Ngaji dan Ngabdi 45: Review Pengajian Ihya’ Ulum al-Din

Masalah musik dan lagu tidak secara langsung dibahas oleh al-Ghazali, tetapi kajiannya masuk dalam bab al-sima’, sebuah kajian tentang hukum dan etika mendengarkan lagu-lagu. Dalam bab ini al-Ghazali membahas panjang lebar tentang status hukum mendengarkan lagu, etikanya dalam kacamata sejarah atau tradisi Islam awal, yang dikuatkan dengan dalil sunnah dan atsar sahabat juga pendapat-pendapat para ulama dalam berbagai latar belakang. Tulisan ini hanya sedikit dari potongan pengajian di PP al-Kamal Blitar, yang dilakukan ba’da Jumat kemarin, seperti biasanya kita ngaji Ihya’ Ulum al-Din karya monumental dari al-Ghazali, bersama para pengurus Pesantren dan santri-santri senior. Kajian masih seputar hukum dari mendengar lagu atau musik menurut al-Ghazali dalam maqnum opusnya itu. Pada pengajian hari itu tema kajiannya adalah beberapa keadaan yang diharamkan mendengarkan musik. Dalam suatu perspektif, al-Ghazali menghukumi mendengarkan music dapat dilihat dari lima faktor, yaitu: 1.  dilihat dari sisi penyanyi yang melagukan musik, 2. dilihat dari sisi alat musiknya, 3. dilihat dari sisi susunan lagu yang disuarakannya, 4. dilihat dari sisi pribadi pendengarnya, 5. dilihat dari sisi keawaman para pendengar lagu atau musik. Dari lima hal ini, unsur pokok dalam permainan musik adalah penyanyi, pendengar dan alat musiknya. Maka disini dapat dipaparkan lima hal di atas.
Faktor pertama, penyanyinya adalah seorang perempuan yang tidak diperbolehkan mendengarkan, dikarenakan adanya fitnah mendengarkan suara perempuan.

 العارض الاول ان يكون المسمع امراة لا يحل النظر اليها وتخشي الفتنه من سماعها

Pengarang kitab juga mempersamakan dengan perempuan adalah seorang remaja yang tampan yang juga ditakutkan adanya fitnah ketika melihat atau mendengarkan suaranya. Artinya ketidakbolehan itu tidak hanya dalam masalah mendengarkan suaranya saja, bahkan berhubungan dengan perempuan yang dapat menimbulkan fitnah, bisa dalam dialog bersamanya, atau mendengarkan bacaan al-Qur’anya. Demikian juga sama seorang pemuda tampan yang ditakutkan adanya fitnah. Nampaknya al-Ghazali memberikan penekanan kepada adanya syahwat (kesenangan) yang menimbulkan fitnah. Sehingga pengaruh yang diberikan oleh orang yang menyuarakan suara, bisa mengarahkan kepada suatu hal buruk bagi yang melihatnya atau yang mendengarkannya.
Faktor kedua, yang mempengaruhi status hukum mendengarkan music adalah berhubungan dengan alat yang dipakai dalam bermusik adalah peralatan yang biasa dipakai oleh para peminum dan orang-orang yang berdandan sebagaimana perempuan (mukhanitsin). Di antara alat itu di antaranya adalah seruling, kendang yang tengahnya kecil, gitar, gambang seruling. Alat-alat ini termasuk dari jenis yang memang dilarang dalam tradisi Islam. Dalam bahasa Arab al-Ghazali menjelaskan,

العارض الثانى فى الالة بأن تكون من شعار اهل الشرب او المخنثين وهى المزامر والاوتار وطبل الكوبة فهذه ثلاثة انواع ممنوعة

Dalam penjelasan ini nampaknya tidak hanya melarang dikarenakan sebagai sebuah alat, tetapi peralatan ini merupakan perabot yang digunakan oleh para peminum dan wanita setengah pria, dalam memamerkan perbuatan-perbuatan tercelanya. Akhlaq ini memang didasari dalam rangka menjaga seseorang untuk tidak terjerumus dalam masalah fitnah (hasman li bab al-fitnah). Kalau faktor pertama suara dikeluarkan oleh manusia secara langsung, dalam faktor yang kedua ini suara dikeluarkan oleh alat-alat yang digunakan oleh manusia-manusia yang biasa berbuat tidak baik. Karena dipergunakan oleh orang yang tidak baik, akhirnya dapat berpengaruh kepada perbuatan yang tidak baik pula. Akhirnya menggunakan alat-alat di atas tidak diperbolehkan oleh al-Ghazali.

العارض الثالث فى نظم الصوت وهو الشعر فان كان فيه شئ من الخنا والفخش والهجو اوما كذب على الله تعالى وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم او على الصحابة رضى الله عنهم

Faktor ketiga, adalah susunan lagu yakni al-Syi’r, yang di dalamnya mengandung muatan perbuatan yang tidak bermanfaat dan tercela atau lagu-lagu yang membuat kedustaan kepada Allah dan Rasulnya atau sahabat Rasulullah Saw. Dapat dipahami lagu-lagu, puisi yang berisi tentang kerusakan terhadap perbuatan atau akidah keimanan, maka hukumnya adalah haram, baik tersusun dalam sebuah lagu atau tidak. Dari faktor ketiga ini al-Ghazali melihat dari sisi konten lagu-lagu yang diperdengarkan. Kalau muatan lagu yang kita dengar bermuatan tidak baik, apalagi ada kedustaan, maka hukumnya juga tidak diperbolehkan.

  العارض الرابع فى المستمع وهو  ان تكون الشهوة غالبة عليه وكان فى غرة الشباب وكانت هذه الصفة اغلب عليه من غيرها

Faktor keempat, adalah berhubungan dengan orang yang mendengarkan (mustami’), syahwatnya sangat kuat, sedang dia dalam umur yang masih muda, maka sifat kesenangannya mengalahkannya dibanding sifat-sifat yang lain. Ini adalah sebuah prinsip bagi para pendengar lagu atau musik. Kalau dia tidak dapat mengendalikan dirinya, larut kepada sesuatu kesenangan yang tidak baik. Maka otomatis mendengarkan lagu baginya juga tidak diperbolehkan. Di sini al-Ghazali menyebutkan kelompok umur muda yang mempunyai keinginan kuat untuk bersenang-senang. Dalam masalah mendengarkan lagu bagi kelompok ini seolah mendapatkan keinginan dirinya, kesenangannya, maka tidak larut dalam kesenangan, tidak dikalahkan oleh syahwatnya, bagi anak muda menjadi hal penting bagi dirinya.

العارض الخامس ان يكون الشخص من عوام الخلق ولم يغلب عليه حب الله تعالى فيكون السماع له محبوبا ولا غلبت عليه شهوة فيكون فى حقه محظورا

Faktor kelima, adalah seorang pendengar masuk dalam kelompok orang awam, tidak lah cintanya kepada Allah Swt dikalahkan oleh kesenangan mendengarkan musik, maka mendengarkan baginya dianjurkan. Tetapi seandainya syahwat kesenangan mengalahkan dia, maka mendengarkan musik dilarang baginya. Faktor kelima ini menyebut kelompok orang awam sebagai kelompok manusia biasa yang belum mampu untuk mengatur hatinya dalam melaksanakan perbuatan yang di dalamnya dipenuhi oleh kesenangan (syahwat). Dan di sisi lain dia juga harus berpegang teguh kepada prinsip kecintaan dan ketaatan kepada Allah Swt (mahabbah). Bagi orang awam kecenderungan mengikuti syahwat kesenangan, mengalahkan dimensi ketaatanya kepada Allah Swt. Maka bagi al-Ghazali senyampang seseorang dapat memegang prinsip ketaatan kepada Allah dan tidak dikalahkan kesenangan syahwatnya, maka hukumnya boleh.
Dari paparan di atas ada beberapa catatan penting tentang lagu atau musik, diantaranya lagu atau musik dalam kacamata al-Ghazali ditempatkan sebagai media bagi seorang hamba untuk memperoleh kesenangan dirinya. Memperoleh kesenangan dalam ajaran islam adalah boleh, senyampang tidak melupakan kepada Allah Swt dzat yang memberi kesenangan. Kalau kesenangan atau gembira itu mengarah kepada perbuatan yang dilarang oleh syariat maka itu dilarang, tetapi kalau kesenangan itu dapat mengantarkan seseorang membuktikan kebesaran Allah Swt, mensyukuri semua nikmatnya maka hukum mendengarkan lagu atau musik pun juga mengikuti atau dibolehkan. Ini dibuktikan oleh tradisi Islam awal para muslim banyak mengekspresikan kecintaan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya dengan menyusun berbagai macam syair atau lagu, sebagaimana akrab kita mendengarkan peninggalan mereka dalam syair-syair para tabi’in, ulama salaf mengekspresikan kecintaan kepada Rasulullah Saw.
Catatan lain adalah mendengarkan lagu atau musik jika tidak dapat mengendalikan syahwat kesenangan, seseorang dapat terjerumus kepada perbuatan yang munkar, sebagaimana tradisi jahiliyah, ketika melakukan kebiasaan-kebiasan bersenang-senang disertai mabuk-mabukan, lupa diri, tidak memperhatikan adab dan akhlaq, maka hal inilah yang tidak diperbolehkan.
* Pengasuh pp al-Kamal Blitar, Pengajar UIN Satu Tulungagung

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *