Menjadi sarjana merupakan idaman semua civitas akademika, terutama para mahasiswa. Yang penting lagi adalah aktualisasi diri sesudah menjadi sarjana atau diwisuda. Banyak pilihan bisa dilakukan, diantaranya menikah kalau sudah ketemu jodohnya, kuliah lagi untuk pengembangan ilmu, khidmah pengabdian masyarakat, bekerja sesuai dengan ijazahnya, atau melakukan aksi-aksi sosial. Dalam kacamata fiqih bisa dikenal beberapa aksioma atau kaidah, misalnya kaidah dharuriyah (mendesak), hajiyah (penting) dan tahsiniyah (penyempurnaan). Di antara berrbagai rencana mulai nikah sampai kepada aksi sosial itu, mana yang kategori mendesak dilakukan, penting dilakukan, atau masuk katagori tahsiniyah hanya memperbaiki menyempurnakan? Ini jawabannya para sarjana sendiri yg tahu. Kacamata Qardhawi ini kategori fiqih Awlawiyah (prioritas) dari tiga hal tersebut.
Tiga kategori yang sifatnya prioritas ini, urusan pemberdayaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta menjadi prioritas mendesak yang harus segera dilakukan. Level hajiyah (penting) yang berada dibawahnya mendesak, adalah kondisi realitas para sarjana yang penting untuk dilakukan, tidak sampai kepada mendesak. Misal seorang sarjana yang baru, belum punya istri tidak harus mempunyai rumah, tabungan banyak, tanah luas, mobil dan lain sebagainya. Tapi kuliah S3 bagi seorang dosen penting untuk segera dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan kualifikasinya. Level ketiga adalah tahsiniyah, penyempurnaan dari pemenuhan level pertama dan kedua. Misalnya mempunyai tabungan yang banyak, memakai baju dan peralatan sehari-hari sebagai penguatan eksistensi dan trust, haji lebih satu kali sebagai bagian penyempurnaan ibadah dsb.
Ketiga hal diatas para sarjana bisa mengukur prioritas kebutuhannya masing masing, tetapi yang jelas setiap manusia mempunyai tahapan-tahapan kebutuhan sebagai bagian dari dinamika kehidupannya. Sarjana junior kebutuhannya berbeda dengan yang senior, tetapi semua sarjana mempunyai potensi ilmiyah yaitu objektifikasi diri. Artinya jalani dan penuhi kebutuhan kehidupannya secara realistis objektif, sesuai potensi lingkungan masing-masing. Di lingkungan pertanian, berdayakan urusan pertanian, di lingkungan madrasah atao TPQ, berdayakan urusan madrasah, di lingkungan bisnis beraksi ranah perdagangan, di lingkungan politik masuklah dalam kegiatan politik, di lingkungan keagamaan maksimalkan potensi keagamaan di sekitar kita. Ada dawuh وقدم الاخص فى الالتصال (dahulukan yang ada disekitarmu).
Maka kecerdasan dalam memilih skala prioritas kebutuhan ini yang kemudian kita sebut dengan fiqih prioritas (fiqh awlawiyah), istilahnya Yusuf Qardhawi. Teori-teori semacam ini menjadi penting sebagai arahan bagi sarjana-sarjana kita atau alumni-alumni pesantren yang baru wisuda atau khataman, jangan sampai suatu yang mendesak, menjadi tidak penting, atau yang sebagai komplement menjadi suatu yang sangat penting karena kurang hati-hati dalam menetapkan skala prioritas kebutuhan sarjana setelah mendapat ijasah dan ijazah. Ada dawuh lagi الاهم ثم الاهم (ambil yang sangat penting, kemudian yang penting dan seterusnya). Wa Allahu A’lamu.
Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal