Oleh: Afrizal Nur Ali Syah Putra*
Dalam konteks budaya kekinian, teknologi dan informasi memiliki daya yang sangat kuat dalam pembentukan budaya kontemporer dunia. Budaya tersebut meliputi: televisi, radio, telefon, handphone dan gadget lainnya. Jika kita telisik lebih dalam, suatu budaya pasti akan didominasi oleh pengaruh-pengaruh tertentu. Artinya adalah budaya yang terbentuk dan didominasi oleh pengaruh tertentu akan memproduksi manusia-manusia dengan ciri khas dan keunikan tersendiri. Misalnya budaya modern eropa yang melihat realitas dari frame saintifik-rasionalis-empiris. Mereka mengedepanan ilmu rasional yang bersifat empiric serta menolak hal-hal yang bersifat metafisis. Hal ini bertolak belakang dengan manusia pada abad pertengahan. Mereka lebih mengedepankan teologi-metefisis dari pada saintifik-rasionalis.
Di Indonesia, budaya kita yang didominasi oleh teknologi dan komunikasi menciptakan manusia populer yang pada endingnya manusia akan mengalami krisis identitas diri. Manusia populer memiliki sejumlah ciri-ciri yaitu: Pertama, Berfikir instan yang berakibat malas berfikir, cari enak dan jalan pintas. Sebagai misalnya, mahasiswa sekarang bila mengerjakan tugas dan makalah banyak yang copas dari internet atau nitip nama dalam makalah. Mereka tidak mau berfikir mencari jalan mudah supaya tugas tuntas. Contoh lain misalkan, anak muda zaman sekarang selalu saja mengandalkan kekayaan orang tuanya, mereka tidak mau bekerja tapi uang selalu ada. Jika orangtuanya tidak memberinya sejumlah uang, sebagian mereka melakukan tindak pencurian untuk memuaskan hasratnya demi pernak-pernik duniawi.
Kedua, Sang pemuja citra artifisial. Mereka hanya mengedepankan ilusi dan fantasi belaka. Mengedepankan tampilan luar agar mudah diimitasi. Misal difacebook, instagram dan berbagai media sosial lainnya, mereka lebih percaya diri dengan foto yang bukan identitas dirinya sendiri. Menampilkan foto yang dipercantik supaya menarik padahal tidak sesuai dengan fisik aslinya. Mereka meyebarkan foto-foto di berbagai tempat makan dan café supaya terkesan kekinian dan dianggap orang kaya padahal orang tua mereka mencari nafkah di sawah untuk anaknya. Ingat lee ibumu saja makan jangan blendrang, kok sampeyan makan-makan di restoran.
Ketiga, Pintar berteriak tapi gak berotak. Sebagian mereka yang ikut ormas-ormas tertentu di suatu wilayah, mereka hanya berteriak-teriak soal hal-hal yang abstrak dan heroic menggunakan diksi ilmiah yang mungkin saja mereka tidak tahu maknanya. Menurut kabar yang saya baca, pada suatu demo, ada beberapa pedemo dari mereka ditanyai alasan kenapa mereka demo. Alhasil, mereka plonga-plongo sambil cengengesan, ada yang pokoknya demo. Jika masuk ke organisasi tertentu kita harus mempunya tujuan, visi dann misi diri kita, jika tidak, kita hanyalah menjadi budak.
Keempat, Bermental tahu tempe. Pengobsesi budaya like dan subscribe serta copas, pantaslah disebut bermental tahu tempe, sebab mereka jika hanya sendiri tidak berani menyuarakan kebenaran. Mereka berani jika keroyokan, jika bersama-sama. Merintih jika diajak berjuang, lalu menekan ketika punya kekuasaan. Menukil dari aktivis Soe Hock Gie “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seidiologi, dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”
Manusia yang demikian kita sebut sebagai manusia populer. Manusia populer adalah manusia yang berpijak pada frame popularisme. Arus popularisme ini membawa manusia pada obsesi mementingkan bagian luar dari pada hal-hal yang subtansial, citra dipuja dari pada makna, popularitas dari pada intelektualitas. Akumulasi dari hal-hal demikian, manusia akan kehilangan dirinya sendiri yang otentik. Maka bahasa yang menjajah Indonesia sekarang bukanlah colonial tapi popularisme yang mengkikis identitas diri.
Oleh karena itu pertanyaan “siapa aku?” menjadi pertanyaan abadi bagi setiap manusia. Mereka harus mau jujur dengan dirinya sendiri supaya tidak menipu orang lain dan dirinya sendiri. Pertanyaan diatas bisa dijawab dengan paradigma agama, filsafat, psikologi dan lain sebagainya. Kemudian untuk mengkikis magnet popularisme yang sudah melekat, maka kita harus membudayakan berfikir kritis, menerapkan literasi-literasi intelektual yang objektif demi menciptakan dimensi-dimensi wacana kritis, komprehensif dalam segala aspek social. Karena budaya popularisme kini telah menarik massa untuk tidak bersikap kritis, tidak produktif dan menjadi imitasi serta pengekor.
Tidak usah menjadi seperti artis A ataupun B serta lain sebagainya. Cukup menjadi diri sendiri, yakin pada diri sendiri adalah kunci kesuksesan. Bukankah keberagaman itu menjadikan kekayaan khazanah ilmuan? Maka jangan takut berbeda dengan orang lain. Dari pengalaman saya selama ini, ada sebagian orang yang ketika dikusi, baik itu diskusi panel atau yang lain, mereka enggan dan takut mengungkapkan pendapatnya, padahal berpendapatkan tidak bayar, gratis, tis. Jutru diskusi itu mencari perbedaan pandangan dari suatu masalah untuk memperoleh suatu pandangan yang paling bagus minimal menurut peserta diskusi tersebut.
Bagi penulis sendiri lebih baik menjadi kepala seekor ular kecil daripada ekor naga. Kita bisa menentukan apa yang kita mau dengan jujur dengan kehendak kita sendiri dari pada ekor naga yang selalu terletak di belakang dan terintervensi oleh pihak lain. Bijaklah dalam menggunakan teknonolgi pada jaman 4.0 ini. Teknologi ini ibarat sebilah pisau yang bias menghilangkan jati diri kita atau bisa membantu kita menemukan jati diri.
*Wakil lurah Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal