Fiqih Peradaban: Dasar Pemikiran, Teks, Tokoh dan Realitas Muslim (Edisi Ngaji dan Ngabdi 119 Dalam Bedah Buku Ma’had Ali Al-Kamal)

. الحياة تتغير، وعلينا أن نتكيف مع التغييرات.

Kata-kata Arab ini artinya, “hidup selalu berubah, dan kita harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu”. Kali ini tema kajian adalah fiqih peradaban sebagai kontruksi peradaban muslim Indonesia. Telah diketahui bersama bahwa muslim Indonesia dibentuk oleh bangunan hukum Islam yang mewarnai kehidupan muslim dalam mengamalkan ajaran agamanya.  Di antaranya adalah dalam hal sistem kemadhaban hukum Islam, sudah jamak dimaklumi bersama bahwa muslim Indonesia mengikuti madhab Syafii dalam praktiknya. Ini bisa dilihat dari beberapa pengamalan fiqih dalam bidang ibadah di antaranya cara berwudhu atau thaharah, tatacara shalat lima waktu, pelaksanaan zakat fitrahnya yang banyak menggunakan madhab Syafii, cara mengamalkan puasa ramadhan, bagi perempuan yang banyak mengikuti pendapat dalam ruang lingkup madhab Syafii dalam haidh, nifas,  dan masih banyak lagi praktik-praktik lainnya. Akhirnya dari kebutuhan praktik bermadhab Syafiiyah inilah kemudian dalam hal pengambilan sumber-sumber referensi pendapat fiqih akhirnya kitab-kitabnya pun banyak menggunakan karya-karya dari ulama-ulama Syafiiyah. Misalnya al-Risalah karya Syafii, al-Umm, al-Muahhadhab karya al-Syirazi, Majmu Syarah Muhadhab karya Imam Nawawi, Taqrib Ghayat Ikhtishar karya Abu Syuja’, Fath al-Qarib karya Ibn Qasyim al-Ghazi, Fath Mu’in karya Zainudin al-Malibari, Fath al-Wahab, Iqna’, Kifayat al-Akhyar karya Abu Bakar al-Husaini, al-Wajiz, Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali dan sebagainya.  Kitab-kitab Madhab Syafii inilah yang akhirnya mewarnai kurikulum-kurikulum fiqih di pesantren atau di perguruan tinggi keagamaan di Indonesia.
Akhirnya dalam menyelesaikan problem keumatan pun referensi utamanya adalah karya-karya Syafiiyah itu. Di Indonesia dikenal dengan istilah fatwa. Yaitu produk hukum yang dilakukan oleh seorang mufti, baik individual atau kelompok. Disebut individu adalah orang-perorang dalam memberikan jawaban hukum kepada mayarakat, sedangkan kelompok adalah organisasi keagamaan yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan hukum masyarakat. Di antaranya Lembaga Bahtsu Masail Nahdlatul Ulama(LBM NU), Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia, ada lagi organisai Persis, LDII dan lain-lain, yang mereka biasanya mengadakan rutinitas secara berkala untuk membahas masalah-masalah hukum kekinian atau dikenal dengan istilah fiqih kontemporer (fiqh al-haditsah).
Kalau kita membahas lembaga fiqih di organisasi kegamaaan ini mereka secara mayoritas juga masih mengikuti madhab tertentu atau dalam bahasa lain adalah bermadhab, hanya saja dalam kacamata pemikiran hukum Islam, dalam diskusinya akhirnya muncul istilah bermadhab qawli dan manhaji. Bermadhab qawli adalah mengikuti produk hukumnya, bermadhab manhaji mengikuti metode berfikir suatu madhab. Makanya mereka secara sistem berpikirnya tetap menggunkan tradisi penyelesaian hukum Islam ala madhab Syafii, walaupun dalam  produk fiqihnya nya menghasilkan pendapat yang berbeda.
Dan lagi dengan tata cara penyelesaian hukum Islamnya didapati bahwa mereka menyelesaikan hukum Islam dikarenakan adanya problematika hukum Islam di tengah masyarakat, kemudian dicari jawabanya dalam nas atau kitab-kitab fiqih. Model kajian seperti ini dalam dunia akademik dikenal dengan pendekatan istiqra’I, induktif. Yakni menemukan fakta-fakta hukum dalam berbagai kasus di Masyarakat yang kemudian disimpulkan menjadi pernyataan yang umum. Akhirnya hukum Islam atau fiqih dapat dipahami tidak hanya dari nash al-Qur’an dan Hadits tetapi di dapat dari bawah, dalam berbagai kasus  yang terjadi. Maka dalam hal ini sebenarnya di Indonesia berkembang cara penyelesaian hukum secara positifistik-deduktif yang dari atas ke bawah juga dari bawah ke atas yang kita kenal dengan empiris-induktif.
Pada abad 19-an seiring dengan tuntutan berlakunya hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dialektika hukum Islam dengan realitas muslim di Indonesia, tidak hanya berhenti dalam ranah tradisi akademik saja, tetapi bagaimana kepatuhan Masyarakat Indonesia terhadap fiqih dapat di paksakan-diformalkan. Akhirnya berkembanglah pemikiran tentang positifikasi hukum Islam, yaitu fiqih yang tertuang dalam kitab kuning dan berbagai fatwa ulama, dapat dimasukkan ke dalam aturan hukum di Indonesia. Dari sinilah akhirnya berkembang istilah fiqih ke-Indonesiaan, yang akhirnya menghasilkan Undang-Undang No 1 tahun 1974 yang mengatur tatacara perdata masyarakat Indonesia juga Kompilasi Hukum Islam Indonesia (KHI) melalui Keputusan Presiden. Dalam hal ini jasa para ulama yang mempunyai perhatian terhadap keberlangsungan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Diantara tokoh kala itu KH. Ibrahim Husein, KH. Sahal Mahfud, KH. Ali Yafie, KH. Abdurahman Wahid, KH. Ahmad Shidiq, KH. Thohir Wijaya, KH. Hasan Basri, Prof. Qurays Shihab, KH. Imran Hamzah, Hasbi Ashidiqie, Huzairin, Syechul Hadi Permono, Satria Efendi dan lain-lain. mereka para ulama mencoba menggabungkan antara aspek pemikiran hukum Islam yang tertuang dalam kitab kuning kemudian dirumuskan dalam aturan hukum positif yang kemudian disebut dengan kompilasi Hukum Islam. Dalam tradisi pemikiran Hukum Islam disebut Qanun, aturan hukum positif yang telah ditetapkan berlaku bagi masyarakat pada wilayah tertentu. Semenjak adanya Qanun di Indonesia ini akhirnya keputusan hakim di pengadilan juga harus merujuk kepada KHI ini, yang kemudian hasil keputusan hakim Pengadilan Agama di Indonesia menjadi rujukan atau yurisprudensi bagi hakim-hakim agama yang lain.
Pemikiran Hukum Islam yang mewarnai keberagaman di Indonesia, ternyata tidak cukup hanya diselesaikan dengan pendekatan normatif teks, tetapi juga harus mengakomodasi pendekatan hukum yang lain, seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kompleks, efek dari zaman teknologi dan informasi. Maka pada abad dua puluhan juga diwacanakan fiqih sosial. Wacana fiqih sosial  yang diartikan sebagai pemahaman fiqih secara sosiologis. Artinya fiqih tidak hanya mencerminkan aspek sakralitas teks yang positifistik tetapi fiqih berdialog dengan zamanya secara sosiologis. Setiap aturan fiqih yang ada selalu berimplikasi kepada kehidupan sosial masyarakat muslim. Misalnya shalat harus dapat menjadi jawaban sosial  atau membentuk pribadi yang berdimensi sosial, aspek sosial puasa, aspek sosial zakat, aspek sosial haji apalagi problematika sosial di tengah-tengah masyarakat juga semakin dinamis. Dalam Hal ini KH. Sahal Mahfudz dan KH. Ali Yafie menjadi tokoh dalam mempromosikan fiqih sosial, baik di pesantren, masyarakat, kampus.
Pemikiran fiqih sosial dalam tradisi hukum Islam tidak berhenti begitu saja, pada abad 21 Nahdlatul Ulama juga melakukan kajian tentang Islam Nusantara, yakni Islam yang berkembang di bumi Nusantara sejak disebarkan sampai sekarang. Ciri utama dari Islam Nusantara adalah mengakomosi dimensi tradisi, adat, kehidupan sosial asli  masyarakat. Di antaranya praktik tentang tradisi walimahan, tradisi kupatan, tradisi muludan, tradisi rejeban, tradisi hari santri, tradisi tingkepan, tradisi perawatan mayit, tradisi berpakaian, tradisi Nuzulul Qur’an, Lailatul Qadar dan sebagainya. Dari pemikiran Islam Nusantara ini kemudian Nahdlatul Ulama mengembangkan fiqih peradaban, fiqh al-hadlarah, sebuah tatanan hukum Islam yang telah memberikan kontribusi besar dalam bangunan peradaban muslim di dunia, terutama di Indonesia sebagai mayoritas muslim. Kajian fiqih tidak terpaku dalam aspek nasional Nusantara saja tetapi obyeknya sudah melampaui apa yang terjadi di Indonesia, misalnya tentang gender sudah ada diskusi ulama perempuan, tentang hak asasi manusia, tentang perubahan iklim, tentang kemiskinan, tentang politik internasional umat Islam, tentang pendidikan, tentang kemajuan ekonomi muslim dunia atau ekonomi syariah, tentang toleransi, moderasi beragama dan sebagainya. Dengan tema fiqih peradaban ini nanti fiqih memang teraktualisasikan dalam kehidupan muslim diberbagai belahan dunia, sehingga mengkontruksi sebuah peradaban, sebagaimana semboyan nya rahmat li al-alamin.
Dalam konteks buku Fiqih Peradaban, dasar pemikiran, teks, tokoh dan realitas muslim Nusantara mencoba dijelaskan tentang dasar-dasar fiqih Nusantara baik dari sisi teologis maupun sosiologis masyarakat muslim Nusantara yang berhaluan aswaja, ahlu sunnah wa aljamaah. Kemudian kontribusi peradaban ditopang oleh berbagai kontruksi dari teks-teks yang menjadi referensi pesantren, para tokoh lokal, regional maupun nasional, juga dialektika fiqih dengan realitas muslim di Nusanata. Semuanya mempunyai kontribusinya dalam membangun peradaban muslim dari berbagai dimensi keagamaannya. Wa Allahu A’lam.  
*Pengajar UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Fungsionaris NU Blitar dan Khadim PP al-Kamal Blitar

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *