Bulan ini adalah bulan Shafar, bagi santri dan muhibbin al-Kamal akan teringat, pada bulan ini lahir tokoh, inisiator, dan Pengasuh Pondok Pesantren al-Kamal Blitar dan Jakarta. Kyai Thohir, sapaan akrab di masyarakat Kunir, lahir pada 9 September 1927 atau 5 Shafar 1232 H. Latar sosial pendidikan dijalaninya dari orang tuanya Mbah Kyai Syarkun, seorang kyai kampung asal Bakung Udanawu Blitar. Menurut cerita, Mbah Syarkun adalah kyai yang mempunyai silsilah keturunan Solo, pada zaman penjajahan kemudian berkelana ke daerah timur, yang kemudian berdomisili di Blitar. Sejarah kehidupan Kyai Syarkun adalah seorang yang rajin tirakat puasa menahun, rajin silaturahim kepada ulama dan kyai. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Kyai Syarkun dahulu sering sowan berkunjung kepada Kyai Mustakim Pondok Pasulukan Tulungagung dan Kyai Fatah Mangunsari. Dari kecintaan kepada ulama dan kyai ditopang dengan riyadhah dia, menurut tafsir saya, akhirnya para putranya terutama yang laki-laki menjadi kader-kader pejuang Islam, menjadi kyai semuanya, diantaranya adalah KH. Thohir Wijaya, KH. Drs. Zen Suprapto, dan KH. Jauhari.
Untuk Kyai Thohir, sesuai dengan cita-cita Mbah Syarkun memang dikader untuk menjadi ulama, kyai. Maka pendidikan yang diterima dari ayahnya begitu keras. Ini dimulai ketika berusia empat tahun, sudah diajari shalat dan mengaji. Juga dalam pendidikan formalnya dijalaninya di Sekolah Dasar. Ia dikenal sebagai anak yang paling menyenangi pelajaran sejarah, gemar membaca buku cerita kepahlawanan. Tokoh yang dikaguminya dalam sejarah perjuangan adalah Teuku Umar. Setelah tamat SD dia menjalani pendidikan ke berbagai Pondok Pesantren. Di antaranya Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren Peterongan, Rejoso di bawah asuhan Kyai Romli, Pondok Pesantren Termas Pacitan dan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan Mbah Manaf atau KH. Abdul Karim. Menurut riwayat, spesialisasi pengajian yang kyai Thohir dalami adalah Tafsir Al-Quran, Hadis, Ilmu Dakwah dan Tarikh (sejarah perkembangan Islam).
Dari pengajian-pengajian selama di Pesantren, menghasilkan kemahiran Kyai Thohir, ketika sudah di rumah, berdakwah cukup menonjol sehingga sering dia berkeliling dari kampung satu ke kampung yang lain dalam rangka memenuhi undangan pengajian. Riyadhah yang dilakukan Kyai Thohir semasa pendidikannya, adalah beliau makannya tidak terlalu banyak, dan pernah sambil berjalan mengikuti aliran sungai berantas, hanya makan dengan ketela pohon. (Menurut Penuturan bu Nyai Astutik).
Kyai Thohir setelah dirasa cukup dalam pendidikannya kemudian menikah dengan putri KH. Ghazali Pondok Pesantren Bolu Karang Rejo Tulungagung. Tetapi perkawinanya yang pertama ini nampaknya tidak atut, akhirnya atas istikharah Mbah Syarkun bersama Kyai Mustaqim Pondok Peta dan Kyai Fattah Mangun Sari Tulungagung, Kyai Thohir dinikahkan dengan Putri Mbah Kyai Manshur, bernama Siti Munawarah, yang kebetulan juga berkerabat dengan keluarga Mangunsari. Dari perkawinan kedua ini mempunyai enam orang anak, lima perempuan dan satu laki-laki.
Ketika menjadi menantu Mbah Yai Manshur ini, Kyai Thohir akhirnya berkiprah mengembangkan dakwahnya. Di antara kiprah Kyai Thohir adalah mengadakan dan mengajar pengajian-pengajian di masjid yang didirikan oleh kyai Manshur, dari yang semula hanya bertempat di masjid akhirnya dapat membangun madrasah di samping rumahnya, yang menjadi cikal bakal lembaga-lembaga dan Pondok Pesantren al-Kamal, dari madrasah klasik ini berhasil mengumpulkan santri-santri kalong (pulang pergi) yang berasal dari desa Kunir dan sekitarnya.
Karena pemikirannya maju akhirnya Kyai Thohir juga melakukan modernisasi pendidikan di lembaga yang dia dirikan, yang waktu itu ada Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Ibtidaiyah. Akhirnya para penduduk desa Kunir dan sekitarnya tidak hanya mengenyam pengajaran madrasah diniyah saja, tetapi juga ada madrasah formalnya. Selain kegiatan dakwah pendidikan, kyai Thohir juga melakukan dakwah, dengan ceramah dari satu kampung ke kampung yang lain. Menurut penuturan para santrinya, Kyai Thohir orangnya tidak begitu besar, tetapi kalau ceramah suaranya menggelegar. Di sela-sela kegiatan dakwah dan mengajar dia juga berinteraksi sosial di masyarakat Kunir dan sekitarnya. Biasanya kalau pagi atau siang melakukan jalan-jalan keliling desa, menaiki sepeda onthel untuk menyapa masyarakat, bercengkerama, jagongan, dan silaturahim. Maka sampai sekarang pun para penduduk desa Kunir dan sekitarnya yang berumur sepuh, kalau bertemu selalu bercerita tentang sepak terjang Kyai Thohir. Mereka banyak yang bercerita bahwa perjuangan Kyai Thohir untuk kemajuan Kunir dan sekitarnya begitu besar, meliputi bidang dakwah, pendidikan, politik, pertanian, sampai kepada ikhtiyar listrik masuk desa adalah perjuangan beliau.
Dalam bidang Politik, pernah mewakili Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Blitar pada tahun 1946. Di sini ia mulai lebih mengenal organisasi, politik dan merasa perlu ikut kursus kilat manajemen di Yogyakarta tahun 1949. Sambil tetap giat berdakwah, juga menjadi pengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Setelah itu Kyai Thohir masuk Golongan Karya pada tahun 1969. Dalam sebuah cerita dikatakan bahwa Ia masuk politik ingin memperjuangkan Pendidikan Islam. Maka setelah di politik segera mendirikan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI) dan menjadi ketuanya yang pertama.
Perjuangan selanjutnya, Kyai Thohir terpilih sebagai Ketua Majelis Dakwah Islam (MDI), yang didirikan Golkar pada 1978. Pada masa itu tujuan pendirian MDI adalah berdakwah dalam bidang pembangunan bangsa, terutama membangun manusianya. Saat menjadi pejuang di Golkar ia sering berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia, untuk berdakwah atau memberikan penataran di tiap cabang MDI. Perjalanan selanjutnya Kyai Thohir menjadi anggota Dewan Pembina Golkar Pusat, menjadi salah satu Ketua Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang didirikan pada 1983.
Perjuangan KH Thohir Widjaya berakhir pada tahun 1999 karena sakit yang dialami, akhirnya dia menghadap Allah SWT dalam usia 72 tahun. Walaupun beliau sudah meninggal situs-situs perjuangannya yang berupa Lembaga Pendidikan al-Kamal baik di Blitar dan Jakarta sampai sekarang masih tetap kokoh, yang mengantarkan pahala jariyah kepada beliau, juga banyak pelajaran yang di ajarkan dalam filosofi hidup dari kyai Thohir, di antaranya adalah: Pertama, Penampilannya yang selalu modis dalam setiap keadaan. Untuk ukuran zamannya mungkin itu sebagai sesuatu yang kontroversial, dibalik perilaku para kyai yang kala itu masih sarungan, dia sudah memakai celana, jas dan berdasi.
Kedua, berpolitik sebagai sarana menegakkan ajaran Allah di muka bumi (li I’lai Kalimatillah). Dahulu ketika dia masuk Golkar banyak tokoh Islam yang mencibir dia, bahkan memojokkannya. Tetapi sekarang hasil jerih perjuangannya dapat dirasakan. Misalnya karena perjuangan lewat politik, lewat Golkar dengan mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila bersama-sama H Muhammad Soeharto membangun masjid Amal Bakti Muslim Pancasila seluruh Indonesia. Juga mengembangkan Lembaga Pendidikan dan Pondok Pesantren di al-Kamal bersama keluarga besar di Blitar. Juga mengembangkan Lembaga Pendidikan dan sosial yang berisi Lembaga Pendidikan dan Pondok Pesantren al-Kamal di Jakarta.
Ketiga, Perjuangan tanpa pamrih dan berdasar keikhlasan. Menurut putra putrinya, tidak pernah KH. Thohir Wijaya menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk kepentingan pribdadi dan keluarganya. Semua perjuangannya demi santrinya dan umat Islam keseluruhan. Ini terbukti ketika putra-putrinya mencari pekerjaan, semuanya dilakukan dengan kemandirian. Tetapi kalau orang lain membutuhkan rekomendasi akan diberikan sesuai dengan permintaan orang-orang yang menghadap kepadanya.
Keempat, Bersikap pemberani. Ini terbukti ketika beliau harus dakwah lewat Golongan Karya demi tranformasi ide-ide perjuangan Islam nya melalui politik. Walaupun para koleganya, keluarganya, tokoh-tokoh Islam yang lain berseberangan, dicaci maki, rumahnya dilempari kotoran hewan dan tantangan yang lain, beliau tetap teguh pada pendiriannya. Demi memperjuangkan Islam dan umatnya.
Kelima, Selalu Patuh kepada para Kyai Sepuh. Menurut cerita keluarga dalam rangka menerima nasehat para kyai sepuh, berkonsultasi, kyai Thohir selalu rajin sowan kepada kyai-kyai sepuh di Jawa Timur. Terutama kepada KH. Mahrus Ali Lirboyo kediri, KH. Badrus Sholeh Purwoasri Kediri, KH. Mustain Romli Rejoso Jombang, KH. Zubaidi Abd. Ghofur Mantenan Blitar, KH. Ahyat Kunir Blitar, KH Tarmidhi Takeran Magetan dan sebagainya. Artinya apa yang dilakukan oleh Kyai Thohir waktu itu, terutama dalam bidang politik juga berdasar restu para Kyai. Sampai kepada kepentingan pribadi yang berhubungan dengan menantu, beliau meminta istikharah dan restu dari KH. Mahrus Ali, karena kebetulan santri yang bernama Mahmud Hamzah, akan diambil menantu adalah juga santri yai Mahrus Lirboyo.
Akhirnya kisah politik Kyai Thohir sampai sekarang tetap harum baik oleh keluarga, santri-santrinya, masyarakatnya, dan orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya atau bahkan cukup mendengar sepak terjang nya saja, karena falsafah hidup perjuangannya yang begitu tinggi untuk umat, bangsa dan agama. Semoga kita semua dapat napak tilas, meneladani, menjadikannya uswatun hasanah, baik sebagai pendidik, pendakwah, politisi atau warga masyarakat, sehingga kemanfaatan, keberkahan hidup akan selalu terlimpah untuk kita semua santri-santrinya.
*Pengajar UIN Sayid Ali Rahmatullah Tulungagung, Pengurus NU Blitar dan Khadim PP al-Kamal Blitar