Ngaji dan Ngabdi 94: Kenangan Bersama al-Ghazali

Dalam tradisi Islam, studi tentang pemikiran al-Ghazali, sudah menjadi sebuah keniscayaan, mengingat khazanah keilmuan Islam yang ditinggalkannya begitu pasaran di dunia muslim, baik pada tataran teoritis atau praktis Muslim. Pertama kali mengenal al-Ghazali, penulis ngaji Bidayat al-Hidayah kepada KH Shadaqah Zarkasyi sekitar tahun 1992 di Pondok Pesantren Al-Huda Kota Kediri. Pengajian tentang al-Ghazali saat mondok di Pesantren Lirboyo sekitar tahun 1995, yang saat itu dibacakan oleh KH. Anim Falahudin Mahrus. Mengaji lagi kepada guru di Lirboyo kitab ya Ayyuha al-Walad tahun 1995. Pada saat yang sama mengaji kitab Ihya’ Ulum al-Din selama dua tahun bersma KH. Ahmad Idris Marzuki. Hanya saja tulisan ini baru cuplikan dari pemikiran al-Ghazali dalam kitab Bidayat al-Hidayah.
Saat itu kesan yang kita catat tentang al-Ghazali adalah tentang perpaduan antara fiqih dan tasawuf. Dalam kitab Bidayat Al-Hidayah itu al-Ghazali memaparkan bab-bab fiqih dirangkai dengan ajaran tasawuf. Dalam kitab ini al-Ghazali membagi kajian dengan dua bagian, yaitu bagian tentang ketaatan yang berisi tentang tatacara bangun tidur, adab masuk kamar mandi, berwudhu, mandi, tayamum, berangkat ke masjid, masuk masjid, mengisi waktu pagi sampai siang hari, persiapan melaksanakan shalat, tata cara tidur, tata cara shalat, menjadi imam dan makmum, shalat jumat, tata cara berpuasa.
 Dilihat dari isinya bagian ke satu ini nampaknya al-Ghazali menjelaskan tentang tata cara ibadah lahir dalam Islam, tetapi juga didekati dengan pendekatan tasawuf atau akhlaq. Karena setiap menyebutkan bab selalu didahului dengan istilah adab. Maknanya pelaksanaan ketaatan ini tidak hanya berdimensi fiqih tetapi juga dimensi akhlaq. Dari satu bagian sekilas ini sudah kelihatan bahwa karakteristik fiqih al-Ghazali dalam kitab bidayat al-Hidayah adalah fiqih sufistik.
Ini ditambah lagi dengan Kajian dalam bagian kedua yang berisi tentang menjauhi maksiat. Dalam bagian ini dipaparkan tentang menjaga mata, telinga, lisan, perut, farji, dua tangan, menjaga kedua kaki, beberapa maksiat hati, bab tentang ujub, sombong, pongah, penjelasan tentang akhlaq dalam bergaul, bersahabat bersama Allah dan bersama makhluq yakni adab bersama anak, orang tua, syarat-syarat bersahabat dan berteman.  Kebalikan dari bagian  pertama tentang ibadah lahir, dalam bagian kedua ini al-Ghazali membahas tentang perilaku batin yang harus dijauhi, baik dilakukan oleh anggota badan kita atau hati kita, dapat menyebabkan seseorang hamba berbuat dosa, baik kepada Allah atau kepada sesama makhluk.
Kitab al-Ghazali ini memberikan gambaran dari model pemikiran al-Ghazali yang mendialekkan sisi legal formal fiqih juga sisi misticisme dari tasawuf. Model pemikiran semacam ini tidak lepas dari beberapa alasan. Di antaranya al-Ghazali hidup pada masa abad 12 masehi. Di mana dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari sisi politik, ilmu pengetahuan dan kualitas pemahaman keagamaannya. Masa ini yang menjadi orientasi umat adalah materi dan kekuasaan. Maka tidak heran kemudian al-Ghazali membuat terobosan antisipatif supaya umat Islam tidak kebablasan dalam mengabaikan ajaran agamanya. Maka yang diserukan adalah ajaran akhlaq dan tasawuf suapaya umat Islam Kembali kepada esensi ajaran agamanya.
Pembelaan yang dilakukan al-Ghazali tidak lepas dari kondisi antitesa antara kelompok fiqih oriented dengan kelompok tasawuf. Yang kadangkala berlawanan dalam hal pemahaman keagamaan. Islam dalam perspektif fiqih terlihat rigid, hitam putih. Sedangkan islam dari sisi mysticism terkesan irasional, karena pendekatan yang digunakan adalah dhauqiyah, hati. Maka dengan model fiqih sufistik al-Ghazali itu diharapkan dapat mensinergikan dua kutub pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Akhirnya Islam dipahami dari kacamata fiqih dan tasawuf secara bersamaan.  Misalkan dalam bab ibadah-ibadah yang dijelaskan al-Ghazali tidak hanya berhubungan dengan aturan, normatif dalam menjalankan sebuah ibadah, tetapi juga dibarengi sisi akhlaq, tasawuf. Seperti dalam bab wudhu seseorang tidak cukup hanya dengan menjalankan syarat dan rukun wudhu, tetapi juga dirangkai dengan berbagai doa-doa dalam setiap amaliyah rukun whudhu itu. Juga adab hamba dalam beribadah yang lain, seperti puasa, mandi, shalat, dan sebagainya.
    Selain itu apa yang dihasilkan oleh al-Ghazali itu seiring dengan dinamika pengalaman hidup yang ia jalani. Sudah dimaklumi bahwa sebelium masuk dunia tasawuf al-Ghazali lebih dulu mendalami dunia filsafat. Artinya dunia tasawuf yang ditekuni oleh al-Ghazali didahului dengan olah fikir yang lama, berdialektika dengan para filosof di zamanya. Misalnya dia pernah menulis Tahafut al-Falasifah. Sebuah kitab filsafat yang menentang pemikiran-pemikiran filosofis, pada saat al-Ghazali hidup. Ini juga terlihat dalam muqadimah Ihya’-nya, dia berkata ”Barangsiapa belajar ilmu kalam atau filsafat Islam, maka dia akan menjadi zindiq, menyelweng dari agama Islam.”
Artinya lagi anti tesa al-Ghazali terhadap pemikiran filosofis dikarenakan masa kemunduran umat Islam saat itu. Ketika umat Islam sudah tidak berkomitmen dalam dunia ilmu pengetahuan, akhirnya kondisinya lebih mementingkan harta dan kuasa. Maka diskusi filsafat akan membahayakan bagi keyakinan seorang muslim, tatkala pemahaman dia tentang Islam tidak baik. Maka pendapat al-Ghazali Ketika antitesa terhadap filsafat itu sebagai respon terhadap problematika sosial umat Islam saat itu, supaya keyakinannya tetap terselamatkan.
  Pemikiran fiqih sufistik al-Ghazali tidak hanya dituangkan dalam kitab Bidayat al-Hidayah, tetapi juga kitab Ya Ayyuhal Walad, tentang pendidikan anak supaya mempunyai kekuatan lahir dan batin.  Malah kalau di dalam kitab Ihya’ sekilas dapat ditangkap sebuah kesan bahwa al-Ghazali bertujuan membangkitkan Kembali kajian Ilmu-ilmu keIslaman, dengan cara memahami Islam dengan berbagai sudut pandang. Kalau di baca dalam ihya’ al-Ghazali menjelaskan dasar-dasar normatif islam dari sisi nas, al-Qur’an dan Hadits, Atsar Sahabat, Sejarah, paparan sosiologis, kajian filsafat, misticisme, paparan komparatif para pelaku ilmu-ilmu Islam. Maka dalam kajiannya pembaca akan disuguhi sebuah kajian yang nikmat dalam Ihya’ Ulum al-Din. Seseorang yang mengakaji Ihya’ akan mendapatkan paparan ajaran islam yang komprehensiif, integratif. Menurut penulis,  Ihya’ inilah sebenarnya standar pemahaman keislaman seorang Muslim, jikalau dia berkehendak mebangkitkan Islam, menuju kejayaannya kembali.
Mengaji tentang al-Ghazali, seseorang akan merasakan nikmatnya beragama, karena Agama dipahami dengan komprehensif. Jika dipetakan, kajian pemikiran al-Ghazali mengajarkan kepada beberapa pendekatan dalam memahami ajaran Islam, yaitu pendekatan normatif teks wahyu, baik dari al-Qur’an, atau Sunnah Nabi. Memang dari sinilah sumber kebenaran dalam ajaran Islam. Orang mengkaji ajaran agama tidak bisa dilepaskan dari wahyu, baik yang berhubungan dengan aspek ubudiyah ataupun dari aspek muamalah, interaksi sscial hamba dengan sesamanya, pedoman asasi yang pertama adalah wahyu. Pendekatan kedua adalah rasional atau akal. Sebagai perangkat dalam memahami ajaran agama, yang tentunya aturan-aturan logika yang telah disistematisir oleh para teoritisi sebagai ukuran dalam rangka menguatkan penjelasan nas atau wahyu. Pendekatan ketiga adalah dhauqiyah, intuitif. Yakni memahami ajaran agama dengan hati seorang hamba. Maka agar pendekatan hati yang digunakan seorang hamba mendapatkan pemahaman yang otoritatif, hatinya harus bersih, maka dalam dunia tasawuf dikenal dengan tazkiyat al-nufus, membersihkan hati dahulu sebelum memahami ajaran agama. Pendektan keempat adalah empirisme. Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya banyak menampilkan sunnah atau atsar sahabat dalam mengamalkan ajaran islam. Maka ini adalah kondisi empiris pengamalan ajaran islam, mulai zaman Nabi sampai masa al-Ghazali hidup.
Dengan model pemahaman ajaran agama, sebagaimana yang telah diajarkan al-Ghazali, nampaknya menemukan momentumnya, baik pada masa dia hidup atau samapai sekarang. Ini terbukti karya-karya al-Ghazali tetap relevan untuk dikaji, atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim dimana dia hidup, baik kondisi muslim Nusantara, Afrika, Eropa, Amerika, Australia. Bahkan di Indonesia nampaknya pengamalan ajaran Islamnya identik dengan konsepsi-konsepsi al-Ghazali. Misalnya dalam dunia Pendidikan sejak sebelum kemerdekaan selalu menitik beratkan dengan pendidikan karakter seorang muslim. Pendidikan karakter dapat terlaksana kalau dalam mengajarkan ilmu selalu menggunakan aspek intelektual-rasional, spiritual-emosional, konsisitensi tradisi-empiris dan ketaatan terhadap wahyu. Itu semua keheren dengan apa yang telah dikonsepsikan oleh al-Ghazali dalam empat pendektan di atas. Wa Allahu A’lamu bi al-shawab.
Oleh Asmawi Mahfudz (UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Khadim PP al-Kamal Blitar)

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *