Ngaji dan Ngabdi 55: Peran Intelektual Kyai (Serial Haul Kyai Mahmud Hamzah dan Nyai Astutik Hidayati)

العلماء انصار علوم الدين والاشاعرة انصار اصول الدين

(Ulama itu penolong ilmu-ilmu Agama, sedangkan kelompok Asy’ariyah adalah penolong akidah dalam beragama).
Fatwa dari Ibn Taymiyah, yang dikutip oleh Sayyid Alwi al-Maliki ini memberikan gambaran tentang peran ulama dalam mengajarkan ilmu agama Islam. Para ulama memiliki peran sebagai penjaga ilmu-ilmu Allah dan juga menjaga akidah Islam, dalam hal ini akidah yang mayoritas adalah penganut Madhab Imam Asyari, tokoh dari Ahlu Sunnah wa al-Jamaah. Tulisan ini ingin memaparkan jasa ulama dari Kendal Jawa Tengah yang kemudian menjadi kyai di Blitar Jawa Timur, Kyai Mahmud Hamzah bin Kyai Hamzah bin Kyai Syarif. Menurut penuturan beliau semasa hidup, Kyai Mahmud pernah nyantri kepada Kyai Hamzah Mursyid Thariqah di Cepiring Kendal (dan karena Kyai Mahmud di Blitar pengajaran thariqah diteruskan oleh Kyai Sanusi). Kemudian nyantri kepada Kyai Ali Ma’shum Krapyak Jawa Tengah, Kyai Mustain Romli di Rejoso Jombang, kepada Kyai Muhajir di Bendo Pare, Kyai Mahrus Ali Lirboyo Kediri dan Kyai Thohir Wijaya Blitar. Dari sisi sanad keilmuannya itulah membentuk kyai Mahmud Hamzah, yang menurut penuturan santrinya Alim dalam bidang agama Islam dan pengamalannya (Religiusitas).  Pengertian kealiman Yai Mahmud terukur dengan beberapa jasa-jasa beliau dalam pengajaran Agama Islam di Pondok Pesantren al-Kamal, masyarakat Blitar dan sekitarnya.
Kyai Mahmud saat Khidmah di PP al-Kamal Blitar melakukan pembaruan, meletakkan dasar-dasar pengajaran Bahasa Arab bagi santri. Beliau pernah dawuh kepada saya ”praktik pemberlakuan Bahasa Arab di al-Kamal sebagai ikhtiyar (usaha) untuk membantu santri untuk pendalaman kitab kuning”. Artinya pada saat abad 20, disuarakan pembaruan Islam, salah satunya dari Blitar yang diinisiasi oleh Kyai Thohir Wijaya dan Kyai Mahmud Hamzah, dengan memberikan pengalaman bahasa asing kepada para santri, melakukan bekal kepada santri yang visioner dalam menyongsong era kebangkitan umat Islam dengan menyiapkan dirinya dalam era dinamika masyarakat muslim dunia. Pengajaran Bahasa Arab di Pesantren ini tidak hanya diajar oleh para asatidh, tetapi Kyai Mahmud langsung mengajarkannya sendiri tiap hari, pagi, sore dan malam, dalam membuat bi’ah bahasa di lingkungan Pondok Pesantren al-Kamal. Akhirnya sampai sekarang bahasa komunikasi yang digunakan di Pesantren adalah Bahasa Arab, walaupun kurikulum madarasah diniyahnya, sama dengan pondok salaf pada umumnya, dengan sistem sorogan dan bandongan memakai makna Jawa. Saya sendiri menyaksikan sendiri bagaimana Kyai Mahmud tiap hari nunggui santri muthala’ah kitab- kuning, semua santri terbiasa membawa kitab Fathul Qarib, Al-fiyah Ibn Aqil dan kamus bahasa Arab. Dengan metode semacam ini, saya pernah badali beliau, untuk santri tingkatan SLTA, satu kelas saya uji (test case) untuk membaca kitabnya secara kosongan tanpa makna, rata-rata bisa membacanya, menjelaskan kandungan. Ini artinya para santri dapat mempraktikkan bahasa Arab baik aktif maupun pasif, disertai dengan pemahaman kitab kuning. Dasar-dasar ngaji bahasa Arab dan kitab kuning di Pesantren al-Kamal telah berhasil, berkat ketelatenan Kyai Mahmud membimbing pengajaran bahasa Arab dan kitab kuning. Akhirnya apa yang sudah dilakukan Kyai Mahmud itu kita lembagakan menjadi Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA). Dalam lembaga ini santri diajar menjadi orang yang mampu bahasa Arab dan Inggris dari sisi dialognya, gramatikanya. Dari ini santri al-Kamal menjadi santri yang siap menjadi santri yang kompetitif dalam kehidupannya yang akan datang, baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, hubungan International dan sebagainya. Berbekal keilmuan bahasa dan kitab kuning sebagai simbol kedalaman dalam hal ilmu agama Islam.
 Membahas Kyai Mahmud dalam hal mengajar kitab kuning sudah tidak diragukan lagi, karena kitab kuning seolah menjadi thariqah dia sehari-hari. Dalam kehidupannya sehari-hari, Kyai Mahmud selalu menyempatkan diri untuk membaca kitab-kitab kuning yang menjadi referensi kehidupannya. Sepengetahuan saya yang pernah satu rumah, beliau kegiatannya pagi ngaji dengan kitab kuning, setelah itu bekerja sebagai hakim di pengadilan Agama yang dalam memutus perkara selalu memakai referensi kitab kuning, sore ngaji lagi kitab kuning, setelah maghrib ngajar Ibn Aqil syarah Alfiyah bersama para pengurus, setelah Isya’ ngaji lagi di madrasah diniyah, setelah itu sambil kumpul bersama Bu Nyai Astutik juga disertai membaca kitab kuning, agak malam beliau mengkonsep putusan perkara di pengadilan dengan kitab kuning, tengah malam dilanjutkan belajar dan seterusnya. Hanya pada waktu malam Jumat kelihatannya beliau berkurang muthalaahnya, karena mempunyai wadhifah shalat malam yang lebih panjang dibanding hari-hari biasanya.
Yang menjadikan kita salut adalah perbendaraan kitab kuningnya itu dari berbagai disiplin ilmu, berbagai madhhab. Misalnya dalam hal kepemilikan kamus, maka lengkap koleksi kamusnya, cermin dari orang yang alim dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman yang berbasis dari bahasa Arab. Juga dalam banyak kitab kuning yang beliau miliki rata-rata dia melakukan ta’liqat, catatan-catatan pada kitab yang dia baca.
Dari kealimannya dalam hal kitab kuning, masyarakat desa kemudian meminta untuk dibacakan kitab kuning yang memang cocok untuk orang awam. Akhirnya pada tahun 1980-an diadakan pengajian kitab kuning untuk masyarakat yang sudah berganti-ganti kitabnya. Terakhir yang saya teruskan adalah kitab Tafsir Jalalayn dan Bidayah al-Hidayah. Majlis pengajian ini sampai sekarang masih bertahan, meskipun agak terganggu dalam masa pandemi ini, semoga kalau memang pandemi sudah mereda, kita gerakkan lagi warisan intelektual Kyai Mahmud itu. Aktifitas yang berhubungan dengan kitab kuning lagi, beliau juga diminta membacakan kitab kuning di Masjid Agung Kota Blitar, seminggu sekali, ba’da Maghrib. Waktu itu yang beliau baca adalah kitab Bidayat al-Hidayah. Kegiatan terakhir ini juga menandai kealiman Kyai Mahmud diakui oleh kolega sesama pejuang Islam di Kabupaten Blitar dan sekitarnya.
Kiprah Kyai Mahmud lagi adalah dia mendirikan Madrasah Aliyah al-Kamal yang kemudian menjadi MAN 3 Blitar. Pada tahun 1980-an, beliau menginisiasi Madrasah Aliyah al-Kamal dan menjadi kepala madrasahnya yang pertama kali. Semasa madrasah aliyah masih swasta dan dipimpin Kyai Mahmud, madrasah ini sudah maju pada masanya. Tanda-tanda kemajuannya adalah para siswa mayoritas adalah santri yang secara kualitatif mapan dalam bahasa Arab dan kitab kuning. Madrasah ini walaupun posisinya di desa, tetapi dapat menarik siswa dari berbagai daerah atau luar provinsi, baik Tulungagung, Kediri, Blitar, Malang, Jawa Tengah atau luar Jawa. Madrasah ini dapat secara mandiri menyelenggarakan madrasah keagamaan program khusus, madrasah ini sudah mempunyai tradisi perkemahan santri ke luar kota, madrasah ini sudah mempunyai group marching band yang menjadi keunggulan sekolahan masa itu. Dari beberapa program unggulan itu, akhirnya madrasah ini juga menjadi madrasah unggul di wilayah Blitar raya.
 Kyai Mahmud adalah Hakim di Pengadilan Agama. Sebagai seorang hakim beliau akhirnya menjadi orang yang alim dari sisi ilmu yang tertuang dalam kopsepsi teoritis, juga problematika hukum yang ada dalam dunia empiris. Sehingga pengabdian dia di pengadilan ini dapat menambah kualifikasi dia menjadi orang yang alim dalam bidangnya. Dalam diskusi dengan teman-temannya, koleganya di pengadilan, menceritakan bahwa ijtihad hukum yang dilakukan oleh Kyai Mahmud sering dijadikan oleh teman-temannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Pengadilan. Kita teringat dengan beberapa ilmuwan muslim, fuqaha’ yang juga sebagai praktisi. Misalnya Abu Yusuf dari Madhhab Hanafi yang pernah menjadi qadhi, al-Mawardi juga seorang pejabat, al-Ghazali juga seorang dekan perguruan tinggi. Dari pengalamanya itu akhirnya mereka dapat menghasilkan karya berupa kitab-kitab kuning yang dapat dikonsumsi sampai sekarang. Misalnya fiqh Akbar, Ahkam al-Sulthaniyah, Ihya Ulumudin dalan sebagainya, adalah khazanah intelektual dari para ilmuwan, juga praktisi.
Beda dengan para pemikir muslim besar itu, tetapi Kyai Mahmud juga mempunyai karya yang sampai sekarang masih bermanfaat, yaitu para santri, alumni pesantren dan madrasah yang masih mengajarkan ilmu-ilmu Kyai Mahmud, lembaga bahasa Arab yang masih istiqamah sampai sekarang, Majlis Tafsir Jalalayn yang santrinya masih setia untuk mengikutinya, bahkan sekarang santrinya ada sekitar 120-an dari berbagai elemen masyarakat.  Selain itu juga warisan intelektual dan kepesantrenan Kyai Mahmud adalah mengawali adanya pengajian untuk alumni Ahad Wage bersama Kyai Zen Masrur. Pada tahun 2002, atas permintaan para alumni al-Kamal. Dahulu para alumni menyusun acara dengan tahlil dan tawasul untuk keluarga dan alumni yang sudah meninggal dipimpin oleh Kyai Zen Masrur, kemudian diteruskan Kyai Mahmud membacakan kitab Qami’ al-Thughyan, dan setelah itu diakhiri dengan halaqah, para alumni dari berbagai daerah. Untuk sekarang kita lanjutkan dengan kitab kifayat al-Atqiya’.
Mengajar di Pesantren, menjadi Hakim di Pengadilan Agama, menjadi praktisi Pendidikan, mengajar kitab di masyarakat, sedikit hikayat Kyai Mahmud ini kita bisa berharap nanti dapat berkumpul dengan para sesepuh pondok Pesantren al-Kamal Kyai Manshur, Kyai Thohir Wijaya, Kyai Mahmud Hamzah, Kyai Zen Masrur dan para alumni, kelurga semuanya dalam sebuah keluarga besar yang mendapat pangkat dan derajat tinggi dari Allah Swt. Dan bagi para santri-santrinya, dhurriyahnya yang masih ada didoakan semoga dapat diberi keistiqamahan dalam melanjutkan cerita kesejarahan keluarga, lembaga, dan khidmah li I’lai kalimatillah hiya al-ulya. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
*Alumni PP Lirboyo, Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Dan Khadim PP al-Kamal Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *