Oleh: Afrizal Nur Ali Syahputra, S.Pd.
Mengajar adalah kegiatan yang mulia. Tugas ini diemban oleh seseorang yang berprofesi menjadi guru. Menurut orang banyak guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, karena memang guru pada saat itu bertugas untuk mencerdaskan anak bangsa tetap dengan honor yang pas-pasan saja. Ya, mungkin yang pas dengan sebutan diatas pada jaman sekarang adalah guru honorer yang dengan seabrek administrasi sekolahnya layaknya guru ASN dan banyak di kelas hanya digaji dengan honor yang relative kecil.
Guru honorer yang terjun ke lapangan langsung bertarung dengan kebodohan siswa supaya siswa menjadi anak yang cerdas seringkali menemukan problematikanya, baik secara materil atau secara moril. Secara finansial memang honor yang diberikan sangatlah minim, kadang dengan honor yang minim guru honorer masih harus membuat administrasi layaknya ASN yang seringkali honornya habis dibelikan kertas dan untuk print RPP, Silabus, KKM dan lain sebagainya. Ditambah lagi jika di sekolah itu menerapkan inovasi K-13 dengan sistem SKS harus membuat UKBM serta lain sebagainya. Selain itu biasanya guru harus membeli rewards untuk siswa supaya siswa semangat dalam belajar. Dengan kondisi seperti itu luluh lantaklah gaji guru honorer.
Hal itu masih diperparah jika ada ASN yang semena-mena. Seluruh tugas dan tanggung jawabnya diberikan dan dibebankan kepada honorer. Karena memang, masih ada anggapan di sebagaian besar ASN kita, tugas honorer adalah sebagai kaki tangan ASN.
Saya pernah berbicang-bincang dengan alumni yang satu pondok pesantren dengan saya. Awalnya setelah lulus kuliah dia mengabdikan diri di salah satu sekolah. Gajinya walaupun kecil tetap dia jalani. Namun, setelah berjalannya waktu dengan honor yang kecil waktu yang tersita banyak, lalu masih harus dipotong dengan potongan bulanan dan juga ketika terlambat masuk, mengurungkan niat teman saya untuk mengabdikan ilmunya di lembaga tersebut. Bukannya dia tidak ingin bertahan, tetapi kadang honornya hanya cukup untuk makan, belum bensin untuk pulang pergi dari sekolah. Membeli rokokpun harus tirakat katanya.
Menurut penulis, disinilah letak ketidakadilan, dengan tugas dan beban sama, bahkan biasanya lebih berat, diberi honor yang untuk merokok pun harus tirakat. Banyaknya guru honorer di negeri ini mengindikasikan bahwa, jika Negara hanya mengandalkan ASN saja maka pembelajaran di nusantara tidak akan berjalan, karena memang jumlah guru yang kurang. Lihat bagaimana guru honorer yang di pelosok, berjuang demi mencerdaskan anak bangsa tetapi dengan honor yang kecil. apakah ini yang dimaksud keadilan? padahal sila ke-5 berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Guru honorer tidak usah diberikan gaji yang seperti ASN jika anggaran belanja negara tidak mampu, cukup berikan honor yang layak, sekiranya cukup untuk makan, ngopi dan ngudud, sesuai dengan kinerja mereka.
Intinya, kesejahteraan guru honorer itu tuntutan mereka. Para guru honorer juga punya keluarga untuk dicukupi kebutuhannya. Keluarganya butuh nasi, sayur dan lauk pauk untuk melanjutkan hidup. Anaknya butuh biaya pendidikan supaya bisa sekolah, orangtua mana yang tega anaknya tidak mengeyam pendidikan sampai sarjana? Kita hidup di negara kita, Negara sendiri, bukan Negara orang lain, kita bukan turis tapi kita penduduk pribumi. Pada awal Januari 2019 kemarin pemerintah mengadakan PPPK yang membuat hati para guru honorer berbunga-bunga. Program PPPK ini diperioritaskan untuk guru honorer K2. Akan tetapi, menurut saya, program PPPK tidak menghilangkan populasi guru honorer, melainkan jalan darurat yang hanya untuk mengurangi guru honorer. Seharusnya pemerintah mendata berapa guru yang harus dibutuhkan di seantero Indonesia lalu mendata setiap guru honorer yang ada.
Secara moril, setiap hari guru harus bertarung, terjun di kelas langsung menghadapi begitu heterogennya para siswa. Siswa heterogen ini membawa masalah satu persatu, ada siswa yang rajin, ada siswa yang malas, ada siswa yang tidur, ada siswa ngobrol sendiri ketika diajar dan lain sebagainya. Sehingga sangat menguras energi dan emosi guru. Guru harus ekstra sabar menghadapi berbagai tingkah para siswa. Walaupun seperti itu yang harus diingat oleh guru adalah “kita harus melihat para siswa dengan ainurrahmah”. Jadi guru tidak boleh membenci para siswa, jika ada guru yang sampai membenci siswanya maka proses ta’lim wa ta’alum serta sambungnya hati akan terputus. Ditambah dengan seabrek kerumitan penilaian pada kurikulum ini dijamin guru bakal setres dan punyeng. Inilah kenyataan pendidikan di negara kita. Terus menerus ganti kurikulum, ganti administrasi bukankah buah dari pengajaran adalah pengetahuan dan buah dari pendidikan adalah peradapan. Maka yang dibutuhkan guru adalah membaca supaya berpengetahuan luas untuk ditransfer kepada para siswa, lalu memberi adab yang bagus supaya siswa mengamalkan nilai-nilai pancasila.
Saya jadi teringat sebuah peribahasa, sebaik-baik hujan emas di negeri orang, masih lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Bagi honorer, mereka sudah bertahun-tahun jatuh bangun dihujani batu, dan hingga detik ini, masih setia menunggu hujan emas di negeri sendiri dengan seabrek tugas dan administrasi di sekolah mereka masing-masing.
Lalu bagaimana langkah selanjutnya untuk guru honorer? Patut ditunggu gebrakan Presiden Jokowi dan Bapak Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan. Apakah akan bertiup angin segar bagi honorer atau justru tetap hujan batu di negeri sendiri.
*Wakil lurah Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal