Spesial Ramadhan (Edisi 21) :Bid’ahkah Bilal Dan Taradhi Dalam Shalat Tarawih?

Tradisi pelaksanaan shalat tarawih di sekitar kita sering menggunakan bilal yang mengumandangkan shalawat dan taradhi (mendoakan para khalifah). Bilal melakukannya secara selang-seling antara keduanya. Namun, hal ini tidak terjadi di zaman Rasulullah Saw. Lantas, apakah hal demikian dapat dinyatakan bidโ€™ah?
Pembaca yang budiman. Istilah bilal ini dikenal di Indonesia dengan mengadopsi nama Sahabat Bilal bin Rabbah. Maka, ada istilah bilal tarawih dan witir, dan ada pula bilal shalat jumโ€™at. Padahal istilah sebenarnya bagi orang yang menaikkan khatib menuju atas mimbar disebut dengan muraqqi (orang yang menaikkan), namun istilah bilal sudah terlalu populer dan mendarah daging di kalangan masyarakat awam.
Pada prakteknya, bilal akan mengumandangkan seruan untuk shalat tarawih, lalu jeda 2 rakaat setelahnya mengumandangkan shalawat, dan 2 rakaat setelahnya lagi mengumandangkan taradhi, hingga habis 20 rakaat.
Konon, pada zaman dahulu ketika shalat tarawih dilaksanakan di Mekkah, setiap 4 rakaat sekali diberi jeda untuk istirahat imam. Pada jeda tersebut, sebagian dari jamaah ada yang mengisi dengan tawaf, membaca al-Qurโ€™an, ataupun dzikir. Namun, bagi penduduk Madinah, hal demikian tidak dapat dilakukan, maka sebagian dari mereka ada yang berdzikir ataupun membaca al-Qurโ€™an.
Pintarnya ulama zaman dahulu dengan melihat konteks sosial yang berbeda dengan Indonesia, maka jeda tarawih tersebut diisi dengan membaca shalawat yang sekiranya dapat menyederajatkan pahalanya dengan mereka yang tawaf, membaca al-Qurโ€™an ataupun berdzikir.
Memang, shalawat di sela-sela tarawih tidak dapat dinyatakan sebuah kesunahan yang berdiri atas dalil sendiri, sebab memang tidak ada dalil yang mengakomodir amaliah tersebut. Akan tetapi, masih dapat dimasukkan dalam kategori mendapat fadilah dari bersalawat. Di satu sisi, memang ada aturan dari Rasulullah Saw untuk memberi jeda di antara dua shalat, sebagaimana pada hadis berikut:

ุฅูุฐูŽุง ุตูŽู„ู‘ูŽูŠู’ุชูŽ ุงู„ู’ุฌูู…ูุนูŽุฉูŽ ููŽู„ูŽุง ุชูŽุตูู„ู’ู‡ูŽุง ุจูุตูŽู„ูŽุงุฉู ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ุชูŽูƒูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุฃูŽูˆู’ ุชูŽุฎู’ุฑูุฌูŽ. ููŽุฅูู†ู‘ูŽ ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุฃูŽู…ูŽุฑูŽู†ูŽุง ุจูุฐูŽู„ููƒูŽ ุฃูŽู†ู’ ู„ูŽุง ุชููˆุตูŽู„ูŽ ุตูŽู„ูŽุงุฉูŒ ุจูุตูŽู„ูŽุงุฉู ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ู†ูŽุชูŽูƒูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุฃูŽูˆู’ ู†ูŽุฎู’ุฑูุฌูŽ

โ€œJika engkau telah selesai shalat jumat, maka jangan sambung dengan shalat lainnya hingga kamu berbicara atau keluar masjid. Sebab Rasulullah Saw memerintahkan kami hal tersebut untuk tidak menyambung satu shalat dengan shalat lainnya hingga kami berbicara atau keluarโ€ (HR. Muslim)
Jika menelisik dari subtansi hadis di atas, pemisah di antara dua shalat dengan berbicara atau sekedar keluar dari tempat shalat saja memang dianjurkan, apalagi jika dipisah dengan membaca shalawat, maka hal demikian justru lebih menghasilkan fadilah shalawat itu sendiri.
Atas amaliah ini, Ibn Hajar al-Haitami menyimpulkan bahwa membaca shalawat di sela-sela shalat tarawih memang tidak dapat dianggap kesunahan, namun masih dapat dihukumi sebagai amaliah baik yang tetap mendapatkan pahala. Keterangan tersebut berbunyi:

ูˆูŽุฃูŽู…ู‘ูŽุง ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠูู‘ ๏ทบ ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ุฑูŽูƒูŽุนูŽุงุชู ุงู„ุชู‘ูŽุฑูŽุงูˆููŠุญู ุงู„ู…ูุนู’ุชูŽุงุฏูŽุฉู ูููŠ ุจูŽุนู’ุถู ุงู„ุจูู„ู’ุฏูŽุงู†ู ููŽู‡ููŠูŽ ู…ูู†ู’ ุฌูู…ู’ู„ูŽุฉู ุงู„ุฃูŽุฐู’ูƒูŽุงุฑู ุงู„ู…ูุชูŽู‚ูŽุฏูู‘ู…ูŽุฉู ูˆูŽู‡ููŠูŽ ุญูŽุณูŽู†ูŽุฉูŒ ูˆูŽู…ูŽุทู’ู„ููˆู’ุจูŽุฉูŒ ูˆูŽู…ูุฑูŽุบู‘ูŽุจูŒ ูููŠู‡ูŽุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ุฏู‘ูŽูˆูŽุงู…ูุŒ ููŽุบูŽุงู„ูุจู‹ุง ู…ูŽุง ูŠูุตูŽู„ูู‘ูŠ ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠูู‘ ๏ทบ ุซูู…ู‘ูŽ ูŠูŽุนู’ู‚ูุจูู‡ูŽุง ุฏูุนูŽุงุกูŒุŒ ูˆูŽูŠูŽุฎู’ุชูู…ู ุจูู‡ูŽุง ุฃูŽูŠู’ุถู‹ุง ู…ูŽุนูŽ ุงู„ุซู‘ูŽู†ูŽุงุกู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‡ู ุชูŽุนูŽุงู„ูฐู‰. ูˆูŽู‡ูฐุฐูŽุง ุซูŽุงุจูุชูŒ ู…ูุฌู’ู…ูŽุนูŒ ุนูŽู„ูŽูŠู‡ูุŒ ูˆูŽู‡ููˆูŽ ู…ูู†ู’ ุฃูŽุณู’ุจูŽุงุจู ุฅูุฌูŽุงุจูŽุฉู ุงู„ุฏู‘ูุนูŽุงุกู

โ€œAdapun membaca shalawat atas Nabi Saw di antara rakaat tarawih yang terbiasa dilakukan di sebagian negara dengan zikir-zikir yang telah lampau disebutkan, maka tergolong amaliah baik, dianjurkan, dan disarankan untuk dilestarikan. Umumnya mereka bershalawat kepada Nabi Saw, lalu mengiringinya dengan doa, dan mengakhirinya dengan pujian atas Allah Swt. Hal demikian sah dan disepakati ulama yang termasuk penyebab dikabulkannya doaโ€ (Ibn Hajar al-Haitami, Ithaf al-Anam bi Ahkam al-Shiyam, [Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 1990], Hal 197)
Sedangkan membaca taradhi atau doa Radhiyallahu โ€˜anhu kepada empat imam khalifah, yakni Abu Bakr al-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib asal mulanya adalah berangkat dari gagasan apik dari Ulama Hadramaut Yaman. Di mana pada saat itu, negara dikendalikan oleh Khawarij yang anti dengan Khulafaโ€™ Rasyidin.
Demi menempis ideologi yang menyimpang tersebut, para ulama Hadramaut Yaman menyemarakkan untuk mendoakan para khalifah yang digaungkan di sela-sela tarawih. Hal demikian bertujuan untuk mengembalikan ideologi Ahlus Sunah wal Jamaah yang terkikis.
Menyikapi hal ini, Sayyid Abdullah bin Mahfudz al-Haddad berpandangan bahwa amalan tersebut memang tidak ada dalilnya secara syarak, sehingga tidak dapat dinyatakan sebagai kesunahan mutalak. Namun, dapat digolongkan amaliah baik yang tetap mendapatkan pahala sebab mendoakan para sahabat.
Ibn Hajar al-Haitami menukilnya dalam redaksi berikut:

ููŽุฐูŽูƒูŽุฑูŽ ุงู„ุณู‘ูŽูŠูู‘ุฏู ุงู„ุนูŽู„ู‘ูŽุงู…ูŽุฉู ุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ู„ู‡ู ุจู’ู†ู ู…ูŽุญู’ูููˆู’ุธู ุงู„ุญูŽุฏู‘ูŽุงุฏู ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ุชู‘ูŽุฑูŽุถูู‘ูŠูŽ ุนูŽู†ู ุงู„ุฎูู„ูŽููŽุงุกู ุงู„ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนูŽุฉู ูููŠ ุตูŽู„ูŽุงุฉู ุงู„ุชู‘ูŽุฑูŽุงูˆููŠุญู ุฑูŽุชู‘ูŽุจูŽู‡ู ุนูู„ูŽู…ูŽุงุกู ุญูŽุถู’ุฑูŽู…ูŽูˆู’ุช ู„ูุฃูŽุบู’ุฑูŽุงุถู ุฏููŠู†ููŠู‘ูŽุฉูุŒ ูˆูŽุฌูŽุนูŽู„ููˆู‡ู ู…ูู†ูŽ ุงู„ุณูู‘ูŠูŽุงุณูŽุฉู ุงู„ุดู‘ูŽุฑู’ุนููŠู‘ูŽุฉู….. ูˆูŽู‡ููˆูŽ ููุนู’ู„ูŒ ุญูŽุณูŽู†ูŒ ูˆูŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ู‡ููˆูŽ ุจูุฏู’ุนูŽุฉู‹ ุถูŽู„ูŽุงู„ูŽุฉู‹ ูˆูŽู„ูŽุง ุฃูŽู†ู‘ูŽู‡ู ุณูู†ู‘ูŽุฉูŒ. ููŽู…ูŽู†ู’ ููŽุนูŽู„ูŽู‡ู ููŽู‚ูŽุฏู’ ุฃูŽุญู’ุณูŽู†ูŽุŒ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุชูŽุฑูŽูƒูŽู‡ู ููŽู„ูŽุง ุฅูุซู’ู…ูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู‡ูุŒ ูˆูŽุงู„ุชู‘ูŽุฑูŽุถูู‘ูŠ ุนูŽู†ู ุงู„ุตู‘ูŽุญูŽุงุจูŽุฉู ุฏูุนูŽุงุกูŒ ูŠูุซูŽุงุจู ุนูŽู„ูŽูŠู‡ู

โ€œSayyid Abdullah bin Mahfudz al-Haddad berpendapat bahwa taradhi untuk empat imam khalifah dalam shalat tarawih disusun oleh Ulama Hadramaut untuk tujuan keagamaan. Mereka menjadikannya sebagai bagian dari perpolitikan…. Amalan tersebut tergolong perbuatan baik dan bukan bidโ€™ah yang menyesatkan, namun tidak dapat dinyatakan sebagai kesunahan. Siapapun yang melakukannya, maka ia telah berbuat kebaikan. Dan siapapun yang meninggalkannya, maka tidak ada dosa atasnya. Amaliah taradhi ini merupakan doa yang dapat menarik pahala bagi yang berdoaโ€ (Ibn Hajar al-Haitami, Ithaf al-Anam bi Ahkam al-Shiyam, [Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 1990], Hal 201)
Dengan demikian, tradisi bilal dengan seruan shalawat dan taradhi yang telah berlaku di masyarakat kita hendaknya perlu dilestarikan, terutama telah menjadi amaliah rutin warga Nahdliyyin. Bagi yang mengklaim bidโ€™ah, maka tergolong orang yang gagal paham tentang definisi bidโ€™ah dan penyematan hukum bidโ€™ah pada amaliah ini berdasar argumen-argumen di atas. Wallahu aโ€™lam…
*ย ย  *ย ย  *ย ย  *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags :

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *