Tulisan ini menyempurnakan dari tulisan sebelumnya pada halaman ngaji dan ngabdi ke 3, diunggah 4 Maret 2021 di alkamalblitar.com. Menceritakan manaqib syaikhina Imam Yahya Mahrus, banyak yang dapat kita ungkap, baik dari sisi kealimannya, haliyahnya, uswatun hasanahnya, dawuh-dawuhnya, ijazahnya, kesan-kesan kebersamaan penulis, mulai nyantri dan ngabdi di Pondok Pesantren Lirboyo sejak tahun 1994 sampai sekarang juga masih nyantri. Kyai Imam Yahya saat awal penulis nyantri seolah menjadi pintu yang diberikan Allah kepada penulis, sehingga dapat krasan mondok, rajin jamaah, istighosah, mengajarkan amalan-amalan doa dan hizib, membacakan kitab-kitab, menasehati tatkala lalai, memberikan nasehat, memberikan suri tauladan, membimbing dalam mencari ma’isyah, mendidik untuk berorganisasi, menjadi perantara keluar tatkala membutuhkan jodoh atau istri dan banyak sekali mawaidh yang bisa kita jadikan pegangan dalam hidup dari sosok al-Maghfurlah shahib al-fadhilah Syaikhina Imam Yahya Mahrus.
Sebelumnya saya ungkap diri saya dulu, sebelum ketemu Romo Kyai Imam Yahya Mahrus, sosok santri beling. Kalau sekolah tidak istiqamah, mbolosan, ibadah pun juga sering qadlo’, perkumpulan pun dengan teman-teman yang tidak begitu dekat dengan buku atau kitab kuning, kalau malam senengnya nimbrung di pasar malam, menjadi anak seolah cita-cita pun juga tidak jelas, yang mungkin menurut perhitungan orang awam pribadi ini jauh dari profil anak shalih. Tetapi pada tahun 1994 setelah walid, mendorong saya untuk nyantri di Lirboyo untuk masuk madrasah Diniyah MHM, juga kuliah di Institut Agama Islam Tribakti, saya ikut-ikut saja, tidak ada penolakan, juga argumentasi sebagaimana anak sekarang yang kadang diarahkan ke Pesantren dan Kuliah yang tidak sesuai selera dibumbuhi dengan berbagai macam alasan. Saat itu kita ikut saja dengan dawuh orang tua dan diajak sowan kepada al-Mukaram Romo Kyai Imam Yahya Mahrus.
Pada saat itu Bapak matur kepada Yai Imam, untuk menyerahkan Asmawi ini menjadi santri panjenengan, secara totalitas, nyumanggakne, niki lare kurang pengalaman, terkesan males, membutuhkan bimbingan dan doa panjenengan supados dados lare ingkang sholih. Kemudian Yai Imam dengan keramahannya, tidak langsung menjawab tetapi mengajak ngobrol dulu, demi menyenangkan tamunya yang dari desa ini. Beliau cerita waktu mudanya sering bermain di kecamatan kras kabupaten kediri, yang saya ingat waktu itu yai imam menyebut beberapa nama yang menjadi jujugan beliau ketika bermain, diantaranya adalah mbah kyai rozi jabang, Mbah Haji Sa’id, Mbah H Nurhadi. Beberapa nama ini nampaknya disebut oleh Yai Imam dalam rangka untuk menyambungkan materi pembicaan kepada kami. Saat itu saya mendapatkan kesan Romo Yai Imam ingin ngobrol agak lama dengan kami, sebagai penghormatan kepada kami yang dari desa (ikram dhuyuf). Setelah agak lama pembicaaan baru Yai Imam Dawuh, “Mengke Asmawi niki kulo totone teng Lirboyo niki, kersane sregep ngaji, kersane rewang-rewang kulo, jodone pun mengke kulo padosne”
Dawuh ini adalah jawaban sosok Kyai Imam yang memang profil kyai yang perhatian kepada para santrinya, baik dari sisi lahiriyah maupun dari sisi bathiniyah. Setelah acara persowanan ini kemudian saya ditempatkan di kamar M-7, bersama dengan teman-teman mahasiswa yang sudah senior-senior. Tetapi yang saya heran, setelah sowan ke Kyai Imam, seolah-olah bathin sebagai santri begitu kuatnya. Ini terbukti sejak saat ini saya tidak mau melewatkan untuk selalu mengikuti semua kegiatan bersama Yai Imam Yahya Mahrus. Untuk kegiatan hariannya saya mulai dengan shalat berjamaah. Saat itu kita berkomitmen untuk selalu jamaah dishaf paling depan, kecuali ada udhur sedang kuliah atau sedang pengajian. Selama saya mengikuti jamaah bersama Romo Yai, yang menjadi catatan saya adalah Romo Yai Imam termasuk istiqamah dalam masalah jamaah dan istighasahnya. Yang menjadi catatan kebanggaan adalah jamaah bersama Romo Yai sebuah kebanggaan tersendiri, karena ketika Yai Imam berdoa supaya santrinya diberi futuh dalam menuntut ilmu, maka didekat beliau ada saya. Dan ini yang saya rasakan sendiri setelah beberapa dekade mengikuti jamaah bersama Romo Yai, saya semakin mudah hafalan “qawluhu” atau nadham-nadham wajib pelajaran madrasah diniyah. Pernah suatu saat ketika saya harus masuk madrasah MHM Lirboyo, waktu itu saya pamit mohon restu kepada Romo Yai Imam, dan didoakan supaya dapat futuh, dan diberi ijazah shalawat fatih, kemudian saya amalkan sesuai petunjuk beliau. Setelah itu berkat izin Allah dan doa Yai Imam saya dapat setoran Alfiyah ibn Malik sebanyak 1002 bait dalam hafalan satu bulan. Saat itu yang menguji saya masuk MHM adalah KH. Zainal Abidin, Prambon Nganjuk.
Sejak kejadian itu, sebagai santri semakin mantab dan yakin terhadap sosok Yai Imam Yahya Mahrus, bahkan komitmen ngaji semakin hari semakin menggebu-gebu, semangat untuk selalu bersama Yai Imam semakin besar, karena bertambah hari kebersamaan dengan Yai Imam frekwensinya semakin bertambah. Demikian juga semangat untuk ngaji, ngangsu kaweruh, kuliah bersama beliau pun juga semakin besar. Ini terjadi juga saat sebagai mahasiswa rasionalisasi terhadap sosok Romo Yai pun juga menambahkan data-data kebesaran beliau. Salah satunya yang ada di hati penulis Romo Yai adalah orang yang kegiatannya super sibuk, tetapi intensitas perhatiannya kepada santri begitu tinggi. Di antara kegiatan rutin (wadhifah) Yai Imam waktu itu adalah menjadi Rektor IAI Tribakti Kediri, menjadi pengurus NU baik di Cabang Kota Kediri atau Wilayah Jawa Timur, menjadi Penasehat Kodam V Brawijaya, aktivis di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), memenuhi undangan pengajian di berbagai kota, menjadi pengasuh di HM Putra al-Mahrusiyah dan Pesantren Induk Lirboyo, menerima tamu-tamu dari berbagai kalangan dengan tidak dibatasi latar belakang sosialnya dan sebagainya. Tetapi dengan menumpuknya jadwal kegiatan beliau selalu menjaga keistiqamahan berjamaah dan istighasah bersama santri. Bahkan walaupun kerawuhan jam berapa pun, kadang jam 02.00 dini hari, beliau kalau waktu istighatsah jam 03.00 tetap turun ke kamar-kamar santri untuk ngopyak-ngopyak terlaksananya shalat malam bersama santri.
Data lain di kampus, waktu itu jadwal kuliah yang diampu beliau adalah fiqih muamalah, untuk semester saya. Karena tiba waktunya kemudian saya menghadap beliau, bahwa kuliah sekarang waktu Yai mengajar di kelas kami, tetapi kelasnya habis. Kemudian beliau menghendaki kuliah di masjid, seadanya saja. Akhirnya kita masuk ke masjid dan beliau pun memulai perkuliahan dengan menuliskan sendiri materi-materi perkuliahan dengan sabar di papan tulis, sesuai dengan redaksi kitab yang beliau bawa. Tulisan Romo Kyai begitu baiknya, teratur, tertib, dengan menggunakan khat arab khas Pesantren, yang begitu baik. Berbeda dengan tulisan santrinya ini yang kadang tidak jelas menggunakan khat apa. Dari tulisanya Romo Yai nampak jelas kemampuan ilmu-ilmu pesantren klasiknya yang konsisten, yang patut dicontoh oleh santri-santrinya. Setelah selesai menulis satu papan tulis, beliau membacakannya baris demi baris materi di papan tulis, baik kaidah arabnya, terjemahannya atau makna kontekstualnya tentang fiqih muamalah. Hal ini menambah pemahaman kami tentang Yai Imam begitu alim baik referensi kitab salaf maupun referensi kitab-kitab kontemporer. Karena yang saya ingat penjelasan Yai Imam selain mengambil dari beberapa kitab salaf juga memberikan muqabalah dari pemikir-pemikir hukum islam modern.
Paparan sekelumit dari kemuliaan Yai Imam di atas adalah bentuk kesadaran diri penulis (futuh), setelah nyantri kepada Romo Yai Imam, karena telah melalui tahapan ikhtiyar al-ustadh secara mantab dan penuh totalitas, dalam bahasan ta’liim al-muta’alim, yang akhirnya membawa perubahan-perubahan dalam diri penulis, baik dari sisi pengalaman intelektual maupun pengalaman spiritual. Dari sisi intelektual akhirnya komitmen belajar menjadi tinggi, semangat tinggi, dijalani dengan penuh keikhlasan, walaupun sebenarnya secara potensi aqliyah tidak begitu mapan, tetapi hasilnya dapat kita rasakan sampai sekarang. Akhirnya penulis tidak hanya bisa ngaji secara langsung dengan Romo Yai dengan berbagai kitab kuning, juga secara jenjang madrasah belajar kita sampai kepada tingkatan tertinggi yakni program Doktor, dengan lancar, berkah doa dari Romo Yai Imam.
Dari aspek spiritual, Kyai Imam seolah menjadi mursyid bagi penulis, dengan mengajarkan wadhifah-wadhifah beribadah dan doa. Sungguh luar biasa dapat kita peroleh ijazah dari beliau dalam urusan spiritualitas. Hal ini memang dikawal betul oleh beliau dalam bentuk wadhifah yaumiyah. Di antaranya jama’ah dan awrad maktubah, tahlil dan yasin, awrad istighasah, beberapa shalat sunnah pada malam hari, berbagai macam hizib, doa-doa, ijazah tentang al-sab’u al-munjiyat dan sebagainya. Amaliyah-amaliyah ini menjadi terpatri dan menjadi tradisi juga wasilah dari pengawalan Romo Yai Imam. Sampai sekarang pun kita tetap mengamalkan, dan tentunya dengan selalu tawasul kepada beliau. Semoga kemanfaatan dan keberkahan ilmu baik dimensi ilmiyah maupun sifatnya ruhaniyah tetap istiqamah, sebagaimana Romo Yai Imam masih sugeng bersama-sama kita. Ilmunya masih hidup dan terus kita ajarkan, secara spiritual juga masih hidup dengan amaliyah kita sehari-hari, akhirnya penulis tetap menjadi santri beliau dunyan wa ukhran.
*Pengajar UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung, Alumni PP HM al-Mahrusiyah Lirboyo Kediri dan Khadim PP al-Kamal Blitar