Spesial Ramadhan (Edisi 28) : Ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri

Pada saat momentum lebaran dan bersalam-salaman, sering kita dengar ucapan “Selamat Hari Raya”, atau “Minal ‘aidin wal faizin”, atau “Mohon maaf lahir dan batin”. Ucapan tersebut sering kita dengar atau kita jumpai sebagai wujud permohonan maaf dan harapan kembali pada kesucian. Bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Pembaca yang budiman. Mengucapkan salam penghormatan ketika momentum hari raya Idul Firti hukumnya diperbolehkan untuk menghormati sesama muslim dalam merayakan Idul Fitri.
Tentang ucapan perayaan Idul Fitri ini mari kita simak redaksi dalam Tuhfat al-Muhtaj berikut:

خَاتِمَةٌ. قَالَ الْقَمُولِيُّ: لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنِ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيِّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ. وَالَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ. وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلَاعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ

“Penutup: al-Qamuli berpendapat: Aku tidak pernah menemukan dari Ashhab ucapan selamat hari raya, ucapan tahunan atau bulanan sebagaimana yang dilakukan manusia. Akan tetapi, al-Hafiz al-Munzhiri menukil dari al-Hafiz al-Maqdisi bahwasanya ia menjawabnya dengan dalih manusia masih berbeda-beda ucapannya. Aku memandangnya dengan hukum kebolehan, tidak sunah juga tidak bid’ah. Ibn Hajar al-Haitami setelah penelaahannya menjawab bahwa tahni’ah ini disyariatkan” (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983], Juz 2, Hal 403)
Kemudian Ibn Hajar menjelaskan argumentasi dalil yang ia gunakan untuk menyimpulkan bahwa mengucapkan tahni’ah (penghormatan) di hari raya ini disyariatkan:

احْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ بَابُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيدِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَسَاقَ مَا ذَكَرَهُ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيفَةٍ لَكِنَّ مَجْمُوعَهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُومِ التَّهْنِئَةِ لِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوعِيَّةِ سُجُودِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ

“Ibn Hajar al-Haitami berargumen bahwa al-Baihaqi memasang satu bab tertentu dengan judul bab tentang riwayat ucapan manusia ketika hari raya dengan mengucap doa ‘taqabbalallahu minna wa minkum’. Lalu ia menyebutkan beberapa hadis dan atsar sahabat yang lemah. Namun, himpunan tersebut dijadikan sebagai hujjah. Lalu ia berpendapat: ‘riwayat al-Baihaqi ini dijadikan hujjah karena keumuman tahni’ah, sebab adanya nikmat yang baru terjadi, atau bencana yang tertolak dengan disyariatkannya sujud syukur dan takziah’” (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983], Juz 2, Hal 403)
Ia juga menganggap bahwa tujuan dari ucapan tersebut adalah untuk memunculkan rasa senang dan penghormatan mendalam kepada sesama, tidak untuk tujuan yang lain. Maka hal demikian diperbolehkan. Hal tersebut dinyatakan oleh al-Syarwani:

وَقَدْ يُقَالُ لَا مَانِعَ مِنْهُ أَيْضًا إذَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِذَلِكَ لِمَا ذَكَرَهُ مِنْ أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنْهُ التَّوَدُّدُ وَإِظْهَارُ السُّرُورِ وَيُؤَيِّدُهُ نَدْبُ التَّكْبِيرِ فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ وَعِبَارَةُ شَيْخِنَا وَتُسَنُّ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيدِ وَنَحْوِهِ مِنْ الْعَامِ وَالشَّهْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ مَعَ الْمُصَافَحَةِ إنْ اتَّحَدَ الْجِنْسُ فَلَا يُصَافِحُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ وَلَا عَكْسُهُ وَمِثْلُهَا الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ وَتُسَنُّ إجَابَتُهَا بِنَحْوِ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْكُمْ أَحْيَاكُمْ اللَّهُ لِأَمْثَالِهِ كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

“Dikatakan juga bahwa tidak ada larangan sama sekali dalam tahni’ah jika memang berlaku demikian, sebab tujuan utamanya adalah untuk simpati dan mengekspresikan kesenangan. Dikukuhkan pula dengan kesunahan takbir di malam hari raya. Adapun redaksi Ibn Hajar al-Haitami menyatakan: disunahkan untuk tahni’ah di hari raya atau semisalnya setiap tahun atau bulan menurut pendapat muktamad diiringi dengan bersalaman, jika satu jenis. Maka tidak boleh bersalaman lawan jenis. Begitu pula amrad. Dan disunahkan menjawabnya semisal ‘semoga Allah menerima ibadah kalian. Semoga Allah memanjangkan usia bersama sejawat di tiap tahun, sedangkan kalian dalam kondisi terbaik’” (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1983], Juz 2, Hal 403)
Lantas, apakah mengucapkan minal ‘aidin wal faizin diperkenankan?
Memang secara riwayat tidak ditemukan ucapan ini. Namun, kita perlu melihat pada aspek maknanya. Minal ‘aidin wal faizin ini sering diartikan dengan ‘semoga menjadi orang-orang yang kembali dan beruntung’. Kembali ke mana? Apakah kembali untuk melakukan kemaksiatan lagi pasca Ramadhan? Tentu tidak demikian. Tidak mungkin kita mengharapkan untuk kembali ke sana. Sehingga, maksudnya lebih cenderung dimaknai dengan ‘semoga menjadi orang-orang yang kembali ke fitrah dan beruntung’. Maka hal demikian tidak dipermasalahkan.
Lalu bagaimana dengan ucapan ‘Mohon Maaf Lahir dan Batin’?
Sebenarnya antara ucapan sebelumnya dengan permohonan maaf ini adalah dua kalimat yang terpisah, baik secara pelafalan maupun makna. Mohon Maaf Lahir dan Batin adalah ikrar (pengakuan) segala bentuk kesalahan yang telah lampau untuk dimintai maaf. Tentunya, meminta maaf tidak hanya bertepatan pada momentum idul fitri saja. Melainkan bisa kapanpun dan dalam kondisi apapun. Sehingga sah-sah saja jika memang seseorang mengatakan demikian di momentum Idul Fitri dengan penuh pengharapan maaf dan ampunan.
Apakah dengan ikrar tersebut seluruh dosa-dosa dapat terhapus?
Ikrar mohon maaf lahir dan batin ini adalah ikrar umum. Dengan kalimat ini, sebenarnya tidak bisa menggugurkan dosa sesama manusia, sebab tidak secara terperinci sebagaimana syarat taubat dari kesalahan manusia.
Al-Ghazali menjelaskan syarat agar terhapus dosa jika berkaitan dengan kesalahan sesama manusia berikut:

وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَرِّفَهُ قَدْرَ جِنَايَتِهِ وَتَعَرُّضِهِ لَهُ، فَالاِسْتِحْلَالُ المُبْهَمُ لَا يَكْفِي، وَرُبَّمَا لَوْ عَرَّفَ ذَلِكَ وَكَثْرَةَ تَعَدِّيْهِ عَلَيْهِ لَمْ تَطِبْ نَفْسُهُ بِالإِحْلَالِ

“Menjadi kewajiban atasnya untuk memberitahukan kadar tindakan kesalahannya dan menjelaskan secara jelas kepadanya. Sehingga meminta kehalalan secara global itu tidak mencukupi. Adakalanya ketika ia menjelaskan dan menyebutan banyaknya kesalahan, hatinya menjadi tidak rela untuk menghalalkan kesalahan” (al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th], Juz 4, Hal 38)
Alangkah baiknya ketika mengucapkan ucapan selamat hari raya diiringi dengan doa: Taqabbalallahu minna wa minkum. Lalu diiringi dengan ucapan selamat hari raya dan permohonan maaf sebagaimana lumrah terjadi.
Artikel ini menjadi penutup serial Ramadhan 1445 H yang kami tulis. Kami mengucapkan Selamat Merayakan Idul Fitri 1445 H. Taqabbalallahu minna Shaliha al-A’mal. Kami turut memohon maaf yang sebesar-besarnya bilamana terdapat salah kata yang pernah kami tulis atau merasa tersinggung tanpa ada maksud demikian. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan berguna sebagai wawasan untuk semua khalayak. Teriring doa Jazakumullah Ahsana al-Jaza’ atas atensi dan antusias pembaca yang mampu menuntaskan dari edisi pertama hingga terakhir ini. Syukran. Wallahu a’lam
* * * *
*Muhammad Fashihuddin, S.Ag., M.H: Dewan Asatidz PP Terpadu Al Kamal Blitar.

Tags : 

Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *