Akhlaq Santri dalam Hikayah Ushfuriyyah

Oleh: Muhammad Khoirul Umam*

Akhir-akhir ini, objek pembahasan tentang santri mulai menjamur dimana-mana. Di media cetak, media elektronik, media sosial, dalam diskusi panel maupun diskusi receh ditemani secangkir kopi. Disini penulis tidak akan mengulas apa yang mereka bahas, terlepas dari pro kontra pembahasannya, dan terlepas dari definisi santri “yang mana” atau figur santri “yang diperankan oleh siapa”, disini penulis hanya ingin menyampaikan cuplikan produk narasi yang banyak dibahas oleh para santri yang menuntut ilmu di pesantren atau di majelis ta’lim kutubus shofro’ (Kitab kuning/ kitab klasik). Kutubus shofro’  ini banyak dipelajari di pesantren-pesantren yang masih menggunkan metode salafi (klasik). Diantara kitab yang paling mainstream, yang paling banyak dipelajari oleh santri salafi adalah kitab Syarh al-Mawaa’idz al-‘Ushfuriyyah.

Kitab Syarh al-Mawaa’idz al-‘Ushfuriyyah atau yang banyak dikenal dengan kitab Ushfuriyyah ini merupakan karangan dari syeikh Muhammad bin bi Bakr al-‘Ushfuriy. Di banyak pesantren, kitab ini masuk dalam kurikulum madrasah mereka, walau ada pula yang menggunakannya sebagai kitab kajian harian dan ada pula yang hanya dikaji dalam paket kilatan bulan Ramadhan (pasan). Kitab ini berisikan 40 hadis (yang pada masanya merupakan tren bagi ulama salaf dalam mengumpulkan hadis seperti kitab Arba’in Nawawi karangan Imam An Nawawi) yang terinspirasi dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda “ barangsiapa dari umatku yang menghafal 40 hadis tentang perkara agamanya, maka Allah SWT akan membangkitkannya di hari kiamat nanti bersama golongan para fuqoha’ dan Ulama’. Walaupun para ulama ahli hadits menilai hadits itu dhoif (lemah) namun hadits tersebut masih dapat digunakan sebagai landasan dalam hal Fadhoilul A’mal (amaliah-amaliah yang utama).

Selain berisi tentang kumpulan 40 hadits, kitab ini juga selalu menambahkan hikayat dan kisah-kisah unik yg diperoleh pengarang dari gurunya. Sehingga dapat menambah dan memperkuat nilai yang terkandung dalam setiap hadits yg dikumpulkan. Serta dapat menambah sisi antimainstream/ keunikan daripada kitab kumpulan hadits lainnya. Sehingga menjadi ciri khas kitab ‘Ushfuriyyah” ini dan menambah daya tarik serta minat para santri untuk mengkajinya. Hikayat dan kisah unik di dalamnya juga banyak dipakai oleh para da’i dan penceramah untuk menambah khazanah materi dakwah mereka, karena keunikan kisah yang disampaikan mjenambah daya tarik dakwahnya dan dapat mencuri perhatian para mustami’innya.

Hikayah pertama pada hadits pertama menjadi menarik bagi saya, bahkan dalam hikayah pertama inilah  judul kitab ini berasal. Hadits pertama diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar Rasulullah SAW bersabda Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Allah yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya Dzat yang dilangit akan menyayangi kalian.” Kemudian pengarang kitab menambahkan hikayat yang masih berkaitan dengan hadits tersebut yakni:

Suatu hari Umar berjalan dikota Madinah. Ia melihat seekor burung pipit dipermainkan oleh anak kecil dengan tangannya. Umar kasihan melihat burung pipit (Ushfuur) itu. Ia membelinya, kemudian menerbangkannya ke angkasa. Ketika Umar wafat, beberapa ulama’ mimpi bertemu Umar. Mereka menanyakan keadaannya. “apa yang telah dilakukan oleh Allah Ta’ala kepadamu?” Tanya mereka. “Allah mengampuni dan melewatkan dosa-dosaku,” jawab Umar. “karena apa? Karena kedermawananmu? Karena keadilanmu? Atau karena zuhudmu?” Umar menjawab, “ketika kalian menguburkan aku, menutupi dengan tanah dan meninggalkan aku seorang diri, maka dua malaikat yang manakutkan mendatangiku. Aku kehilangan akal. Sendi terguncang karena ketakutan. Mereka lalu mengambil dan mendudukkan aku, bermaksud menanyaiku. Tiba-tiba terdengar suara keras “tinggalkan hamba-Ku! Jangan menakut-nakuti! Aku menyayangi dia. Semua dosanya telah ku ampuni. Karena ketika di dunia ia telah menyayangi seekor burung pipit. Maka aku menyayangi dia adalah sebagai balasannya

Hal yang dapat kita petik hikmahnya dari hadits pertama ini yaitu ajakan dan anjuran Nabi Muhammad SAW terhadap umatnya agar menyayangi makhluk-makhluk Allah. Bukan hanya makhluk Allah berupa manusia saja yang patut disayangi, namun seluruh makhluq Allah baik dari golongan hewan, tumbuhan jin dan selainnya. Bukan hanya makhluk Allah yang paling sempurna saja yang patut kita kasihi, tetapi makhluk yang hina sekalipun patut untuk dikasihi. Hal ini mengingatkan saya pada wisdom quotes yang banyak beredar di linimasa media social yang merupakan dhawuh dari beliau Almaghfurlah K.H. Maimun Zubair pengasuh Pondok Pesantren Sarang Rembang “Jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, maka tolonglah. Barangkali itu menjadi penyebab ampunanmu di akhirat”.

Sungguh ini menjadi penting untuk di amalkan oleh para santri. Betapa indah jika santri dalam kehidupannya di pesantren mengamalkan hikmah dari hadits ini. Mereka yang hidupnya bersama-sama ternaung dalam satu atap tentu akan sangat kacau apabila tidak menerapkan prinsip saling menyayangi dan saling teposliro. Kehidupan santri tidak pernah lepas dari kebersamaan, gotong royong, sabar, antri, saling berbagi dan lain sebagainya yang ini semua tidak akan pernah dapat terwujud jika tanpa didasari dengan sikap saling menyayangi dan mengasihi. Tanpa kasih sayang antar sesama santri, tentu santri akan menjadi tidak nyaman berada di pesantren. Tidak akan tercipta kondisi belajar yang aman dan nyaman. Sehingga akan sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali ilmu yang didapatkan.

Adapun hikmah yang dapat kita petik dari hikayat Sayyidina Umar diatas adalah bahwa kita tidak akan pernah tahu, amal baik mana yang akan membawa kita masuk surga Allah. Amal baik yang mana yang akan menghindarkan dan menjauhkan kita dari api neraka. Amal baik yang mana yang akan memberikan syafaat kepada kita. Amal baik yang mana yang diterima oleh Allah SWT. Amal baik yang mana yang menjadi sebab turunnya rahmat Allah kepada kita. Sahabat nabi sekelas Sayyidina Umar saja justru yang menyelamatkan beliau di alam kuburnya adalah pembebasan burung  pipitnya, bukan karena zuhudnya, kedermawanannya atau keadilannya. Maka jangan pernah lelah dan bosan untuk terus berbuat baik dan terus menambah kebaikan.

Di dalam kehidupan nyantri biasanya para santri berlomba lomba untuk meningkatkan amal ibadah mereka. Rokaat sholat yang lebih banyak, dzikir yang lebih rumit dan panjang, puasa yang lebih sengsara, sedekah yang lebih banyak namun tak banyak dari mereka yang meniatkan semua amal ibadahnya itu hanya untuk mengharap ridho dan rahmat Allah. Bahkan beberapa diantaranya hanya karena ingin menunjukkan kehebatan ibadahnya di hadapan santri lain. Mereka mengunggul-unggulkan amal ibadahnya, namun melupakan bahwa segala amal itu tidak ada artinya jika Allah tidak menurunkan ridho dan rahmatnya. Bahkan terkadang mereka menganggap remeh santri lain yang terlihat tidak banyak melakukan amal-amal ibadah.

Kekhawatiran tentang bergantung pada amal ini sudah disampaikan juga oleh Syaikh Ibnu Athaillah as Sakandariy dalam pembukaan kitab Al-Hikam karangan beliau:

“Termasuk tanda bergantungnya manusia pada amalnya ialah berkurangnya harapan/permohonan ketika ada kesalahan. (Among the signs of depending on actions is losing hope in presence of a slip.)”

Ini mengingatkan kita untuk tidak menjadikan amal ibadah kita sebagai satu-satunya harapan agar masuk surga atau agar terhindar dari api neraka. Tapi agar kita selalu melandasi setiap amal ibadah kita dengan niatan untuk mengharap ridho dan rahmat Allah semata serta mengingatkan agar kita tidak lupa untuk selalu memohon dan mengharap ampunan Allah SWT atas dosa-dosa serta kesalahan yang kita lakukan.

Wallahu A’lam Bis Shawaab

*Penulis saat ini menjabat sebagai lurah Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *