وما يلى المضاف يأت خلف # عنه فى الاعراب اذا ما حذف
Sebuah Generasi harus mampu mengganti generasi orang tua apabila telah diambil oleh Allah Swt
Pasca tempat tinggal yang sekarang menjadi lokasi aula dan Unit Asrama Hidayati Mahmud (HM Putri) selesai dibangun, pada tahun 2008 atas kehendak Allah SWT, KH. Mahmud Hamzah meninggal dunia. Pada saat itu keluarga, santri, alumni hanya bisa pasrah dan bersedih kehilangan tokoh panutan yang sehari-hari membimbing mereka. KH. Mahmud Hamzah sejauh yang saya mengaji kepada beliau adalah tokoh alim dalam ilmu agama Islam, yang selalu berjuang untuk santri-santrinya, baik dengan metode belajar pengajian, dan uswatun hasanah sehari-hari. Pada saat hari beliau meninggal, Hari Senin tahun 2008, berduyun- duyun keluarga, santri, wali santri, kolega beliau ta’ziyah ke rumah, menyampaikan duka cita atas meninggalnya guru, yang oleh para santri dan alumni selalu dipanggil Ustadh ini. Yang membuat saya heran adalah saat bersalaman dengan para pentakziyah ini, mereka selalu membisikkan kata-kata yang hampir sama, yaitu “kulo titip pondokke, mugi-mugi kulo lan putra taksih saget ngaos teng al-Kamal, mugi-mugi al-kamal mboten kepaten obor dan sebagainya”. Saya yang mendapatkan bisikan para pentakziyah hanya bisa menjawab “nyuwun dongo pangestune, monggo berjuang sareng-sareng, mugi-mugi taksih saget mengabdi teng PP al-Kamal”.
Ungkapan para pentakziyah ini seolah-oleh kehilangan harapan ketika Kyai Mahmud meninggal dunia, dan mengalami keprihatinan. Tetapi semua sudah menjadi kehendak Allah, diambilnya Kyai Mahmud adalah kehendak Allah, dan al-Kamal kalaupun masih istiqamah menuju kejayaannya pun juga atas kehendak Allah, dalam bahasa pesantren, semua min Alla, Bi Allah, dan Ila Allah, semua dari Allah, atas pertolongan Allah dan diperuntukkan untuk beribadah kepada Allah.
Pasca meninggalnya Yai Mahmud, kemudian keluarga-keluarga sepuh mendatangi saya untuk meneruskan pengajian-pengajian yang biasa diampu oleh Yai Mahmud. Dan saat itu pengajian yang harus saya gantikan adalah pengajian Tafsir Jalalyn, pengajian alumni Ahad Wage, pengajian Muthalaah Mahfudhat anak-anak santri pada sore hari, dan Muthalaah kitab pagi hari, juga pengajian bersama para asatidh madrasah diniyah.
Menggantikan beliau menyampaikan pengajian, sebenarnya diri saya mempunyai keminderan, karena melihatnya adalah potret Yai Mahmud yang alim dan kaya referensi. Ukuran kealiman saya kepada beliau berdasarkan pengenalan dan penghayatan ketika bersama-sama beliau selama empat tahun berjalan. Pertama, Kyai Mahmud adalah kyai yang mempunyai referensi kitab kuning yang komprehensif. Artinya kitab-kitab kuning bacaan beliau tidak hanya berbasis kitab matan, syarah dan hasyiyah tetapi juga lintas madhhab dan lintas disiplin Ilmu. Contohnya kitab tafsir mulai dari kitab tafsir yang satu jilid sampai kitab tafsir yang 30 jilid beliau punyai. Inipun jumlahnya tidak satu dua judul tapi banyak judul. Juga dalam bidang ilmu Hadits, kitab syarah kutub al-sitah beliau punyai. Juga dengan perbendaharaan kitab-kitab fiqih, sejarah islam, ushul fiqih, peradaban, filsafat, hukum Islam positif, memenuhi rak-rak almari buku beliau.
Kedua, referensi kitab yang beliau punyai selalu dibaca dan dimuthalaah setiap waktu, baik pagi, siang, dan malam. Saya yang satu rumah dengan beliau selama tiga tahun merasa malu, karena semangat muthalaahnya jauh dibawah beliau dilihat dari sisi frekwensinya. Ini menunjukkan ghirah, semangat keilmuannya begitu tinggi, atau mungkin belajar mengajar selalu menjadi thariqah baginya. Ini tidak heran mengingat dilihat dari sanad keilmuannya adalah dari guru-guru alim dalam konteks kepesantrenan beliau. Seiingat saya beliau pernah nyantri kepada Ayahnya sendiri yang alim KH. Hamzah Syarif di Kendal, kemudian dilanjutkan ke KH Ali Maksum di PP Krapyak Yogjakarta, kemudian di Pondok Pesantren Rejoso Peterongan Jombang, kemudian ke Pondok Pesantren Bendo Pare Kediri selama 4 tahun, kemudian ke KH. Mahrus Ali dan KH Marzuki di PP Lirboyo Kediri, yang kemudian juga menjadi menantu kyai Thohir Wijaya. Maka kalau dilihat dari latar social pesantren ketika beliau nyantri, wajar kalau kemudian KH. Mahmud menjadi kyai yang mapan dalam bidang ilmu-ilmu Agama.
Ditambah lagi pada saat beliau haji bersama keluarga pada tahun 2004, jajan haji yang beliau bawa adalah kitab kuning tulisan Ulama abad 17 M, yang jarang orang Indonesia membacanya yaitu buku berjudul Hujatullah al-Balighah karya Shah Waliyullah al-Dihlawi. Kitab ini adalah kitab yang mengandung penjelasan-penjelasan ajaran Islam dari berbagai perspektif, mulai fiqih, akidah, sosiologis, filsafat, sejarah agama-agama, adab atau akhlaq tasawuf.
Ketiga. Tanda-tanda ke’aliman Kyai Mahmud adalah beliau sangat istiqamah dalam bersikap apalagi kalau sudah berhubungan dengan ajaran-ajaran pokok agama, beliau tegas dalam memegang prinsipya, taruhlah dalam pelaksanaan syariat Islam. Ada satu contoh menarik dalam kehidupan sehari-hari ketika bersama-sama Bu Nyai Astutik Hidayati. Suatu hari Bu Nyai mendapatkan tawaran dari sebuah agen perbankan swasta untuk melakukan investasi dana, dengan janji setiap bulannya Bu Nyai akan mendapatkan keuntungan sekian juta setiap bulannya. Kemudian Bu Nyai matur kepada Kyai Mahmud, dengan tegas kyai menolaknya dengan alasan, lembaga bank swastanya tidak jelas, investasi dan keuntungannya tidak rasional, ada potensi menuju riba yang dilarang oleh Agama. Ini membuktikan keistiqamahan beliau dalam memegang prinsip-prinsip Syariah. Konsistensi beliau yang lain adalah menjalani pengajian sehari-hari bersama sama santri, tidak pernah absen, kecuali beliau ada udhur tidak enak badan atau kebetulan lagi birrul walidayn di Kendal Jawa Tengah.
Keempat. Kesaksian kealiman beliau adalah saat mengajar para santri, baik kitab kecil atau kitab besar selalu didahului dengan muthalaah dahulu, sehingga ketika menyampaikan materi selalu gamblang, mudah dipahami, dan diterima oleh santri. Akhirnya banyak santri-santri beliau sampai sekarang rata-rata mumpuni dalam hal kajian kitab kuning, dikarenakan ketika melakukan pengajian bersama Yai Mahmud selalu ditunggoni, diarahkan bahkan diberi wawasan-wawasan luas. Contoh lain misalnya kalau kita membuka kitab-kitab yang pernah dibaca oleh beliau, praktik muthalaahnya sama dengan para kyai-kyai dahulu, dipinggir kitabya selalu ada catatan-catatan komentar dari apa yang beliau baca.
Kelima adalah Kyai mahmud adalah Kyai yang santun dalam pandangan saya, artinya dibalik ketegasannya kepada para santri dan keluarga, tetapi ketika bergaul dengan masyarakat luas beliau selalu menampilkan performance yang ramah, murah senyum, gagah, tampan, bersahaja, bahkan lebih kepada sikap tawadhu’. Misalnya kalau pas keluar bersama-sama keluarga beliau selalu menutupi jati dirinya sebagai seorang kyai yang alim. Ini bisa dilihat dari cara berpakaiannya pakai celana yang rapi, tidak berkopyah, sering hanya pakai kaos. Kalau kumpul bersama masyarakat kalau disuruh didepan memimpin tahlil banyak menghindarnya karena menurut beliau ada yang lebih pantas memimpin yaitu tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Pernah suatu Ketika pada waktu rapat menyusun jadwal imam dan khatib Jumat di Pondok Pesantren, Kyai Mahmud berpesan untuk memberikan jadwal Imam, kepada KH Imam Hanafi, karena alasan lebih fasih, dan Hafal al-Qur’an.
Keenam. Kyai Mahmud merupakan figur yang tidak berambisi dalam sebuah jabatan. Ini dapat dilihat dari sejarah pekerjaannya, beliau hanya pernah ngantor di Pengadilan Kediri dan Blitar saja, beliau tidak pernah mau menduduki jabatan-jabatan yang strategis dikarenakan kepikiran dengan pesantren yang ada di rumah. Padahal kalau dilihat dari sisi kesempatan dan kompetensi keilmuannya, sangat terbuka bagi beliau untuk mendapatkan jabatan-jabatan karir baik di Kementerian Agama atau di Mahkamah Agung. Tetapi nampaknya beliau tidak mengejar dan mengambilnya, lebih memilih untuk mengajar santri di rumah.
Dari kesaksian kealiman ini, semoga kita dan para santri Pondok Pesantren al-Kamal dapat mengambil pelajaran dari kepribadian dan kualitas diri dari KH Mahmud Hamzah, dan selalu mendapatkan keberkahan dari ilmu-ilmu yang pernah disampaikan. Amiin.