabar untuk bersusah payah, sabar dengan segala keterbatasan, sabar untuk tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan, sebagaimana apa yang dilakukan oleh Kyai Mahmud Hamzah, demi ngopeni Pesantren di Kunir Blitar, beliau rela untuk berjauhan dengan orang tuanya, tidak berambisi untuk mendapatkan status sosial di masyarakat, walaupun itu tinggal melanjutkan, bersedia mondar-mandir Blitar-Kendal demi mengisi pengajian. Ini sesuai dawuh Kanjeng Nabi SAW, sebagaimana dikutip al-Ghazali di Ihya’ Ulum al Din, “al-Mujahidu man Jahada Nafsahu wa hawahu” orang berjuang di jalan Allah itu adalah orang yang bersungguh-sungguh untuk menahan Nafsu dan keinginannya).
Pelajaran lagi dari Kendal adalah para santri di sana banyak yang satu almamater dengan saya yaitu Pondok Pesantren Lirboyo, ada yang tetangga, desa sebelah, dan biasanya saya hanya bisa silaturahim lewat telpon, karena jadwal di Kendal yang selalu terbatas untuk silaturahim yang lebih lama di sana. Biasanya sehari semalam setelah selesai anjangsana selesai kita selalu keburu-buru untuk kembali lagi ke Blitar, untuk berhari raya dan silaturahim. Wa Allahu A’lam.
*Pengajar IAIN Tulungagung, Pimpinan PP al-Kamal dan Pengurus NU Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *