Pada tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan yang ke 76, tentunya ungkapan selamat sebagai harapan dan syukuran patut kita ucapkan sebagai apresiasi kepada para pejuang kemerdekaan yang terjadi pada tanggal 10 November 1945. Para pejuang yang saat itu diperkirakan menelan korban 6000 pahlawan kemerdekaan dari berbagai wilayah Surabaya dan sekitarnya itu mempunyai semangat perjuangan menjaga harkat dan martabat sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, pasca proklamasi kemerdekaan. Semangat nasionalisme ini sampai sekarang harus tetap dijaga sebagai bangsa yang merdeka, baik melalui perayaan Hari Pahlawan, lembaga pemerintahan, melalui lembaga pendidikan, melalui organisasi kemasyarakatan dan elemen bangsa yang lain. Dengan tetap menjaga semangat nasionalisme berarti kita juga ikut syukur dengan anugerah kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan.
Perlu diingat dan direnungkan kembali, semangat kepahlawanan para tokoh-tokoh pejuang dan para pasukan pembela negeri ini, mempertaruhkan nyawanya, jiwanya, hartanya, keluarganya, statusnya demi membela bangsa dan negaranya. Para syuhada’ pembela kemerdekaan pada tanggal 10 November itu, sudah tidak memperdulikan sesuatu yang lain selain mempertahankan kemerdekaan dan membebaskan bangsa ini dari penjajahan. Di antara pemimpin pejuang dalam sejarah kemerdekaan 10 November di antaranya adalah Bung Tomo, KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Hasbullah adalah pemimpin-pemimpin pejuang kemerdekaan yang akan tetap dikenang oleh bangsa Indonesia.
Selain semangat mempertahankan kemerdekaan, nilai kepahlawanan dalam diri mereka adalah keteladanan sebagai seorang pemimpin bangsa yang besar, mempunyai jiwa yang besar yang dipertaruhkan untuk bangsanya. Artinya jiwa keteladanan jiwa besar ini patut kita contoh bersama-sama, sebagai seorang pemimpin dari bangsa yang besar, mengalahkan sisi egoisme pribadi kita ketika berhadapan dengan kepentingan bangsa ini. Maka tidak heran pemimpin-pemimpin pejuang itu akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, yang menorehkan warisan-warisan yang tidak ternilai harganya, bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini mungkin sesuai dengan dawuh Rasulullah, “orang kaya itu bukanlah orang yang hartanya banyak tetapi mereka yang kaya hati”
ليس الغني عن كثرة العرض ولكن الغني غني النفس
Praktik Hadits ini telah diteladani oleh para pejuang-pejuang 10 November di atas, bahwasanya mereka-mereka adalah pemimpin-pemimpin besar dikarenakan mempunyai jiwa yang besar.
Nilai perjuangan lain adalah semangat pantang menyerah dalam memperjuangkan tanah air ini. Dalam buku-buku sejarah biasanya disebutkan bahwa jumlah lawan yakni tentara sekutu tidak kurang dari 15.000 orang, sedangkan para pejuang dari Surabaya dan sekitarnya tidak sebanding dengan itu, dengan peralatan yang sederhana, akhirnya para pejuang tanah air yang wafat tidak kurang dari 6000 orang. Tetapi dengan semangat pantang menyerah, konsolidasi niat yang baik, gelora semangat resolusi jihad oleh para kyai akhirnya para pejuang dapat mengalahkan mereka dan mempertahankan kemerdekaan dari serangan sekutu yang dibonceng oleh tantara NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Semangat pantang menyerah memperjuangkan tanah air ini patut diteladani bagi kita yang meneruskan mengisi kemerdekaan dengan tetap berjuang demi bangsa ini. Mengingat perjuangan mengisi kemerdekaan tidak akan pernah berhenti, tantangannya akan selalu ada, sesuai dengan bidang kehidupan kita masing-masing. Baik wilayah sosial politik, ekonomi, budaya, nasionalisme, pendidikan, pertahanan dan keamanan. Hal-hal ini semuanya akan terus dinamis, berjalan, berubah, berkembang menuju cita-cita bersama, yakni mensejahterakan warga negara Indonesia. Untuk itu dalam rangka mencapai cita-cita itu membutuhkan semangat pantang menyerah dengan segala resiko dan problematika bangsa yang semakin hari semakin kompleks seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihadapi dunia saat ini. Apalagi sekarang lagi musim pandemi, semangat kepahlawanan kita sekarang diuji, seberapa besar semangat kita untuk membela bangsa ini, sejauh itu pula level kepahlawanan kita.
Di balik kegigihan semangat perjuangan para pahlawan, di dalam dirinya mempunyai sikap kejujuran sebagai insan yang hatinya bersih. Artinya kejujuran sebagai warga bangsa Indonesia yang harus berjuang untuk bangsanya ini. Lebih sederhana sebagaimana diungkap oleh filosofi jawa kuno “mangan ra mangan sing penting kumpul” adalah sebuah nilai kejujuran dan kecintaan seseorang kepada bangsanya. Dan ini dimiliki oleh setiap warga bangsa manapun di dunia ini. Orang Indonesia pasti cinta sebagai warga negara Indonesia, orang Arab juga cinta kepada negaranya, orang Amerika juga cinta kepada negaranya. Semua orang sesuai dengan kejujuran hatinya pasti mempunyai sikap cinta kepada tanah air nya. Ini dikuatkan oleh dawuh berbahasa arab “hub al wathan min al-iman”, cinta tanah air bagian dari iman. Dawuh ini sebenarnya memberikan penjelasan bahwa seseorang saking cintanya kepada tanah airnya, layaknya keimanan kepada ajaran agama. Ini terbukti saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri, baik sebagai pekerja, sebagai pelajar atau melaksanakan tugas kenegaraan, mereka semuanya pasti mempunyai cita-cita untuk kembali ke pangkuan bumi pertiwi, tempat di mana mereka dilahirkan.
Nilai perjuangan lain yang patut kita teladani adalah semangat para pejuang kemerdekaan dalam melaksanakan kewajibanya sebagai rakyat Indonesia. Sebagai rakyat yang baik mereka melaksanakan kewajiban dengan membelanya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih. Nilai melaksanakan kewajiban tanpa pamrih, dalam bahasa islam adalah ikhlas, patut diteladani dalam konteks berbangsa dan bernegara saat ini. Karena dalam kehidupan kita sekarang sudah didominasi dengan budaya materialism, berpikir positifistik, maka segala sesuatu selalu diukur dengan rasionalisme, materi dan ukuran-ukuran konkrit lainnya. Sehingga legitimasi perbuatan yang paling ampuh dalam kehidupan sekarang adalah materi, harta, dan ukuran sejenis. Sehingga budaya bangsa yang telah kita warisi dari nenek moyang asli Indonesia ini sedikit demi sedikit tereduksi oleh budaya-budaya dari luar bangsa Indonesia. Untuk itu semangat tanpa pamrih patut digelorakan kembali, sebagai budaya genuine bangsa ini. Kita dapat mengambil contoh budaya kita dahulu misalnya gotong-royong, guyub rukun, anjangsana, musyawarah, patut kita praktikkan kembali dalam kehidupan sehari-hari, sebagai ungkapan syukur kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan kita ini.
Wa akhiran, mari kita memperingati hari pahlawan ini dengan tetap mengekspresikan rasa syukur kita kepada Allah Swt, dengan meneladani semangat juang para pahlawan yang membela tanah air tercinta. Yakni cinta tanah air, pantang menyerah, rela berkorban, mempunyai jiwa besar, dan berjuang tanpa pamrih. Dengan semangat kepahlawanan ini semoga dihari-hari yang akan datang bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang lebih maju, yang dapat mensejahterakan rakyatnya mencapai cita-cita bersama. Aamiin. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Pengajar UIN SATU Tulungagung dan Pengasuh PP al-Kamal Blitar