Pada malam Jumat minggu kemarin, kita PP al-Kamal memperingati hari besar Islam Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw, dengan bingkai tema penguatan Ahlu Sunnah wa al-Jamaah (aswaja) bagi santri. Kebetulan pada bulan-bulan itu juga lagi bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama yang ke 99. Sekalian peringatan Isra’ Mi’rajnya diisi dengan halaqah penguatan aswaja bagi anak-anak santri, mengingat merekalah kader-kader penerus, perjuangan para ulama dalam syiar Islam Ahl Sunnah wa al-Jamaah, yang dari hari ke hari menemukan momentumnya dalam pengamalan Islam di Indonesia. Maka bagi lembaga pendidikan pesantren memang sudah seyogyanya mempersiapkan kader-kader penyiar Islam aswaja, agar religiuositas Islam di Indonesia tetap tentram, aman, nyaman. Salah satu hal penting sebagai media untuk doktrin aswaja adalah kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan untuk dikontekstualisasikan dan disinergikan dengan ajaran Aswaja. Dan hasilnya sekarang, sudah dapat dilihat bersama, pesantren adalah wadah pengamalan aswaja di Nusantara. Dari sisi kurikulumnya yang berbasis aswaja, aspek religiuositas sehari-harinya, uswatun hasanah dari figur kyai aswaja, lingkungan santri dari keluarga-keluarga muslim yang mengamalkan Islam aswaja. Prestasi pesantren ini, bukan suatu kebetulan tetapi memang jasa para kyai-kyai atau ulama penyiar Islam awal, yang memang mempunyai komitmen kuat kepada Islam Ahlu Sunnah wa al-Jamaah. Inilah yang perlu dijaga historisitasnya dalam sejarah Islam di Indonesia ini, yakni dengan selalu ada tranformasi pengamalan Islam Aswaja dari satu dekade kepada dekade selanjutnya, tidak pernah berhenti mulai dahulu sampai hari kiamat kelak.
Perjalanan Isra’ Mi’raj Jeng Nabi Muhammad Saw terjadi sekitar 16 abad yang lalu, tetapi ajarannya, hikmahnya, dan diskursusnya tetap akan mewarnai kajian-kajian keagamaan muslim di seluruh dunia, setiap bulan Rajab tiba. Kajian dari berbagai kalangan dalam rangka mengupload Isra’ Mi’raj tidak habis-habisnya. Mulai dari kajian tentang kepercayaannya, kajian ilmiyahnya, kajian tentang fakta-fakta empiris, sampai kajian sosiologis muslim dalam pengamalan ajaran Isra’ Mi’raj, menambah kebenaran ajaran tauhid yang dibawa oleh Jeng Nabi Muhammad Saw. Kajian tafsir biasanya mengambil surat al-Isra’ yang menjelaskan tentang kuasa Allah (kemahasucian) dalam memperjalankan hambanya dari Masjid al-Haram sampai Masjid al-Aqsha di Palestina, tempat yang diberkahi sebagai bukti kebesarannya. Dasar teologis ini memberikan justifikasi kebenaran, dengan adanya tasbih, kemahasucian Allah. Artinya perjalanan Isra’ Mi’raj pure kuasa Allah, bukti kebesarannya, yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, karena hukum kemutlakan kuasa Allah berlaku di dalamnya.
Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Shidiq, ketika menerima kabar tentang Isra’ Mi’raj Rasulillah Saw. Maka Dengan keyakinannya secara totalitas Abu Bakar menerimanya, tanpa menggunakan rasionalitas atau pembuktian apapun, karena memang faktor keimanan, kepercayaan inilah yang paling penting dalam menjalankan ajaran keagamaan, terutama sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan manusia. Memaksakan logika dalam ranah keagamaan yang berhubungan dengan supra-rasional hanya akan membuat manusia ragu-ragu, kebingungan, atau cekaknya pemahaman dibandingkan dengan kemuliaan ajaran agama itu. Maka faktor keyakinanlah yang dominan dalam orang beragama berhadapan dengan keimanan. Ini dapat dilihat juga dalam sejarah keagamaan kita dahulu, sebelum mengerti tentang teori-teori, aturan-aturan, konsep, praktik keagamaan kita lebih dahulu menggunakan keyakinan dibanding dengan kesadaran dan pemikiran yang kita miliki. Misalnya kita melakukan shalat sebagai ajaran pokok, kita melakukannya tanpa mengetahui tujuannya, falsafah hukumnya, yang penting melakukan shalat beribadah kepada Allah. Jadi dalam hal aqidah, faktor keyakinan adalah sesuatu yang paling urgen supaya kita mendapatkan kenikmatan dalam beragama.
Kenikmatan dalam beragama, biasanya didapatkan oleh seseorang tatkala dia merasakan adanya nilai kemanfaatan, ketentraman, ketenangan dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini tidak dapat hanya dengan instan dadakan saja, tetapi harus dengan keistiqamahan dan keajegan dalam menjalankannya. Sebagaimana para kaum sufi tatkala sudah merasakan kenikmatan bermunajat kepada Allah, akhirnya timbul mahabbah, kecintaannya, sampai akhirnya sebagian lupa dengan dirinya sendiri, larut dengan kecintaannya kepada Allah Swt. Dicontohkan oleh Rabiah al-Adawiyah, Ibn Arabi, al-Ghazali dan sebagainya dari kalangan sufi-sufi besar, telah mendapatkan kedudukannya di sisi Allah berkat keistiqamahan dalam menjalankan ajaran agamanya.
Dalam perspektif yang lain, Isra’ Mi’raj diperingati oleh masyarakat Muslim, terutama di Indonesia dengan rangkaian seremonial yang beragam. Ada yang formal sebagaimana di Istana Negara, ada yang ritual dengan doa bersama, majlis dhikir, shalawatan, sampai yang kultural dengan menampilkan potensi-potensi daerah muslim masing-masing, baik yang sifatnya individual maupun yang institusional. Semarak peringatan Isra’ Mi’raj menandai adanya penerimaan, kesadaran kolektif masyarakat muslim atas kebesaran Allah dalam Isra’ Mi’raj, dengan mengingat kembali akan menambah rasa keimanan dan kegamaan seorang muslim atas ajaran agamanya. Sehingga seorang muslim dari peringatan Isra’ Mi’raj mendapatkan hikmah yang besar, terutama dalam hal peningkatan kualitas keimanannya.
Juga sisi syiar agama Islam yang terus dikumandangkan, sebagai bentuk media dakwah ajaran umat Muhammad Saw. Diharapkan dengan syiarnya Isra’ Mi’raj dapat menarik perhatian manusia-manusia yang lain, lebih-lebih lagi dapat simpati mereka sehingga umat Muhammad akan mendapatkan apresiasi sebagai ajaran kebenaran universal di muka bumi, sebagaimana al-Qur’an menyatakan “wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamiin”, tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat seluruh Alam. Dengan syiar melalui Isra’ Mi’raj inilah agama islam kemudian dapat menebar rahmat kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini, dengan ajaran universalnya.
Sebagaimana kita tahu bahwa dalam ajaran Isra’ Mi’raj ada sisi hubungan vertikal dengan Allah Swt, juga ada sisi horizontal dengan semua hamba Allah. Hubungan vertikal tertuang dalam tasbih kita kepada Allah, yang diekpresikan dalam bentuk ajaran tauhid. Ajaran horisontalnya tercermin dalam kalimah ”barakna hawlahu”, keberkahan alam raya sebagai manifestasinya. Artinya dalam kehidupan di dunia ini senyampang diisi dengan keimanan kepada Allah Swt, selalu menebar ajaran ketauhidan, maka dalam realitas akan kita dapatkan keberkahan dalam kehidupan. Maka dalam bidang apapun bagian kita di dunia ini, baik bidang pendidikan, politik, pertanian, ekonomi, budaya, seni dan lain-lain, senyampang menebar ketauhidan, maka disitu akan diturunkan keberkahan oleh Allah Swt.
Inilah yang kita rasakan dalam keberagamaan di Nusantara, dengan mayoritas penduduknya yang muslim, pluralitas budayanya terjaga, menggambarkan adanya kehidupan yang penuh dengan keberkahan didapatkan oleh bangsa Indonesia ini. Keberkahan dimaksud adalah banyaknya potensi-potensi alam, kerukunan hidup, ketercukupan pangan, semua warga negara terlindungi, terciptanya pendidikan yang layak, menuju kesejahteraan sosial yang dicita-citakan bersama adalah bentuk keberkahan hidup di bumi Indonesia ini. Hal itu dapat dirasakan oleh semuanya dikarenakan bangsa ini adalah bangsa yang menebar ajaran ketauhidan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan mendasarkan kepada ketuhanan yang maha Esa. Juga keberkahan sebagai bangsa tidak didapatkan dengan mudah tetapi memang sudah dimulai sejak sebelum kemerdekaan, ketika Islam disyiarkan di Nusantara ini oleh para ulama.
Para ulama menyebarkan ajaran ketauhidan, keimanan yang sinergis, mengawalnya dalam pengamalannya, sehingga ajaran agama menjadi solidaritas sosial yang berwajah rahmah, santun, guyub, rukun yang dapat mengayomi semua etnis, semua keyakinan, semua suku dari berbagai wilayah Nusantara, mulai Sabang sampai Merauke yang begitu luasnya. Ini patut disyukuri bersama-sama, dengan selalu memperingati Isra’ Mi’raj berarti memperingati perjuangan para pendiri bangsa ini yang telah sukses mengawinkan antara sisi tauhidisme dengan keberkahan hidup sebagai sebuah bangsa yang makmur. Semoga kita sebagai pelanjutnya dapat meneruskan dan menjaga amanah bangsa yang merdeka ini, menuju bangsa yang beriman, bangsa yang barakah, dalam naungan ridla Allah Swt. Aamiin.
*Pengajar UIN Satu, Khadim PP al-Kamal Blitar dan alumni PP Lirboyo